A Song of the Angels' Souls

123. Wajah



123. Wajah

1Sudah berjam-jam kondisi Mireon bertahan seperti itu. Bidadari itu tiduran di kasur tipis kumal milik Janu yang digelar di lantai, menautkan jari-jemarinya dan menaruhnya di dada. Mata bidadari itu terhujam ke atas. Dan tentu saja mulutnya tertutup rapat.     

Kamar Janu terlalu kecil, pengap, dan bau rokok. Belum lagi barang-barang yang tergeletak begitu saja di lantai. Janu sebenarnya sangat malu. Ia ingin mereka di luar saja, tetapi ayah dan kakak lelakinya terlalu mesum. Bisa-bisa Mireon diapa-apakan. Ya, Mireon pasti bisa melawan. Namun, itu tetap saja akan memberikan pengalaman buruk kepada sang bidadari.     

"Hmmm .... Jadi kamu ini sukanya ngapain?" tanya Janu dalam usahanya untuk membuka pembicaraan untuk kesekian kalinya. Suasana sudah terlalu canggung dan membuatnya tidak nyaman.     

"Kesukaanku adalah tidak melakukan apa pun."     

Janu sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Entah Mireon sebal dengannya atau bidadari itu memang lebih suka berdiam diri. Janu tidak tahu. Wajah Mireon tidak menunjukkan ekspresi berarti, bahkan terkesan tidak bersemangat.     

Janu makin kebingungan. Kalau begitu, dia harus melakukan apa?     

"Jadi, kapan kita akan menyerang mereka?" tanya Mireon tiba-tiba.     

"Menyerang? Menyerang siapa?" Janu mengernyitkan kening, Mengambil segelas kopi yang sudah diminum setengah di meja.     

"Lois, Lyra, Kacia, atau Etria. Atau kamu punya target bidadari lain?"     

Serta-merta Janu menyemburkan kopi yang baru saja diminumnya itu. Ia pun terbatuk-batuk hebat, sementara Mireon hanya memandanginya. Karena hampir setiap hari melihat para bidadari yang tidak menyerang bidadari lain, Janu lupa kalau Mireon masih ingin memenangkan pemilihan ratu itu.     

"Maaf, aku emang udah bersedia jadi tuan kamu, tapi aku masih nggak bisa ngelihat pembunuhan," jawab Janu, bangkit dari duduknya. "Aku pergi dulu buat beli makan. Kamu lapar, kan?"     

"Kamu tidak ingin mengabulkan keinginan terbesarmu?" tanya Mireon, masih berbaring.     

Janu tertawa getir. "Menurutku, pembunuhan itu nggak sebanding dengan keinginanku."     

"Keinginanku adalah ingin melepaskan kekasihku dari sekapan pemerintah."     

Jantung Janu seperti dihentak keras. Bayangan peristiwa saat dirinya mendengar Tina mau menikah pun datang lagi di otak pria itu. Kenapa? Wajah Mireon memang begitu mirip dengan Tina, tetapi mereka individu yang berbeda. Janu tak mengerti. Bagaimana bisa rasa sakit itu kembali lagi di hatinya, ketika dia sudah bisa berdamai dengan bayangan Tina?     

"Sebisa mungkin kamu jangan keluar. Kalau ke belakang lakukanlah dengan cepat. Kunci pintu ini dari dalam. Bapak sama abangku itu mesum banget. Bisa-bisa kamu digrepe-grepe," ucap Janu dengan bibir bergetar, sama sekali tak melihat Mireon. Kemudian, pemuda itu pun pergi.     

Mireon menuruti kata tuannya untuk mengunci pintu dari dalam. Ia lalu memandang berkeliling, mencari-cari sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk untuk mengetahui keinginan terbesar Janu. Dengan tahu keinginan sang tuan, mungkin dia punya kesempatan membujuknya.     

Kemudian, bidadari itu mulai memeriksa kamar tersebut. Ia mencari di antara majalah-majalah musik, botol-botol minuman keras, bungkus-bungkus rokok, baju-baju kotor, dan barang-barang lainnya. Mireon tidak merasa jijik karena itu dia lakukan demi menggapai tujuannya. Bahkan saat menemukan celana dalam Janu, dia tidak peduli dan malah melipatnya. Dia juga akhirnya melipat baju-baju kotor lain di tempat itu, menyatukan sampah ke sebuah kantong plastik besar yang ditemukannya, dan menumpuk majalah-majalah ke meja kecil. Pokoknya, dia merapikan kamar itu sambil terus mencari. Kamar yang rapi mungkin bisa membuatnya menemukan apa yang tidak terlihat.     

Sampai akhirnya, Mireon menemukan selembar foto yang terselip di bawah tape recorder kusam. Ia pun menarik foto tersebut, memandangi wajah seseorang yang terpampang di sana.     

Mireon seperti melihat wajahnya sendiri yang sedang tersenyum lebar, dengan potongan rambut yang berbeda. Meski menemukan hal yang seharusnya mengejutkan seperti itu, Mireon tidak merubah ekspresinya.     

***     

Janu makin kikuk sambil memegangi kotak makan kertas yang telah kosong. Nasi ayam krispinya telah habis sedari tadi, tetapi Mireon masih saja makan dengan gerakan yang super lambat. Belum lagi kamarnya yang kini jauh lebih rapi, meskipun makin kotor. Dia mengumpat dalam hati kepada dirinya sendiri yang malas. Harusnya sewaktu Mireon ada di kamarnya, dia sudah berusaha merapikan semuanya. Dia jadi merasa tidak enak.     

Dan lagi, Mireon pasti menemukan celana dalamnya.     

Bidadari itu menutup kotak makannya yang akhirnya kosong, meminum air dengan gerakan yang juga sangat pelan, sebelum menghadap kepada sang tuan. "Yang di foto itu Tina, kan?"     

Urat-urat di wajah Janu langsung menegang. Dia sudah akan membentak. Namun, karena Mireon mungkin tidak sengaja menemukan foto itu, Janu menahan diri. "Itu bukan urusanmu."     

Tiba-tiba Mireon merangkak cepat. Tahu-tahu, Janu mendapati bidadari itu sudah duduk di pangkuannya. Sambil menatap wajah Janu lekat-lekat, Mireon mengalungkan kedua tangannya ke leher sang tuan. Janu tak sanggup berbuat apa-apa saking terkejutnya.     

"Aku memang bukan Tina, tetapi kamu bisa menganggapku sebagai dirinya," desah Mireon, masih saja tak mengubah ekspresinya.     

Janu berjengit saat Mireon mengecup bibirnya. Pemuda itu bisa merasakan kehangatan dan kelembutan dari bibir kecil Mireon. Begitu basah dan membuat kepalanya dihinggapi sensasi melayang.     

Mireon melepaskan bibirnya, membuat untaian air liur yang berbentuk seperti benang, menyambung dari bibirnya ke bibir sang tuan.     

"Kamu bisa melakukan ini denganku kapanpun, asalkan kamu mau mendampingiku bertarung." Mireon mengusap lembut pipi Janu. Bahkan, di tahap ini, ekspresi sang bidadari masih saja datar. "Kamu bisa melakukannya kampai keinginanmu bersatu dengan Tina terkabul."     

Perlahan, Mireon mulai membuka kancing bajunya. Janu pun menelan ludah saat dada bidadarinya itu mulai terlihat. Pemuda itu pun seperti kehilangan kesadaran. Dia pun membuka kancing baju bidadarinya itu dengan kalap dan jauh lebih cepat.     

Mireon pun pasrah bajunya dilucuti satu persatu dengan brutal oleh Janu. Janu pun tak peduli. Sekarang dia akan bisa melakukan hal itu dengan Tina, pujaan hatinya itu. Seumur-umur, tak pernah terlintas di kepalanya kalau dirinya bisa menjamah tubuh Tina seperti ini.     

Setelah Mireon benar-benar tak mengenakan apa-apa lagi dan berbaring telentang di kasur, Janu pun melepaskan bajunya dengan sangat terburu-buru. Gairahnya sudah memuncak. Ini tidak bisa ditahan lagi.     

Janu pun menduduki tubuh Mireon dengan napas yang begitu memburu. Tangannya sudah siap meraup tubuh bidadarinya.     

Pandangan mereka pun bertemu. Ekspresi Mireon masih saja tak berubah, padahal dirinya sudah ada dalam posisi yang sungguh berbahaya.     

Janu tercekat hebat. Sendi-sendinya seolah membeku. Matanya memanas dan pandangannya kabur. Hanya selang beberapa detik, air matanya menetes, mulai membasahi kulit Mireon.     

"Kamu bukan Tina," lirih Janu dengan suara parau. Kedua tangannya pun terkulai ke bawah. "Kamu melakukan ini bukan atas dasar cinta. Kamu rela menjual tubuhmu untuk menggapai keinginanmu, yaitu membebaskan kekasihmu. Apa kamu tidak merasa bersalah kepadanya?"     

Mireon tidak memberi respon apa pun, hanya memandangi wajah tuannya.     

Janu menghapus air matanya, bangkit dan mulai memakai bajunya. Ketika sudah berpakaian lengkap, dia memakai topinya sambil berkata, "Jangan lakukan hal kayak gitu lagi."     

Pemuda itu lagi-lagi keluar dari kamar, meninggalkan Mireon yang masih telanjang di kasur.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.