128. Kegilaan di Antara Mereka 3
128. Kegilaan di Antara Mereka 3
TIdak ada. Aiden dan Gilang tidak terlihat di manapun
Dengan langkah sempoyongan, dia menghampiri Etria, berlutut dan menggoyang-goyangkan tubuh bidadari itu. Bahkan Rava sampai berteriak di mukanya, tetapi Etria masih saja tidak merespon. Bidadari itu seperti sedang tertidur pulas.
Rava kembali berdiri, memandangi api yang semakin menggila di bangunan gedung dan lahan parkirnya. Tinggal sedikit lagi, api itu akan mencapai bangunan di kanan kirinya.
Merasa tak punya pilihan, Rava berjalan memutar, mencari jalan masuk yang bisa dilaluinya. Beberapa saat berlalu, ia menemukan jalan itu di dekat gerbang pagar sebelah timur. Melihat api yang ada di kanan-kiri jalur tersebut, Rava menelan ludah. Selain risiko tubuhnya terbakar, asap di sana juga cukup pekat. Pandangan dan napasnya jelas akan terganggu.
Namun, Rava tetap menguatkan tekad. Tak memedulikan hawa panas yang menghantam kulitnya, atau asap yang membuat matanya perih dan hidungnya kesulitan menghirup udara, Rava tetap berlari memasuki jalur yang seperti jembatan neraka itu.
Api sangat dekat dengan Rava. Asap pekat mulai mengurangi kesadarannya. Larinya juga tidak teratur. Namun, dia terus maju. Tujuannya hanya satu: menyampaikan pesan kalau Gilang sudah dibawa Aiden.
Satu jilatan api menyambar celana Rava. Dia sempat gelagapan dan jatuh terduduk karena merasakan panas tak terkira di betisnya. Pemuda itu melepaskan jaketnya dan menepuk-nepukkannya ke api itu. Api itu memang akhirnya mati, tetapi Rava bisa melihat noda hitam besar di kaki kanannya. Noda hitam yang masih terasa panas dan bercampur nyeri.
Akan tetapi, sekali lagi Rava bangkit. Dengan terpincang, ia berjalan. Ia sudah tak bisa berlari lagi.
Untungnya, hanya selang beberapa detik, dia bisa melihat punggung Lois. Dia pun jatuh berlutut, energinya habis dan paru-parunya sudah kebanyakan menghirup asap. Kesadarannya benar-benar sudah ada di titik nadir.
Menyadari keberadaan Rava, Lois pun berlutut di hadapan tuannya. Muka dan tubuh bidadari itu sudah dihiasi noda hitam bekas darah monster. "Rava!? Kenapa kamu ada di sini!? Kenapa kepalamu berdarah!?"
Goyangan dari Lois sedikit menyadarkan Rava. "G-gilang .... Gilang dibawa Aiden ..."
Mata Lois langsung membelalak. Dia pun segera menoleh kepada Medora yang masih bertarung. "Medoraaa, tuanmu dibawa Aideeen!!!"
Medora segera menghentikan pertarungannya. Ia pun menatap Zita, yang kini tertawa-tawa. Medora pun berlari kepada bidadari sinting itu. Namun, Zita keburu melompat pergi. Medora langsung mengejarnya,
"T-terus, mas Janu juga kayaknya terluka parah," lanjut Rava, mati-matian berusaha mempertahankan kesadarannya. Matanya sudah tidak fokus seperti orang mabuk. Ia sampai butuh bantuan Lois untuk menopangnya agar tidak tumbang.
Mireon yang kebetulan berada tak jauh dari sana pun mematung untuk sedetik, sebelum akhirnya meloncat demi menghampiri tuannya.
"Rava!" Sambil terus meluncurkan panahnya, Kacia menghampiri tuannya. "Aktifkan panah peledakku!"
Bahkan untuk memencet tanda saja, Rava harus bersusah-payah. Kacia pun meluncurkan anak panahnya. Si monster pun berdesis keras begitu terkena ledakan panah di mukanya. Gerakannya pun makin melambat. Lyra pun memberikan kombinasi tebasan ke kepala monster itu.
Dan akhirnya, monster itu ambruk dengan debam keras. Lyra dan Kacia langsung menghampiri Rava.
"Rava, kamu tidak apa-apa!?" tanya dua bidadari itu berbarengan. Mereka pun bertukar pandang sejenak, sebelum akhirnya menatap Rava kembali.
Rava tak menjawab. Untuk berbicara saja sudah terlalu sulit untuknya.
"Ssss ...."
Desisan itu bukan berasal dari monster yang rubuh. Para bidadari menoleh ke gerbang bangunan. Kali ini mereka melihat monster ular dengan kulit kecokelatan keluar dari gerbang itu. Api yang berkobar-kobar di kepala monster itu berwarna merah menyala.
"Yang benar saja!" hardik Lois yang kelelahan. "Dia sembunyi di mana!? Atau telur itu isinya dua!?"
Rava sudah benar-benar tak tahan. Ia pun tumbang di tangan Lois. Sekarang, dia cuma bisa melihat kegelapan total. Suara yang bisa didengarnya terakhir kali hanyalah sayup-sayup panggilan dari para bidadarinya.
***
"Ahahahaha!!! Ahahahaha!!!" Sambil meloncat dari rumah ke rumah, Zita terus tertawa-tawa. Sementara itu, Medora yang mengejarnya cuma bisa menyeringai. Kecepatannya kalah jauh dibandingkan dengan bidadari sinting itu.
Sampai akhirnya, Zita mendarat di atap genteng sebuah rumah. Medora langsung memberikan serangan cakar, tetapi Zita bisa menangkisnya dengan perisai.
"Katakan, Gilang ada di mana!?" bentak Medora, menyeringai bengis, menggunakan perisai Zita untuk pijakan melompat mundur.
"Ternyata kamu memang punya ikatan batin dengan tuanmu itu, ya? Dari ekspresimu, aku sudah bisa tahu!" Zita mendelik dengan senyum lebar yang tak wajar. "Kukira kamu hanya berpura-pura saja! Ternyata, kamu memang suka anak kecil! Ini akan sangat menarik!"
Medora mendengus keras, mulai memasang kuda-kuda rendah andalannya. "Aku perlu dirinya untuk memenangi pemilihan ratu ini!"
"Ahahahaha!!!" Zita melompat maju, menghujamkan perisainya kepada Medora. Medora memang berhasil mundur menghindar. Namun, sekarang dirinya ada di pinggiran atap. Bahkan separuh sepatunya sudah tidak menjejak. Didorong sedikit saja, dia akan jatuh.
Zita kembali menerjang maju. Medora menggunakan kelenturannya untuk menghindar dari serangan lanjutan sang musuh.
Tahu-tahu Medora sudah ada di belakang musuhnya itu. Zita tak sempat bereaksi ketika punggungnya ditendang keras oleh Medora.
"Uwaaaaa!!!"
Bruggghhh!!! Sebuah kandang ayam besar yang terbuat dari bambu pun hancur lebur begitu tertimpa tubuh Zita. Ayam-ayam yang sedang berkeliaran di sekitarnya pun kabur ke berbagai arah sambil berkokok-kokok.
Medora melompat turun, hendak menghujamkan cakar-cakarnya ke tubuh Zita. Namun, Zita berhasil menghindar dengan cepat. Medora yang baru mendarat berusaha mencari posisi Zita dan tak menemukan musuhnya itu di manapun.
Kali ini gantian Zita yang muncul di balik punggung Medora. Zita memeluk perut Medora dari belakang, lantas melemparkan musuhnya itu sampai melayang.
Pranggg!!! Tubuh Medora menyambar jendela kaca, mendarat di lantai sebuah kamar. Zita pun melompat masuk dengan perisai yang sengaja dilepas. Medora yang baru bangun dari lantai pun tak kuasa menghindari kombinasi pukulan Medora di dada dan perutnya. Karena energi pelindung di tubuh Medora sudah habis, maka efek serangan itu menjadi sangat maksimal. Dia sama sekali tak bisa menahannya, tubuhnya terdorong sampai menabrak meja komputer.
"Aku diberi pesan untuk tak merusak wajahmu terlebih dahulu," desis Zita sambil memajang senyum sintingnya. Ia menarik tubuh Medora, kemudian melingkarkan lengannya ke leher lawannya tersebut dari belakang.
Medora berusaha melepaskan cekikan Zita. Akan tetapi, tenaganya kalah jauh. Bahkan Medora sudah menyikuti perut Zita, tetapi tidak mempan. Medora cuma bisa meringis kesakitan, mulai kehabisan napas, bahkan air liurnya sampai menetes-netes.
Medora terus berontak, sampai akhirnya gerakan bidadari itu melambat. Napasnya habis, matanya memutar ke belakang sebelum akhirnya memejam erat. Kedua tangannya pun terkulai lemas. Saat dilepaskan Zita, bidadari itu pun tumbang tak sadarkan diri.
"Ahahahaha!!!" Tawa Zita pun menggema keras di kamar mungil itu. Sambil senyam-senyum sendiri, ia pun mengangkat tubuh Medora ke pundaknya, kemudian keluar lewat jendela yang sudah hancur. "Ahahahaha!!!"