Panik
Panik
Aku menatapnya gusar, "Kita ga boleh begini."
Astro mengabaikanku dan menaruh dahinya di dahiku, "Aku tau."
"Astro, please."
"Sebentar aja. Aku kangen banget."
Aku menelan kalimat yang akan kuucapkan padanya. Aku bisa merasakan detak jantungnya berdebar kencang di telapak tanganku. Napasnya yang hangat membelai wajahku. Bibirnya dekat sekali. Aku mungkin saja akan lepas kendali jika dia tak segera menjauh.
"Bilang kamu cinta aku."
"I love you." ujarku gusar dengan kepala yang terasa semakin berat.
"Lebih tulus, bisa kan?"
Uugh, apa yang harus kulakukan agar dia tahu aku tulus padanya? Memangnya selama dua tahun ini dia menganggapku bagaimana?
"I love you, Astro. Aku cinta kamu. Please, jangan begini." ujarku yang berusaha memohon padanya dan mendorongnya menjauh dariku, tapi dia bergeming.
"I love you too, Mafaza Marzia."
Jantungku berdetak kencang dengan irama yang tak beraturan. Aku tahu apa yang diinginkannya karena dia sudah menatapinya dengan tatapan menderita sejak tadi.
"Kamu tau yang kamu mau ga akan cukup, Astro. Please."
Alih-alih melepasku, dia mempererat pelukannya. Kemudian membelai wajahku dan mengecup pipi tepat di sebelah bibirku. Bibirnya yang lembut dengan napas menderu terasa hangat di wajahku. Aku bahkan sedang memegangi wajahnya karena merasa dilema harus mendorong atau menariknya lebih dekat.
Aku pasti sudah gila.
Beginikah apa yang dirasakannya saat aku mengecup pipinya beberapa bulan lalu? Aku pasti sangat menguji pertahanan dirinya. Astro benar, aku sedang beruntung karena ada pramusaji datang tiba-tiba saat itu.
"Tunggu aku."
Aku bisa merasakan bibirnya bergerak di pipiku saat bicara. Aku hanya sanggup menggumam mengiyakan. Kepalaku terasa berat sekali. Aroma tubuhnya sepertinya membuat kepalaku terasa semakin berat.
Astro mengecup dahiku dan mendekap kepalaku di dadanya yang berdetak kencang. Tanganku yang memegang wajahnya telah turun ke lehernya.
Aku memberanikan diri untuk menatapnya, "Maaf aku bikin kamu khawatir lagi."
Mungkin dia langsung berangkat ke sini setelah bertemu dosen. Aku bahkan bisa menebak dia belum pulang ke rumahnya sendiri. Entah apakah karena dia masih merasa kesal karena Zen yang mengantarku pulang dari kampus, tapi melihatnya di hadapanku sekarang, sepertinya dia meninggalkan banyak pekerjaan.
Tangannya mengelus wajahku dengan lembut, "Jangan ngadu ke ayah."
Aku tak mampu menyembunyikan senyum di bibirku, "Kamu pikir aku sebodoh itu ya?"
"Kamu cantik." ujarnya sambil mengelus bibirku dan meninggalkan sensasi aneh di perutku.
"Kita udah kelewat batas, Astro."
Rahangnya mengeras sebelum melepas pelukannya. Dia baru saja akan melepas tanganku juga, tapi aku menariknya kembali.
"Pegangan tangan boleh kok. Kan Opa ngasih ijin."
Astro memberiku senyum menggodanya yang biasa, "Kamu nolak aku, tapi kamu mau juga kan?"
"Please." ujarku sambil memberinya tatapan mengancam yang sepertinya tak terlalu berpengaruh padanya karena kami berdua tahu dia benar.
"Fine." ujarnya sambil mengelus jariku. Elusan jarinya membantu mengatur detakan jantungku tanpa diketahuinya.
"Kamu harusnya pulang dulu ke rumah kamu, bukannya ke sini." ujarku sambil menariknya ke ruang tamu.
"Kamu bahkan ga nawarin aku minum? Aku baru dari Surabaya bawa mobil empat jam."
Aku menghentikan langkah dan menoleh padanya, "Mau minum apa, Tuan?"
"Mau minum air mata kamu biar kamu ga usah sedih lagi."
"Seriously?" aku menatapnya tak percaya walau aku tahu dia hanya sedang bercanda.
"Teh boleh." ujarnya dengan senyum menggodanya yang biasa.
Aku melanjutkan langkah untuk membawanya ke ruang tamu dan melepasnya setelah dia duduk, "Tunggu di sini."
Aku berlalu ke dapur dengan langkah cepat dan panjang. Akan berbahaya bagi kami jika berdua saja di rumah ini. Bu Asih bahkan sudah pergi sebelum aku sampai di rumah siang tadi. Aku membuatkannya teh hangat yang dia minta, lalu membawanya ke ruang tamu dengan beberapa potong kue karamel di piring dan meletakkannya di meja.
"Thank you, Nona." ujarnya sambil mengamit gelas dan meneguk hingga tersisa setengah, lalu mengambil sepotong kue dan menggigitnya. "Aku kangen kue bikinan kamu."
Dia pasti tahu kue karamel yang sedang dia makan adalah buatan Bu Asih. Kami memang menggunakan resep yang berbeda.
"Aku kan ga tau kalau kamu pulang sekarang. Kamu bilang mau berangkat dari Surabaya besok pagi." ujarku sambil duduk di sisinya dan menggenggam tangannya.
Astro melirik tangannya yang kuambil dan memberiku senyum menggodanya yang biasa. "Gimana kalau kita lanjutin yang tadi?"
Aku menatapnya tak percaya. Laki-laki ini benar-benar tak membuang kesempatan.
"Nikahin aku satu setengah tahun lagi. Bisa?" aku bertanya sambil menatapnya lekat. Aku ingin dia tahu aku sedang tidak bercanda.
"Kamu tau aku cuma bisa janjiin dua setengah tahun, Faza."
"You will find some way (Kamu akan nemu caranya kok). I trust you (Aku percaya sama kamu)."
Astro menatapku penuh perhitungan. Dia terlihat sedang berpikir keras sekali. Entah cara apa yang sedang dia cari, tapi tatapannya berubah menjadi lebih mantap sesaat setelahnya, "Tapi aku minta sesuatu."
Aku akan menunggunya mengatakannya sendiri.
"Aku mau peluk sama cium pipi kamu setiap aku pulang. Lima belas menit?" ujarnya sambil menggigit ujung bibirnya. Entah sejak kapan dia menjadi jauh lebih nakal seperti ini.
Aku menatapnya tak percaya, "Kamu mau bikin aku gila ya?"
Aku mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Aku memang benar-benar merasa gila saat dia memeluk dan mencium pipiku. Terlebih, saat aku tahu kami sudah berjanji pada Ayah untuk tak melakukannya. Jantungku yang sempat berdetak normal mulai berirama tak semestinya.
"Kalau ga mau ya udah. Tunggu aku dua setengah tahun lagi ya, Nona Mafaza Marzia. Kita liat apa kamu bisa tahan ga minta aku peluk selama dua setengah tahun ke depan." ujarnya dengan senyum menggodanya yang biasa.
"Kamu kan tau kita ga boleh. Kita udah janji sama Ayah. Lagian sejak kapan kamu mulai belajar langgar janji begitu?"
Astro menaikkan bahu, "Harusnya kita bisa nikah sebelum aku berangkat ke Surabaya."
Aku tahu apa maksudnya. Dia masih merasa kesal dengan ayahnya dan masih merasa dipermainkan hingga sekarang, tapi janji tetaplah sebuah janji. Dia harus menepatinya.
Aku melepas genggaman tanganku padanya, "Kalau kamu begini terus, aku ga mau ketemu kamu lagi. Aku serius."
Astro terlihat panik dan kembali mengamit tanganku, "Fine. Aku akan cari cara. Satu setengah tahun ya. Aku ga akan terima kalau kamu nolak aku nanti."
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel ini TIDAK DICETAK.
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLU.SIF & TAMAT di aplikasi WEBNO.VEL. Pertama kali dipublish online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEB.NOVEL, maka kalian sedang membaca di aplikasi/web.site/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.
Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Banyak cinta buat kalian, readers!
Regards,
-nou-