A Song of the Angels' Souls

105. Pembunuh



105. Pembunuh

1Para bidadari berkumpul bersama tuan-tuannya di ruang tengah rumah kontrakan Rava. Tak ada yang tersenyum, apalagi tertawa. Atmosfer di tempat itu terasa begitu berat. Namun, bila biasanya Rava canggung dan salah tingkah, kali ini isi kepalanya seolah menggelegak.     

Ione mendesah pelan. "Baiklah, kita bahas tentang Zita ...."     

"Menurutku, kita bicarakan itu nanti saja. Ya, masalah Zita memang penting, tetapi ada yang harus segera dibahas selain itu," sela Stefan dengan nada begitu serius.     

"Kalau tentang Lyra dan Lois yang menyerang Medora, jangan salahkan mereka. Aku yang meminta mereka melakukannya. Aku merasa gerak-gerik Medora semakin berbahaya. Dia harus segera dimusnahkan."     

Stefan sedikit mengedikkan tubuhnya. "Kita pernah sepakat, kan. Medora itu mungkin masih bisa disadarkan. Mungkin ada secercah cahaya di hatinya."     

"Apa kamu tidak lihat dia sampai mau memanfaatkan bayi sampai seperti itu? Dia itu sudah kelewatan, Stef."     

Tiba-tiba Rava tertawa getir. Membuat perhatian yang lain tertuju padanya. Dia sebenarnya sudah menahan diri, tetapi rasa di dadanya itu sudah tidak tertahankan lagi. "Aah, aku lupa, misi kalian datang ke bumi kan memang untuk membunuh satu sama lain."     

Mendengar nada bicara yang berbeda dari Rava, semua yang ada di situ tak ada yang sanggup menanggapi. Rava mengusap wajahnya. Matanya bergantian memandangi Ione, Lois, dan Lyra. Ketiga bidadari itu tidak ada yang balas menatapnya.     

"Ada anak kecil yang menangis keras waktu kalian akan membantai Medora. Apakah telinga kalian nggak bisa mendengarnya?" Suara Rava kini penuh dengan penekanan. "Sekali lagi aku ulangi, ada anak kecil yang menangis karena Medora mau digorok sama kalian! Kita nggak tahu gimana dekatnya hubungan Gilang sama Medora! Barangkali Gilang sudah menganggap Medora sebagai pengganti ibunya! Aku dengar dari mas Stefan, ibunya Gilang itu pergi waktu dia masih kecil banget! Coba kalian bayangin, gimana rasanya kalian melihat ibu kalian sendiri mau dibunuh seperti itu, hah!? Coba kalau aku nggak menghentikan kalian, Medora pasti udah mati kena gorok! Gilang yang masih kecil bakal trauma seumur hidup! Kalian ini emang udah gila!"     

Rava mengacak-ngacak rambutnya, terlihat begitu frustasi. "Aku nggak tahu omonganku bakal ngena buat kalian apa nggak. Barangkali jalan pikiranku juga beda sama kalian. Aku ini orang biasa, sementara kalian ini petarung. Barangkali membunuh di depan anak-anak itu udah biasa buat kalian."     

Pemuda itu bangkit dari duduknya, kembali memandang para bidadari itu satu persatu. Masih tidak ada yang membalas tatapannya. Menggeleng-gelengkan kepala, ia mengambil helm dan kunci yang berada di rak televisi, kemudian pergi dari situ tanpa berpamitan.     

"Sepertinya, apa yang ingin kukatakan udah disampaikan sama Rava." Stefan pun bangkit dari sofa dan berjalan menuju kamarnya.     

Rava melangkah cepat menuju sepeda motornya yang diparkir di halaman. Saat menaiki motornya dan memegang setang, ia menyadari sesuatu. Tangannya itu bergetar hebat.     

"Rava!" panggil Kacia yang baru keluar rumah sambil membawa helm. "Aku boleh ikut?"     

Rava langsung tercenung, bertanya-tanya dalam hati mengapa setelah dirinya marah besar seperti tadi, Kacia malah mau ikut dengan dirinya?     

"Rav?" Kacia berjalan mendekati tuannya itu dengan sedikit menelengkan kepala.     

"Aah ...." Akhirnya, Rava mengangguk pelan.     

***     

Setelah cukup lama berputar-putar tanpa tujuan, Rava memutuskan untuk berhenti di alun-alun kota. Di area yang dihiasi beberapa pohon beringin besar itu, dirinya dan Kacia duduk di hamparan rumput yang luas. Hari masih belum terlalu siang, belum banyak orang yang berkumpul dan lalu-lalang di sana. Namun, karena langit mulai mendung, keduanya tidak merasakan panas sama sekali.     

"Apa aku tadi ngomong terlalu keras, Kacia?" tanya Rava, memandangi seorang anak kecil yang bermain bola plastik bersama ayahnya. Mungkin usia anak kecil itu belum mencapai lima tahun, terlihat dari tubuhnya yang masih sangat mungil.     

Kacia sedikit menyentuh bibirnya. "Hmmm .... Tapi, sebenarnya aku suka sisi kamu yang seperti itu, Rav."     

"Hah?" Rava melongo kebingungan. "Kok, bisa?"     

"Apa yang kamu tunjukkan tadi itu menandakan kamu sangat memegang prinsipmu. Menurutku, sifat seperti itu bukanlah sesuatu yang buruk."     

Rava membaringkan dirinya ke rerumputan, memandangi dedaunan di pohon beringin yang rimbun. "Tapi, aku sebenarnya mengerti cara pandang mereka. Mereka khawatir Medora makin menjadi-jadi."     

"Kamu sudah menyelamatkan mental seorang anak yang ditinggal ibunya." Kacia pun ikut berbaring. "Tidak ada yang salah dengan itu, kan?"     

"Iya, sih." Rava memejamkan mata dan menelan ludah. "Tapi, pada akhirnya, Medora mungkin nantinya akan berbuat sesuatu yang jahat lagi. Bahkan mungkin lebih jahat dari sebelumnya dan aku tak punya solusi untuk mencegahnya."     

"Aku tahu." Kacia mendesah pelan. "Aku pun tidak punya solusinya."     

Sayup-sayup angin membuat Rava diserang kantuk. Ia pun menguap, berpikir kapan dirinya terakhir kali tidak memikirkan hal-hal yang berhubungan dengan makhluk-makhluk dari dunia lain.     

"Kupikir, hidupku dulu sudah berat. Aku memang mencari uang, tetapi hasilnya sangat sedikit dan hanya cukup untuk diriku sendiri. Aku cuma jadi beban ibuku. Belum lagi omongan tetangga gara-gara aku di rumah terus dan nggak bisa bersosialisasi. Aku tahu, ibuku khawatir sama aku, barangkali juga kepikiran sama omongan tetangga, tapi dia nggak pernah bilang apa-apa. Aku kasihan sama ibuku, tapi di saat yang sama aku juga bingung mau ngapain," tutur Rava, menghirup dalam-dalam udara segar dari pohon beringin. "Sekarang, dengan adanya monster, konflik yang berhubungan sama nyawa .... Kepalaku mau pecah, Kacia."     

"Kita akan melaluinya bersama-sama, Rav."     

Rava menoleh kepada bidadari mungilnya itu. Kacia sudah mengembangkan senyum hangatnya. Seperti biasa, senyum itu mengalirkan kehangatan dalam diri Rava, membuatnya sedikit lebih tenang.     

"Kacia, maukah kamu ...." Rava menelan ludah. Hawa panas mulai tumbuh di kedua pipinya. "Maukah kamu nemenin aku seharian ini? Cuma kita berdua. Bukan apa-apa, aku cuma belum siap ketemu yang lain."     

Senyum Kacia makin melebar. "Tentu saja."     

***     

Zita berbaring di hamparan campuran tanah, pasir, kerikil-kerikil, dan serpihan-serpihan kecil bahan bangunan. Pandangannya kosong, terhujam ke langit-langit beton bangunan mangkrak yang belum jadi itu. Ia tak memedulikan gaun selutut berwarna putih yang dikenakannya itu menjadi penuh noda.     

"Varya ....," desisnya lirih. Air matanya sudah tak keluar, tetapi bekas alirannya memenuhi wajah bidadari itu.     

Bagas datang sambil menenteng beberapa tas plastik dan payung yang menetes-neteskan air. Deru hujan memang terdengar keras di luar sana. Ia mendekati tong minyak besar yang menyala-nyalakan api, kemudian melemparkan beberapa potong kayu ke sana. Api di tong tersebut pun sedikit membesar.     

Ia duduk di sebuah kotak kayu, sama sekali tak memedulikan bidadarinya. Benda yang dikeluarkannya pertama kali bukanlah bungkus makanan, tetapi satu botol anggur merah. Tanpa pikir panjang lagi, ia membuka tutup botol itu, kemudian menenggaknya banyak-banyak.     

Pria itu sedikit menggeleng-gelengkan kepala, kemudian mengerjap-ngerjapkan matanya. Setelah menikah, dirinya tidak minum alkohol lagi. Dulu, minum segitu tidak berarti apa-apa baginya, tetapi sekarang efeknya begitu berasa.     

Terdengar cekikikan beberapa orang yang mendekat. Tak lama kemudian, tiga pemuda pun muncul dengan tubuh basah kuyup, saling bercengkrama satu sama lain.     

"Eh, ada cewek bule, tuh!" seru salah satunya, menunjuk Zita yang masih berbaring.     

Bagas menghela napas. "Elu-elu pada pergi aja, deh. Mood-nya lagi jelek."     

Zita perlahan mulai bangkit, sementara Bagas mulai menenggak minumannya lagi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.