126. Kegilaan di Antara Mereka
126. Kegilaan di Antara Mereka
Aiden menaruh asbak tanah liat yang juga berlumur darah itu ke meja, kemudian mulai mengelapi tangannya sendiri.
"Hei, apa kamu juga akan membuatnya menjadi karya seni?" tanya Zita, berjongkok dan memeriksa Dirga. Pria itu masih bernapas pelan.
Sebuah desahan meluncur dari mulut Aiden. "Sasaranku yang sebenarnya adalah Medora. Aku sedang tidak ingin mengurusi orang biasa seperti dia."
"Maaf mengganggu." Satu sosok Piv meloncat ke dekat kaki Aiden. "Ada monster."
Kedua ujung bibir Aiden turun. Wajahnya tak menunjukkan minat sama sekali. "Aku tidak mau. Monster itu membosankan. Darah mereka warnanya sangat tidak indah. Wajah mereka juga hampir tanpa ekspresi."
"Bagaimana kalau kubilang, bidadari lain juga bergabung?"
Aiden mengangkat kedua alisnya. Mulutnya pun menyunggingkan senyum miring.
"Aku sebenarnya bingung dengan kalian. Kenapa kalian kelihatannya tidak marah saat aku melakukan hal seperti ini? Setelah kejadian dengan Stefan, apakah kalian tidak khawatir kalau aku menculik tuan lainnya? Atau jangan-jangan kalian mengerti dengan jiwa seniku?"
"Aku tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaanmu itu. Tugasku hanya mengawasi dan menyampaikan pesan," tukas Piv. "Yang bisa kujawab adalah, Zita dipanggil karena untuk mengalahkan monster ini memang dibutuhkan tenaga lebih."
***
Dengan kemampuan kecepatan supernya, Lyra membawa dua manusia terakhir dari sebuah gedung aula yang luas.
"Sepertinya, sudah semua, Rava" ucap Kacia yang juga baru memindahkan beberapa orang. Bidadari itu sama sekali tak menatap tuannya.
"Aah, terimakasih," jawab Rava, ikutan membuang pandangan. Hubungannya dengan Kacia memang belum membaik.
Tidak mau bertambah canggung, Rava memandang berkeliling ke bangunan yang sudah dipenuhi dekorasi bunga itu. Dia merasa kasihan kepada calon pengantin. Pelaminan, stan-stan makanan, kursi-kursi, sampai panggung dengan organ tunggal. Semuanya sudah dipersiapkan, tetapi gara-gara benda raksasa berbentuk bulat telur di tengah aula itu, semuanya jadi kacau.
Ya, di tengah ruangan itu ada sebuah benda aneh berukuran raksasa dengan lapisan mengilat. Dari dalam benda berwarna hitam itu, ada pancaran cahaya biru temaram yang berkedip-kedip pelan. Cahaya itu tampak dari luar karena memang kulit benda tersebut agak transparan. Para bidadari belum menyerangnya dan memilih untuk mengamati terlebih dahulu. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi kalau mereka nekan menerjang ke benda tersebut.
"Kamu benar-benar belum pernah lihat yang seperti itu, Kacia? Kukira dirimu yang pemburu itu tahu jenis-jenis telur monster di alam liar dunia kita," tanya Lois dengan mulut penuh, mendatangi Rava sambil membawa piring kertas berisi potongan kambing guling dan lontong. Di belakangnya, Etria tengah makan sepiring nasi dengan lauk daging yang menumpuk. Etria tampak begitu lahap sampai banyak butiran nasi menempel di sekitar bibirnya.
Kacia sedikit tertawa melihat kelakuan dua rekannya itu. "Belum pernah, Lois. Monster yang dikirim ke sini kebanyakan monster buatan. Jadi, aku memang tidak terlalu tahu jenis mereka. Kalau monster natural, mungkin aku akan langsung mengenalinya."
"Bisa-bisanya kalian makan di saat begini," ucap Lyra yang baru mendarat di dekat mereka.
"Mumpung ada di sini. Lagipula, paling juga semua ini akan berantakan setelah monster itu bangun. Sayang kalau tidak dicoba terlebih dahulu," timpal Lois, memasukkan potongan daging kambing dan lontong ke mulutnya. Kemudian, pandangannya tertuju ke pintu gerbang besar yang ada di samping bangunan. "Hmmm .... Teman kita datang."
Semuanya menoleh kepada Medora yang tengah masuk gedung bersama Gilang. Perhatian Rava tertuju kepada pipi gilang yang memerah, seperti habis ditampar. Anak kecil itu juga sangat murung dan matanya sembab.
"Hei, apa yang kamu lakukan padanya?" serang Lois, menunjuk Gilang dengan garpunya.
Seperti biasa, Medora memajang senyum teduh andalannya. "Daripada memikirkan itu, lebih baik kita fokus membasmi monster.
Kacia memandangi Gilang sejenak, kemudian sedikit berjalan-jalan untuk mencari sesuatu. Sampailah dia di stan es krim. Setelah mengambil satu cup, ia mendatangi Gilang, berjongkok dan memberikan senyum hangatnya.
"Ini, biar kamu tidak sedih lagi," ucap Kacia, menyodorkan cup kecil berisi es krim coklat itu kepada Gilang.
Gilang menerima es krim itu dengan gerakan pelan, masih menunduk, sama sekali tak menatap Kacia.
Melihat adegan yang menyentuh hati itu, Rava tanpa sengaja menyunggingkan senyum tipis.
"Ayo, bilang apa, Lang?" Masih tersenyum teduh, Medora membelai lembut kepala tuannya itu.
"Makasih," lirih Gilang, tetap saja memandang lantai.
"Ahahahaha!!!"
Semua yang ada di situ langsung berjengit. Para bidadari langsung memasang kuda-kuda dan mengaktifkan senjatanya, menghadap ke pintu gerbang yang lain. Rava berinisiatif untuk bergerak ke sisi Gilang.
"Wah, wah, wah." Sementara Zita tertawa-tawa dengan sintingnya, Aiden masuk sambil bertepuk tangan pelan. "Kami sangat mengapresiasi semangat kalian untuk bertarung. Tapi, lebih baik kita fokus ke monster itu dulu, supaya tidak banyak manusia yang mati karenanya."
Tak ada yang menimpali. Para bidadari menyipitkan matanya, memusatkan perhatian kepada pasangan super berbahaya itu. Rava pun meremas dada kirinya, tempat jantungnya yang kini berdetak luar biasa kencang itu bersemayam.
"Etria, kamu harus menjaga para tuan sampai titik darah penghabisan. Aiden memang berbahaya, tetapi refleks dan kecepatanmu tetap lebih cepat dari dia," desis Lois, menelan ludah. "Kami semua harus fokus melawan monster. Hanya kamu satu-satunya yang bisa mengemban tugas ini. Asal kamu tidak membunuh Aiden, semuanya aman."
Walau wajahnya menunjukkan kekhawatiran, Etria mengangguk kaku. Sesuai dengan yang telah direncanakan, dia pun bergerak ke belakang Gilang dan Rava. Kalau dirinya di depan, ada kemungkinan Aiden tetap bisa menculik para tuan tanpa diketahui. Ione saja bisa kecolongan. Di belakang, Etria bisa mengawasi para tuan setiap saat.
Kacia tiba-tiba memeluk Etria, berbisik dengan nada agak parau. "Kumohon, jagalah mereka dengan baik, Et. Kamu pasti bisa."
Kali ini, setelah Kacia melepaskan pelukannya, anggukan Etria jauh lebih mantap.
"Akan kubunuh dirimu kalau sampai Rava kenapa-napa," imbuh Lyra dengan nada sedingin es, sama sekali tak melihat Etria.
Etria menarik bagian bawah mulutnya ke belakang, jelas sekali makin terbebani. Namun, begitu Kacia memegang pundaknya dan memberikan senyuman hangat, Etria kembali mengangguk semangat.
Tak bisa dipungkiri, Rava cukup takjub dengan perilaku Etria, yang seolah bisa merubah tekad secepat kilat.
"Aah, sepertinya monster itu mau keluar." Aiden menunjuk benda asing raksasa di tengah aula tersebut. Ya, ada sobekan kecil di bagian atasnya. Cahaya dari bagian tengahnya juga sudah lenyap.
"Lang, kamu ikut kak Rava, ya." Medora kembali membelai lembut kepala Gilang, kemudian mengecup ringan kening tuannya itu. "Ibu juga minta maaf ya atas kejadian tadi."
Gilang hanya bisa mengangguk pelan.
Semua bidadari pun kompak maju untuk memasang kuda-kuda. Hanya Etria yang mundur bersama para tuan.
"Ingat, selain fokus kepada monster, kalian harus tetap memperhatikan gerak-gerik Zita," bisik Lyra, yang langsung dibalas anggukan oleh yang lain.
"Hei, kok bisik-bisik? Kalian membicarakan aku, ya?" tanya Zita dengan nada ceria, seolah tawa gila dan ekspresi sintingnya tadi hanyalah akting belaka. Kemudian, dia memajukan mulutnya seperti orang ngambek. "Kalian jahat sekali, padahal aku ini semangat sekali membantu kalian membasmi monster."