A Song of the Angels' Souls

102. Berangkat ke Sekolah



102. Berangkat ke Sekolah

0Rava terbangun karena hembusan angin yang menyambar mukanya. Saat membuka mata, pemandangan yang dilihatnya pertama kali adalah bagian samping wajah Lyra yang berlatar langit biru. Itu adalah pemandangan yang biasa Rava temui ketika dirinya dibawa bidadarinya itu dengan posisi seperti pangeran membopong tuan putri.     

Menyadari tubuhnya terasa naik turun, Rava membelalakkan matanya. Langsung celingukan. Ternyata dirinya memang benar-benar dibawa oleh Lyra, melompat dari satu atap rumah ke atap rumah lainnya.     

"Selamat pagi, tuanku. TIdur nyenyak tadi malam?" sapa Lois yang melompat di samping saudari angkatnya itu.     

"Uwaaaaaa!!!" Rava langsung berontak, tetapi Lyra menahannya supaya tidak terjatuh. "Kalian ngapain!? Kenapa aku dibawa nggak ngomong-ngomong dulu begini!?"     

"Nanti juga kamu tahu, sekarang diam dulu," ucap Lyra lugas.     

Tentu saja berbagai pertanyaan menggerogoti kepala Rava. Namun, dia yakin, memaksa bertanya pun tak akan membuahkan hasil. Apalagi sambil berontak. Bisa-bisa dia malah jatuh. Akhirnya, Rava cuma bisa menunggu dengan bersungut-sungut. Menit-menit berlalu, s Lyra mendarat di samping sebuah bangunan, sementara Lois sengaja memisahkan diri dan bersembunyi di tempat lain.     

Rava makin tak bisa menebak tujuan kedua bidadarinya. Mengapa mereka datang ke sekolah dasar yang cukup terpencil? Sekarang, Rava dan Lyra sedang menjejak pematang sawah di samping sekolah itu. Rava bisa melihat kalau di depan sekolah tersebut hanya ada satu warung kecil berbahan triplek dan tanah kosong penuh pohon pisang.     

"Kita ini sebenarnya mau ngapain, sih?" tanya Rava. Ia berbisik karena Lyra mengendap sambil menempelkan punggungnya ke tembok bangunan sekolah.     

Lyra menghentikan langkahnya. Di melihat satu kelebatan di kebun pisang tersebut. Tiba-tiba saja, dia melompat, sekalgus mengaktifkan pedangnya. Senjata bermata gandanya itu pun beradu dengan cakar Medora di udara.     

Medora pun mendarat di aspal penuh lubang, langsung menghindari hujaman rapier dari Lois.     

Gilang terlihat berlari keluar dari kelasnya. Begitu tiba di gerbang, dia berhenti karena mendapati bidadarinya yang bertarung dalam kondisi tidak seimbang.     

Lyra kembali menerjang. Dia memberikan kombinasi sabetan kepada sang musuh. Medora menangkis dengan cakarnya, hendak memberikan serangan balasan. Akan tetapi, Lois keburu memberikan tusukan lurus ke arah lukanya.     

"Hei, kalian ngapain!!!" seru Rava, keluar dari persembunyian.     

Medora makin terdesak karena Lyra dan Lois yang memberikan serangan dengan gerakan mengalir dan saling melengkapi. Kedua bidadari itu benar-benar sinkron. Ketika Lyra menyerang, maka Lois bersiap, begitu juga sebaliknya. Kadang mereka memberikan serangan bersamaan, yang langsung merepotkan Medora.     

Gilang memerhatikan pertarungan itu dengan tubuh bergetar hebat dan mata yang berkaca. Rava yang melihat bocah cilik itu kebingungan harus berbuat apa. Kalau dibiarkan terus-menerus, bagaimana kondisi mental yang akan dialami Gilang nantinya?     

Satu-satunya jalan adalah menghentikan pertarungan, tetapi bagaimana caranya? Otak Rava seolah macet memikirkan hal itu.     

"Gilang! Aktifkan yang nomor dua!" pekik Medora, tetapi Gilang tak merespon.     

Medora pun makin terdesak. Mereka kini memasuki kebun pisang. Berkali-kali potongan batang-batang pisang berterbangan jatuh, seiring dengan Lyra yang terus menebas. Targetnya memang Medora, tetapi dia tak peduli pedangnya menebas yang lain.     

"Lyra, Lois! Hentikan! Kasihan Gilang!" seru Rava putus asa, walau tahu dirinya tak akan digubris.     

Pertarungan berlangsung cukup lama. Medora mulai ngos-ngosan. Sementara itu, karena Lyra dan Lois lebih banyak bergantian menyerang, mereka punya cukup istirahat dan tak kehabisan stamina. Mereka tetap bisa intens menyerang.     

Linangan air mata Gilang mulai turun dengan deras.     

"Akhhh!!!" Sampai akhirnya, satu tebasan Lyra berhasil memberikan luka miring memanjang di tubuh Medora. Medora pun melompat mundur sejauh-jauhnya. Begitu mendarat, dia memeriksa luka barunya yang mengucurkan darah itu. TIdak begitu dalam memang, tetapi rasa sakitnya cukup menghalangi geraknya nanti.     

Dia harus memikirkan strategi lain, padahal Lyra dan Lois sudah tidak kelihatan, jelas sekali sedang bersembunyi entah di mana, tentunya siap memberikan serangan kapan saja.     

Medora pun menengok ke sana ke mari, memeriksa keadaan dengan begitu waspada. Lengah sedikit saja, nyawanya jelas melayang.     

Rava menggertakkan giginya. Dia mengutuk dirinya sendiri yang tak bisa berpikir jernih dalam situasi yang luar biasa genting ini.     

Gilang pun berlutut, mulai terisak keras. "Uwaaa!!! Jangan bunuh bu Dor! Jangan bunuh bu Dor!"     

Kelebatan dua bidadari itu pun muncul di antara pohon-pohon pisang.     

"Hentikan sekarang, atau kontrak kalian akan kulepas sekarang juga!!!" seru Rava sekuat tenaga.     

Lois dan Lyra yang tahu-tahu sudah menyerang Medora pun langsung berhenti. Senjata keduanya hanya tinggal beberapa senti dari bagian vital Medora. Lyra mengincar leher, sementara Lois sudah nyaris menghujam jantung sang musuh.     

"Kalian lihat nggak sih!? Gilang sampai nangis memohon begini!!!" Rava menunjuk Gilang yang menangis meraung-raung, seperti bayi yang kesakitan. "Apa kalian nggak kasihan sama dia!!??"     

"Kalau kamu melepas kontrak, artinya kemampuan kelompokmu untuk melawan monster akan berkurang," ucap Lyra datar.     

"Dan mungkin kami akan membunuhmu karena sudah menghalangi rencana kami," imbuh Lois dengan nada tajam.     

"Bodo amat!!!" bentak Rava, menghabiskan udara di paru-parunya. "Yang penting, kalian jauhkan senjata kalian! Aku serius, kalau kalian nggak mau dengerin aku, aku bakal mutusin kontrak kalian sekarang juga!"     

Akan tetapi, Lyra dan Lois tetap bergeming di tempatnya. Justru Medora yang mundur, memerhatikan dua musuhnya itu secara bergantian. Ia lalu berlari menghampiri Gilang dan langsung memeluknya erat-erat.     

"Huwaaa!!! Jangan bunuh bu Dor! Jangan bunuh bu Dor!" Meski sang bidadari sudah begitu dekat dengannya, Gilang masih menangis keras. Air matanya makin banyak yang mengalir dan suaranya pun mulai sengau.     

"Kalian mikir apa, sih!?" bentak Rava, berjalan cepat menghampiri kedua bidadarinya itu. "Kita kan sudah sepakat buat nggak ngebunuh biadari lain, selain Zita!!!"     

Lois menurunkan rapier-nya, terkekeh getir. "Kesepakatan itu dibuat sebelum aku bergabung dengan kalian."     

"Medora itu akan semakin berbahaya, Rava." Lyra menatap tajam tuannya itu. "Mungkin, dia malah akan lebih berbahaya dari Zita."     

Rava menarik napas, sedikit memijati kening. "Hal seperti itu kalian pikirkan nanti. Lihatlah itu, dengarkan baik-baik." Rava menunjuk Gilang yang sedang ditenangkan Medora. "Ada anak kecil yang menangis karena orang terdekatnya mau dibantai. Apa hati kalian nggak tergerak sama sekali? Kalau sampai dia trauma bagaimana? Apa kalian mau bertanggung-jawab? Apa kalian mau mengurusnya kalau Medora mati?"     

Kedua bidadari itu memilih untuk diam seribu bahasa. Pandangan mereka pun berpaling dari sang tuan.     

"Ahahahaha!!! Semoga aku tidak terlambat untuk mengikuti permainan ini! Ahahaha!!!"     

Semua yang ada di sana langsung menghujamkan pandangannya ke asal suara tawa sinting yang khas itu. Seorang bidadari berbusana kuning tengah berjalan dari ujung jalan. Kedua tangannya merentang lebar. Ia memajang senyuman yang tidak singkron dengan matanya yang melotot bengis. Di sisinya, Bagas berjalan sempoyongan bak mayat hidup, dengan kantung mata tebal, kulit pucat, jambang yang tak terawat, dan pandangan mata tanpa kehidupan.     

Para bidadari pun segera memasang kuda-kudanya kembali.     

"Sebenarnya, aku ingin segera melawan Varya lagi." Sekarang, Zita menempelkan sebelah tangannya ke pipi. Pandangannya sedikit dialihkan dan wajahnya mulai merona, sebuah gestur yang biasanya hanya ditunjukan oleh orang kasmaran. "Tapi, aku anggap kalian ini sebagai pemanasan. Jangan harap kalian akan bisa menyamai Varya .... Ahnnn .... Membayangkan Varya saja sudah membuatku bergairah."     

Zita mulai menggerakkan tangannya untuk menjelajah tubuhnya sendiri. Pinggulnya bergerak pelan, seolah ada sesuatu di antara kedua kakinya. Para bidadari dan tuan pun hanya bisa mengawasi kegilaan itu dalam diam.     

Tangan Zita mulai menggapai bagian kewanitaannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.