Bintang
Bintang
Kami sedang berada di atap rumahku dengan cara memanjat pohon mangga yang memang ditanam tepat di samping rumah. Lebih tepatnya ada di dekat pintu belakang yang mengarah ke halaman belakang. Ayah yang membuat bagian atap ini lebih landai untukku menyendiri. Ayah bahkan pernah berjanji akan membuat kamar untukku di sisi ini jika membangun rumah ini bertingkat suatu hari nanti, tapi niat itu tak pernah terlaksana hingga saat ini.
Aku hanya terdiam sambil menatapi matahari yang hampir menghilang, dengan perasaan hangat di hatiku. Seolah ada sesuatu yang hilang, kembali lagi padaku. Andai aku boleh memilih, aku akan meminta dipertemukan dengan bundaku yang hilang.
Entah sejak kapan aku tak lagi memikirkan kemungkinan bundaku meninggal. Mungkin aku bodoh karena masih saja memikirkannya setelah bertahun berselang, tapi aku akan menggunakan informasi apapun yang ada untuk mencari keberadaannya.
"Kamu sering ke sini sama Fara?"
Aku menggeleng, "Aku ke sini sendiri. Kadang sama Ayah kalau Ayah ada waktu. Fara emang suka eksplorasi, tapi dia ga bisa manjat pohon."
"Aku suka di sini."
Aku menoleh untuk menatapnya dan tersenyum manis, "Mau tinggal di sini aja?"
"Kalau kita udah selesai kuliah kita bisa tinggal di sini kalau kamu mau. Nanti kita bahas lagi. Kita punya banyak alternatif tempat tinggal kan?"
Aku menggumam mengiyakan sambil memeluk lengannya dan menautkan jari-jariku di antara jarinya. Dia benar. Lagi pula ada banyak hal yang bisa terjadi bertahun ke depan. Asalkan aku ada bersamanya, aku tak akan keberatan karena dia adalah rumahku.
Astro mengelus jariku perlahan sambil mengecup puncak kepalaku, "Tadinya aku pikir akan ada orang yang ngenalin kamu di sini."
Aku terdiam karena aku pun berpikiran sama, tapi aku tak lagi berharap. Bertahun berselang dengan banyak perubahan, mungkin membuat mereka lupa dengan keluargaku. Aku bahkan sempat berpikir mungkin mereka mengira aku orang lain yang hanya menyewa rumah ini.
Sebetulnya aku masih bisa mengenali beberapa orang tua. Mungkin mereka akan mengenaliku jika aku mengajak mereka bicara, tapi aku memilih untuk diam. Bukan karena aku tak ingin berhubungan dengan siapapun di sini, tapi karena aku tak ingin menaruh hati pada tempat ini lebih dalam. Akan sulit bagiku tinggal di negara baru semester depan jika terus terpikirkan dengan semua yang kutinggalkan.
"Kita delivery aja? Aku lagi males masak." ujarnya dengan bibir bergerak di puncak kepalaku.
"Aku bisa masak nanti kalau kita turun."
"Rrgh ga usah. Kamu ga boleh kecapekan."
Aku menatapnya tak percaya, "Cuma masak ga akan bikin aku kecapekan."
"Ga usah. Kita delivery aja." ujarnya sambil mengamit handphone dari saku dan membuka aplikasi pesan antar. "Mau makan apa?"
Aku menggelengkan kepala sambil menatapnya tanpa minat, tapi kurasa aku akan menurutinya saja kali ini. Kami memilih berbagai makanan untuk lima orang dari aplikasi dan kembali menatap senja yang hampir menghilang. Aku baru saja akan mengajaknya kembali turun saat dia menunjuk ke satu titik jauh di ujung sana, tepat di tempat matahari menghilang di peraduannya.
"Sejauh apapun kita pergi, matahari akan tetep bisa kita liat setiap hari. Jadi kamu bisa liat senja di manapun. Aku usahain kamu liatnya bareng aku."
Aku mengamit wajahnya dan mengecup bibirnya, "Thank you."
"My pleasure, Honey." ujarnya dengan senyum menggodanya yang biasa.
"Turun yuk."
Astro menggumam mengiyakan, "Abis makan kita ke sini lagi ya. Aku mau liat bintang."
"Kamu salah tempat kalau liat bintang di sini. Di sini udah area padat penduduk, kamu mungkin cuma bisa liat bintang sedikit."
"Ga masalah, asal liatnya sama kamu."
Aku tersenyum dan mengangguk, lalu kami turun bergantian melalui batang pohon mangga yang lebih rimbun dibanding bertahun lalu. Astro turun lebih dulu dan aku menyusul setelahnya.
"Kayaknya bagus kalau rumah ini dibikin tiga lantai. Nanti aku cari posisi yang pas buat taruh teleskop." ujarnya sambil menggenggam tanganku setelah aku sampai di bawah.
"Kamu mau beli teleskop baru?"
Astro menggumam mengiyakan, "Aku udah niat mau beli teleskop dari beberapa bulan lalu, tapi kita kan harus pindah. Jadi aku batalin."
Aku terdiam sambil memikirkan janji Axelle padaku. Dia pernah berkata akan mengajakku melihat hujan meteor jika tiba waktunya. Dengan keadaan kami saat ini, kurasa janjinya mungkin baru akan bisa ditepati bertahun ke depan setelah aku dan Astro kembali setelah menyelesaikan pendidikan kami.
Kami memasuki dapur bersamaan dan menemukan Rilley sedang berada di depan kulkas. Aku mencoba tersenyum padanya saat dia menoleh untuk menatap kami dan terkejut saat melihatnya tersenyum kembali padaku.
"Kamu laper? Kita udah pesen makanan delivery tadi, tinggal nunggu dianter." ujarku.
"Saya cuma ambil air dingin." ujarnya sambil memperlihatkan segelas air dingin di tangannya. "Kalau kalian capek, saya bisa masak. Ga perlu delivery."
Aku menoleh untuk menatap Astro dan berharap dia yang akan menjawab. Namun dia tetap diam.
"Beresiko beli makanan delivery di tempat ini, tapi nanti saya tes dulu kandungan makanannya sebelum dikonsumsi. Bahaya kalau makan makanan beracun."
Aku mengangguk dalam diam. Sebetulnya Rilley benar, tapi aku memang masih merasa tak nyaman berbincang dengannya karena sikap dinginnya. Aku baru saja akan melangkahkan kaki dan mengajak Astro kembali ke kamar saat Astro menahan genggaman tangannya dan mengajakku duduk di salah satu kursi meja makan.
"Duduk dulu, aku mau ngobrol." ujar Astro pada Rilley sambil duduk tepat di sisiku.
Rilley duduk di hadapan kami dan menatap kami bergantian dalam diam. Entah kenapa jantungku berdetak kencang. Aku tak pernah membayangkan kami akan duduk bertiga dengan Rilley seperti ini.
"Pak Bruce papa kamu kan." ujar Astro, yang membuatku menoleh padanya dan menatapnya tak percaya. Kami memang sudah mengetahui hal ini dari Kyle beberapa minggu lalu, tapi aku sama sekali tak menyangka Astro akan membahasnya tepat di depan Rilley. Lagi pula kalimatnya sesaat lalu itu bukanlah pertanyaan, tapi pernyataan.
Rilley mengangguk dan menatap Astro dengan tatapan penuh minat. Dia tak lagi menatapku hingga membuatku berpikir mungkin dia sedang membaca pikiran Astro dengan tatapan mata yang seolah mampu menembus isi kepala seseorang. Aku bahkan baru saja menyadari bulu halusku bergidik sedetik lalu.
"Kenapa kamu kerja buat Opa?"
"Buat nerusin kerjaan papa. Papa bilang bisa kerja sama tuan Dewanto adalah kesempatan paling bagus."
"Tapi pak Bruce bukan agen kayak kamu. Gimana caranya kamu nerusin kerjaannya kalau ga ngerti job desk sekretaris."
"Kalian ga bodoh. Kalian pasti tau papa agen yang lagi nyamar." ujar Rilley dengan senyum dingin.
Seolah ada aliran es yang merayapi tengkukku dan menyebar ke seluruh aliran darah. Jadi sebetulnya mereka memang sudah mengantisipasi segala kemungkinannya.
"Kita ga perlu basa-basi. Tuan Dewanto juga sebenernya udah punya dugaan kalian sebenernya tau siapa papa. Bisa kita langsung bahas intinya aja? Informasi apa yang kalian butuh dari saya?"
"Bener bundaku udah meninggal?" pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibirku. Aku tahu aku memang gegabah karena tak mampu mengendalikan diri, tapi gemuruh di dalam dadaku seolah menuntut sebuah jawaban.
Rilley menatapku dalam diam selama beberapa lama sebelum bertanya, "Nona mau jawaban yang aman atau jawaban yang beresiko?"
=======
NOVEL INI EKSKLUSIF DAN HANYA TAMAT DI APLIKASI WEBNOVEL. BANTU NOU LAPORKAN APLIKASI PEMBAJAK NOVEL : IREADING, di google play kalian masing-masing karena dia udah MALING novel ini.
TUTORIAL LAPORANNYA BISA KALIAN LIAT DI AKUN FESBUK: NOU. Thank you atas bantuannya ♡
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-
Kalian bisa add akun FB ku : nou
Atau follow akun IG @nouveliezte
Kalau kalian mau baca novel nou yang lain, bisa follow akun Wattpad @iamnouveliezte
Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..
Regards,
-nou-