Lima
Lima
Astro mendekatkan dirinya padaku, lalu menjauhkan handphone di genggamannya dan memasang fitur selfie. Dia mengambil foto kami berdua dan membiarkanku menggigit sebuah wajik saat dia tersenyum sambil menoleh ke arahku. Dia memperlihatkan hasilnya padaku. Entah bagaimana, tapi hasil fotonya hampir selalu bagus. Walau aku sedang dalam pose tak tersenyum.
"Kirim ke aku." ujarku.
"Nanti aja di rumah aku kirimin semuanya."
Aku tak menanggapinya karena sedang berkutat dengan pikiranku sendiri. Aku membayangkan beberapa hari lagi dia akan pergi.
Banyak orang lalu-lalang di hadapan kami karena pasar ini semakin ramai. Walau orang-orang datang silih berganti, tapi suasana kedekatan penjual dan pembeli membuat hatiku terasa hangat.
"Kamu beneran mau bawa mobil sendiri ke Surabaya?" aku bertanya pada akhirnya setelah keheningan kami yang lama.
Astro menggumam mengiyakan. Kemudian mengamit satu onde-onde dan mengunyahnya.
"Ga dianter Pak Deri aja?"
"Ga perlu. Aku bisa kok. Lagian aku butuh mobilnya buat pulang pergi ke kampus. Kalau pak Deri ikut nanti mau ga mau dia bawa mobilnya balik."
Alasannya cukup masuk akal walau sebetulnya aku khawatir jika dia berangkat sendiri. Namun mungkin segalanya akan baik-baik saja seperti biasa.
"Kapan kamu mau pulang?"
Astro memberiku senyum menggodanya yang biasa, "Aku berangkat aja belum, tapi kamu udah nanya kapan aku pulang?"
Aku menatapnya sebal, "Aku masih ga bisa bayangin ga bisa ketemu kamu setiap hari."
Astro menggenggam tanganku dengan lembut, "Kita bisa video call setiap hari."
"Beda, Astro. Kalau video call aku ga bisa ..." aku menggantung kalimatku. Aku baru saja akan kelepasan berkata aku tak akan bisa menikmati aroma tubuhnya.
"Ga bisa apa?"
"Ya ..., pokoknya beda." ujarku sambil mengalihkan tatapan darinya. Ini memalukan.
"Kamu udah ngerasa kangen sama aku?"
"Mungkin." ujarku yang masih menatapi seorang penjual batik. Bertahun-tahun bersamanya dan tiba-tiba dia akan pergi. Hal ini terasa aneh bagiku.
"Jangan bikin aku batal berangkat begitu."
Aku menoleh kembali ke arahnya dan menatapnya, "Kamu harus berangkat. Masa depan kamu kan penting."
"Masa depanku itu kamu." ujarnya dengan senyum menggodanya yang biasa. Dia menaruh ganggaman tangan kami di dadanya.
Aku bisa merasakan irama jantungnya yang berdetak dan merasa malu mendengar kalimatnya sesaat lalu, tapi entah kenapa aku tak mampu menyembunyikan senyum dari bibirku. Sejak Opa memberinya izin untuk menggenggam tangan di hari pesta kelulusan dan pembahasan ibunya dengan Oma mengenai kami akan menikah sering membuatku berhalusinasi.
"Kayaknya aku harus kasih kamu kerjaan baru ya biar kamu ga mengkhayal terus begitu."
Aku menatapnya tak percaya, "Mau kasih aku kerjaan apa?"
"Selama aku ga ada di sini, aku titip resto sama resort ya."
"Bukannya kamu bisa kendaliin itu dari Surabaya?"
"Iya, tapi aku tetep butuh orang buat dateng ke sana ngecek semua kinerja karyawan."
"Kita bisa ke resto bareng kalau kamu pulang. Sekalian kita kencan." ujarku sambil mengelus jarinya.
"Sejak kapan kamu mulai nakal begitu?" dia bertanya dengan semburat rona merah yang mulai menyebar di wajahnya.
Aku terkejut, "Siapa nakal?"
"Kamu ga pernah nyebut apapun soal kencan sebelum ini, kamu tau? Kamu selalu bersikap kayak kamu masih single. Sejak kapan kamu mulai mikirin yang begitu?"
"Ga tau. Mungkin aku ketularan kamu." ujarku yang tiba-tiba merasa ingin menggodanya.
Astro terdiam sebelum bicara, "Kamu beneran mulai mikir kalau kita ini pacaran?"
"No idea. Kamu pikir kita pacar?" ujarku dengan jujur. Aku tak pernah menganggapnya seperti itu. Aku hanya menjalani saja apa yang ada. Aku sudah terbiasa dengannya sejak kami pertama bertemu bertahun lalu. Walau mungkin memang hubungan kami menjadi lebih intim sejak aku berkata aku bersedia menunggunya.
"Aku ga pernah mikir kita pacar. Kalau mau ngikutin orang lain yang cuma sekedar pacar aku bisa ganti-ganti perempuan. Keluargaku ga ada yang begitu. Kamu itu calon istriku."
"Aku juga ga pernah kepikiran buat ganti kamu sama siapapun. Berarti aku ga nganggep kamu pacarku kan." ujarku yang memberinya pernyataan, bukan pertanyaan. Hingga saat ini aku masih tak mengerti dengan konsep berpacaran dan aku tak pernah repot-repot memikirkannya karena hanya akan membuang waktu yang seharusnya bisa kugunakan untuk yang lain.
Astro menatapku lebih lekat, "Kamu nganggep aku calon suami kamu?"
"Sejak aku bilang aku mau nunggu kamu, aku udah nganggep kamu begitu." ujarku sambil tersenyum. Aku tahu dia sedang menahan napas. Wajahnya terlihat lebih merah dan membuatnya terlihat menggemaskan. Detakan jantungnya kencang sekali karena tanganku masih berada di dadanya sekarang.
Astro terlihat terkejut sekali, "Kenapa kamu ga pernah nunjukin ke aku?"
"Emang harus gimana aku nunjukinnya? Kamu jelas-jelas bilang kalau kamu punya janji sama Opa buat jaga aku. Aku ga mungkin agresif dan bikin kamu langgar janji kan? Lagian aku kan pernah ..."
"Kamu pernah cium pipiku dan kamu bikin aku hampir gila. Aku ga bisa tidur semaleman dan bikin kosentrasiku rusak di ujianku yang terakhir."
Aku baru saja menemukan fakta kenapa bisa memiliki nilai lebih tinggi darinya. Sepertinya keputusanku untuk tak menggodanya dengan mengecupnya lagi adalah keputusan yang tepat, "Kalau gitu kamu ga perlu bukti yang lain kan?"
Astro terlihat salah tingkah. Aku bisa membayangkan dia sedang mengingat-ingat kejadian yang kami lalui bersama.
"Apa aku keliatan ga nganggep kamu begitu?" aku memberanikan diri bertanya.
"Kamu ga pernah cemburu sama siapapun. Kamu keliatan baik-baik aja kalau aku ga ada. Kamu ga pernah kepo mau liat isi chatku sama siapapun, bahkan setelah aku bilang kalau aku punya ajakan kencan tiap minggu. Kamu juga terang-terangan nolak waktu aku bilang mau satu liang kuburan sama kamu."
"Siapa yang bikin standar begitu buat nentuin aku serius atau ga sama kamu?"
Astro terlihat berpikir dalam dan matang. Sepertinya dia baru saja menemukan fakta bahwa dia salah menilaiku, "Kadang aku lupa kalau kamu beda."
Aku menggeleng perlahan, "Kamu mau aku gimana, Astro?"
"Aku mau kamu cemburu."
"Definisi cemburu kamu yang tadi kamu sebutin itu?"
Astro terdiam.
"Sini hape kamu." ujarku sambil melepas genggaman tangan dan mengamit handphone yang tergeletak di sisinya. Aku mengamit tangannya dan menekankan jari untuk membuka kunci, lalu mencari aplikasi pesan miliknya. Ada banyak sekali pesan yang aku tak tahu dari siapa saja, "Can you help me (Bisa bantu aku)? Ini banyak banget."
Astro memilih satu dan membukanya. Dia membiarkanku membaca pesan dari seorang perempuan yang namanya bahkan tak masuk ke kontak teleponnya. Dari catatan waktunya, pesan itu adalah pesan beberapa hari yang lalu dan sepertinya nomor itu sudah diblokir olehnya.
Aku beberapa kali menutup mulut untuk menahan keterkejutanku sendiri. Ada belasan foto dari perempuan itu yang tidak diunduh, tapi aku bisa menebak apa isinya. Melihat foto-foto itu membuatku merasa malu dengan diriku sendiri.
Aku menatap Astro yang sedang menatapku kembali. Dia terlihat biasa saja. Aku memiliki banyak kata umpatan di kepalaku, tapi bibirku tak sanggup mengungkapkannya.
"Itu cuma satu." ujarnya.
Aku mengembalikan handphone miliknya dan merasa tak berminat mengetahui lebih banyak dari ini. Dibanding merasa cemburu aku lebih merasa kasihan. Namun ada yang mengganjal perasaanku, "Kamu ga ngarep aku begitu juga kan?"
Aku jarang sekali berfoto. Membayangkan diriku sendiri berfoto dengan pakaian minim dan menunjukkannya pada orang lain akan terasa memalukan sekali.
"Aku ga keberatan kalau kita udah nikah." ujarnya dengan tatapan serius. "Aku emang laki-laki, tapi aku akan ga begitu sebelum nikah."
Aku menghela napas pelan, "Good to know (Bagus kalau gitu)."
Tunggu sebentar ..., apakah aku baru saja menyetujui bahwa aku akan melakukan hal itu setelah kami menikah?
"Bahkan liat itu pun ga bikin kamu cemburu ya?" Astro bertanya dengan alis mengernyit mengganggu.
"Aku ngerasa kasihan."
"Kamu ... bener-bener beda. Ingetin aku lain kali kalau aku lupa." ujarnya dengan tatapan yang sulit kutebak. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu.
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel ini TIDAK DICETAK.
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLUSIF & TAMAT di aplikasi WEBNOVE.L. Pertama kali dipublish online di WEBNOVE.L tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke LINK RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.
Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Luv kalian, readers!
Regards,
-nou-