A Song of the Angels' Souls

110. A.G



110. A.G

1Selang satu hari, Rava yang sudah tersadar merasa begitu kikuk. Ruangan tempatnya dirawat sekarang menurutnya terlalu luas, dengan televisi besar, kamar mandi bershower, sofa-sofa yang terlihat sangat empuk, AC, serta perabotan yang terkesan agak berlebihan karena jumlahnya begitu banyak.     

Ini pasti ulah Stefan. Orang kaya memang beda.     

"Aah, terakhir ibu dirawat, ruangannya isi delapan orang. Berisik pula gara-gara banyak banget yang besuk," ujar ibu Rava yang sedang berleha-leha di sofa sambil menonton televisi.     

Terdengar ketukan dari pintu kamar itu. Ibu Rava pun bangkit dan membukanya. Stefan dan para bidadari datang berkunjung.     

Kacia memberanikan diri untuk menatap mata ibu Rava. "Maaf, Bu. Saya sudah lancang ...."     

"Kok, lancang?" potong ibu Rava, memberikan senyum ramahnya. "Ibu malah yang ingin minta maaf kepada kamu karena perlakuan Ibu kemarin, Kacia. Yah, namanya syok."     

Kacia sedikit membuka mulutnya. "Tapi, saya yang membuat Rava seperti itu."     

"Itu bukan salah kamu, Kacia. Aku yang nggak memerhatikan keadaan sekitar," sahut Rava yang duduk di ranjang rumah sakit.     

"Iya, masuk gih pada." Ibu Rava menarik tangan Kacia untuk memasuki ruangan. "Tapi, Ibu tinggal dulu, ya. Mumpung kalian di sini. Ibu mau beli makan, laper."     

Akhirnya, mereka pun masuk, sementara ibu Rava pergi meninggalkan ruangan itu. Kacia mendatangi Rava dengan menunduk, Etria mengamati tuannya itu dengan wajah cemas, sementara Lyra hanya membuang muka. Ada kesamaan di antara ketiga bidadari itu. Mata mereka terlihat merah.     

"Mereka bertiga tidak bisa tidur memikirkan kamu, Rav," kekeh Lois, duduk di pinggiran ranjang. "Pesonamu ini memang benar-benar membuat mereka takluk."     

Seperti biasa, kalau ada kata-kata seperti itu, wajah Rava seperti dihinggapi hawa panas. Namun, karena kondisinya sangat tidak fit, itu membuat pening di kepalanya yang disebabkan kekurangan darah jadi bertambah parah.     

"Gimana kabar kamu, Big Boy?" tanya Stefan sambil melipat tangan di dada.     

"Udah mendingan, Mas. Cuma agak berkunang-kunang aja." Rava sedikit memegangi kepalanya. "Aah, ada hal penting yang ingin kusampaikan segera. Ini tentang penyebab aku bisa jadi begini."     

Mereka pun langsung memusatkan perhatian kepada Rava.     

"Yang nusuk aku itu A.G. Dia menjadi tuan bidadari berbaju hitam itu," desis Rava. "Dia sekarang menggunakan nama Aiden."     

Stefan terhenyak hebat. Seketika saja, wajahnya menegang dan mulutnya pun membuka.     

"Memangnya, dia itu siapa, Stef?" tanya Ione yang menyadari perubahan tingkah kekasihnya itu.     

Stefan menarik napas begitu panjang, memegangi dagunya, tampak berpikir, sebelum akhinya menjawab dengan nada getir, "Ciri khasnya adalah menggunakan nama-nama berinisial A dan G. Alex Goddard, Adrian Gibson, Antoni Garcia, Aditya Gunawan, dan masih banyak lagi. Tapi, nggak ada yang tahu nama aslinya. Bahkan di catatan kependudukan pun data orang itu nggak ada. Pihak berwenang sampai kebingungan dengan hal itu. Banyak berita yang menjelaskan asal-usulnya, tetapi nggak ada yang bisa mengonfirmasi secara pasti."     

"Karena itulah, dia lebih dikenal dengan inisialnya, yakni A.G itu," sambung Rava, menelan ludah. Bibirnya mulai bergetar. "Dua tahun lalu, dia berhasil ditangkap setelah bertahun-tahun menjadi buron dalam berbagai kasus."     

"Gampangnya, dia itu Zita versi bumi," tukas Stefan pelan. "Sudah banyak korbannya. Dia melakukan pembunuhan dengan berbagai cara. Tanpa pola dan secara acak. Suka-suka dia saja. Hanya saja, dia suka membuat .... Ah, lebih baik aku tidak membahasnya lebih jauh."     

Lois menggeleng-gelengkan kepala. "Dan orang seperti dia ditunjuk menjadi tuan. Aku benar-benar tidak mengerti pikiran pihak atas."     

Ione mencari informasi tentang A.G di ponselnya. Ia sedikit terhenyak saat melihat foto A.G. "Dia ini kemarin datang ke lapak."     

"Aah, aku nggak tahu karena nggak melihatnya," desis Stefan.     

"Apa dia kemarin ingin mengonfrontasi kita?" tanya Lois, mencari informasi orang itu di ponselnya sendiri.     

"Salah satu ciri khasnya lagi adalah. Dia sangat sulit diprediksi. Kita cuma bisa menduga-duga alasan dia datang ke lapak," jelas Stefan lagi.     

Suasana seketika menjadi berat. Tidak ada yang berbicara lagi. Mereka tengah sibuk dengan pikiran masing-masing. Beberapa kali, Rava mengusap tengkuknya yang seperti didatangi hawa dingin menusuk.     

Pertempuran ini jadi semakin berisiko.     

"Mungkin kamu harus nambah harem satu lagi, Rav," celetuk Stefan tiba-tiba, langsung mengundang perhatian Lyra, Kacia, dan Etria.     

"Sepertinya begitu." Ione manggut-manggut. "Kita akan memaksa A.G melepaskan kontraknya, kemudian meminta bidadari bernama Mireon itu bergabung dengan kita."     

"Kamu nggak berpikir untuk membunuh A.G, Yon?" tanya Stefan dengan nada penuh sarkasme.     

Ione menggaruk kepalanya gusar. "Jangan mulai deh, Stef. Aku tidak ingin membunuhnya karena dia masih bisa diserahkan kepada pihak berwajib di negeri ini. Kalau Zita kan tidak."     

"T-t-tapi, apa energi kehidupan Rava cukup untuk membawahi lima bidadari sekaligus? Apa nanti tidak berdampak kepada dirinya?" ceplos Kacia dengan terbata-bata, jelas sekali terlihat khawatir.     

Lyra menarik napas. "Kalau bertarung, apa dia juga bisa berkonsetrasi mengawasi bidadari sebanyak itu? Bisa-bisa dia malah kehilangan fokus di tengah pertarungan"     

"I-iya, itu semua bisa membuat beban Rava tambah berat!" sambung Etria lantang.     

"Kalau aku sih tidak masalah Rava menambah bidadari lagi. Aku malah senang. Semakin banyak, semakin ramai dan menyenangkan," kekeh Lois.     

Ione pun terbahak. "Tenang saja, aku sudah pernah tanya Piv, kok. Energi kehidupan Rava itu bahkan cukup untuk membawahi sepuluh bidadari sekaligus."     

"Terus, kurasa dia tetap bisa fokus, kok. Sekarang aku emang nggak bisa ngamatin dia. Tapi, dulu dia nyaris nggak kehilangan konsentrasi. Barangkali karena kerjaannya dulu yang ...." Stefan berdehem pelan. "Kerjaannya dulu yang butuh konsentrasi."     

"Aah, apa kalian khawatir dengan wanita baru yang hadir di sisi Rava?" ledek Ione dengan nada berlebihan.     

Melihat Kacia memainkan roknya sambil menunduk malu-malu, Etria memandang ke arah lain dengan ekspresi aneh, serta Lyra yang memejamkan mata sambil bersedekap, Ione pun tertawa.     

"Aku mau melakukannya," ucap Rava pelan. Karena terlalu fokus memikirkan usul Stefan, dia tidak mendengar permbicaraan yang terjadi. "Kalau itu yang harus dilakukan, aku siap."     

Kacia menelan ludah sambil meremas roknya. Pose Lyra masih sama seperti sebelumnya, tetapi dahinya mengedik. Etria malah terang-terangan menunjukkan kekecewaannya dengan memegangi kepala. Lois pun cekikikan melihat mereka.     

"Atau ada yang mau membujuk Janu untuk menjadi tuan Mireon, mungkin?" usul Ione, tersenyum penuh arti.     

Etria dan Kacia langsung menoleh kapada Ione, yang kini cengengesan, sementara Lyra cuma menarik napas.     

"Dia tidak akan mungkin mau. Teman-temannya dibunuh Zita. Dia tidak mau dekat-dekat dengan pertarungan ini," jelas Lyra datar.     

Kacia langsung menghela napas kecewa. Namun, Etria malah mengepalkan tangan, mendengus keras, kemudian berkata lantang penuh semangat membara. "Kita tidak tahu sebelum dicoba lagi!"     

Bidadari berambut pirang gelap itu langsung berlari ke luar ruangan. Kacia sempat tercenung, lantas menyusul temannya itu. Awalnya Lyra masih saja terpaku di tempatnya, sebelum akhirnya berdecak dan berjalan cepat menyusul yang lain.     

Lois menggerak-gerakkan bibirnya. "Dan sepertinya tugas menjaga Rava jatuh kepadaku."     

"Apa mereka semua pergi?" tanya Stefan, tersenyum geli.     

"Begitulah." Ione mengangkat bahu, sedikit menepuk pundak Rava. "Mereka tidak rela harus membagi lagi waktu berdua bersamamu."     

Rava tak menimpali, terlalu sibuk dengan kekhawatiran yang mulai menyesaki kepalanya.     

Lois menelengkan kepala, memandangi tuannya itu. "Kamu kenapa, Rav?"     

Perlahan, Rava menyentuh lukanya yang diperban. "Zita itu sudah sangat mennyeramkan buat aku. Sekarang ada A.G, yang tak kalah kejamnya. Kalau Zita tidak bisa membunuh tuan, berbeda dengan A.G, dia bisa ...." Rava tercekat hebat.     

"Kamu mau bilang, kemungkinan kita mati sebagai tuan jadi lebih besar, kan?" timpal Stefan dengan bibir bergetar. Aah ... Maaf."     

Mendadak, atmosfer ruang rawat inap mewah itu menjadi sunyi dan gelap kembali. Hawa dingin seolah kembali mencengkram leher Rava.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.