117. Teror
117. Teror
Dia sedikit memegang bekas luka di pinggangnya, yang tanpa alasan jelas kini terasa begitu menyakitkan.
Pemuda itu yakin. Dia tak akan bisa menghilangkan bayangan-bayangan itu dari otaknya. Dia tidak akan pernah sanggup melupakan gambaran tubuh Stefan yang bentuknya hampir tidak bisa dikenali lagi. Hampir semuanya merah, bercampur warna daging dan organ, seperti sebuah lukisan abstrak yang begitu mengerikan.
Rava menutupi mulutnya. Rasa mualnya kembali lagi. Mendesak dari kerongkongannya.
Belum lagi raungan pilu Ione yang bersujud di hadapan sebuah kotak plastik. Kotak yang digunakan untuk mewadahi Stefan. Ya, kotak plastik besar. Kantung mayat sudah tidak bisa membawa Stefan lagi. Lalu, ada juga rintihan William yang memanggil-manggil anaknya itu. Seolah, dengan melakukannya, Stefan akan menjawab dari dalam kotak. Kemudian, ada Marcel yang tidak berteriak atau mengerang, hanya terduduk dengan wajah tanpa ekspresi, tetapi air matanya deras mengalir. Dan yang terakhir, Herman malah memukul-mukul tanah, tentunya dengan meneteskan air matanya juga. Tak pernah sebelumnya Rava melihat kemurkaan seperti itu di muka Herman, yang biasanya selalu terlihat tenang.
Semua kenangan itu sangat merasuk ke dalam kepala Rava. Kesedihan, kemarahan, ketidak-berdayaan seolah berputar-putar di otaknya. Begitu menyiksa, membuatnya tidak tahan lagi. Ia ingin lari, tetapi lari ke mana?
Ia tersentak saat mendengar ketukan pelan di pintu kamarnya.
"Rava, ini Kacia. Boleh aku masuk?" tanya bidadari bertubuh mungil itu dari luar.
"I-iya."
Kacia pun membuka pintu dan memasuki kamar itu, langsung mengamati wajah Rava yang tampak pucat pasi.
"Kamu sakit, Rav?" tanya Kacia dengan nada cemas, duduk di pinggiran tempat tidur.
"N-nggak, kok. A-aku nggak sakit." Rava kesulitan merangkai kata untuk diucapkan.
Kacia mendekatkan dirinya kepada sang tuan. "Maaf kalau aku bertanya begini. Tapi, aku sangat mencemaskanmu, Rava. Apakah ini berhubungan dengan kejadian itu?"
"A-ku .... Aku bener-bener takut .... Aku nggak mau kayak mas Stefan. Katanya, dia itu disiksa dulu sebelum di .... Sebelum di ...."
Rava tercekat hebat. Napasnya mulai putus-putus. Tanpa sadar, air matanya pun turun setetes demi setetes.
Teror.
Kacia pun menggenggam tangan tuannya itu dengan lembut. Akan tetapi, hal tersebut tak memberikan dampak apa pun bagi Rava. Pemuda itu terlihat seperti seorang mangsa yang terdesak oleh predatornya.
"Kamu tahu, kan? Kamu tidak harus melakukan ini?" ucap Kacia dengan bibir bergetar. "Tidak ada yang menyalahkanmu kalau kamu mundur. Situasi ini memang benar-benar menakutkan."
Mata Rava membelalak. Kacia mengatakan hal itu tanpa maksud menyindir. Namun, Rava tetap saja merasa tertohok.
"Lalu, siapa yang akan mendampingi kalian melawan Zita dan Aiden? Kalau dibiarkan, mereka akan merajalela." Mulut Rava mengeluarkan tawa yang begitu pahit. "Selain Aiden, cuma aku tuan yang masih aktif."
Serta-merta, Kacia memeluk tubuh Rava erat-erat. Mata bidadari bertubuh mungil itu juga sudah mulai melelehkan cairan bening. "Kalau begitu, aku akan melindungimu sampai akhir, Rava."
Bahkan pelukan hangat dari Kacia juga belum mampu menenangkan hati Rava. Air mata pemuda itu justru turun semakin deras, membasahi punggung Kacia. Rava pun balas memeluk tubuh bidadarinya itu, jauh lebih kencang. Seolah dirinya tidak mau kehilangan sang bidadari.
Di luar, ketiga bidadari lainnya cuma berdiri diam. Dari pintu kamar yang sengaja dibiarkan sedikit terbuka oleh Kacia, mereka bisa mendengarkan semuanya.
***
Pemakaman Stefan dilakukan keesokan harinya. Hanya keluarga dekat yang berkumpul di sekitar pusara, ditambah Herman, Rava dan bidadari-bidadarinya, serta tentu saja Ione. Sementara itu, Mireon mengamati di kejauhan dari balik pohon.
Tak ada yang berbicara lagi saat akhirnya jenazah Stefan sudah tertutupi tanah sepenuhnya. Bukan. Bukan karena mereka tegar. Air mata orang-orang terkasih sudah kering sedari kemarin. Meratap terlalu lama juga tak akan mengubah apa pun.
Satu-persatu dari pengunjung berbusana hitam pun mulai meninggalkan tempat itu.
"Kami pulang dulu, Ione," ucap Kacia pelan, menepuk pundak Ione.
Ione tak menjawab, mata sembabnya tertuju ke batu nisan di makam kekasihnya itu. Wajahnya lebih terlihat murka dibandingkan sendu.
Dan akhirnya, yang tersisa di situ hanyalah Herman, Marcel, William dan Ione. Ione pun jatuh berlutut, menempelkan kedua tangannya ke tanah. Kali ini, keputus-asaan tergambar jelas di wajahnya.
Tidak ada yang membayangkan kalau Stefan pergi secepat itu, dengan cara yang sangat mengenaskan pula. Malam kemarin, Ione masih merasakan kasih sayang sang kekasih, sekarang semua itu tidak mungkin terjadi lagi.
Stefan sudah mati.
William memerhatikan Ione untuk beberapa detik, sebelum akhirnya berjongkok di samping bidadari itu. "Bisakah kamu bercerita tentang tentang keinginan tuan yang akan dikabulkan bila bidadarinya menjadi ratu?"
"Apa gunanya bertanya seperti itu?" desis Ione, menunduk dalam-dalam
Marcel pun mendekati nisan adiknya sambil memasukkan kedua tangan ke saku. "Barangkali, sekarang keinginanku dan keinginanmu itu sama, Ione."
Jantung Ione bagai dihentak keras. Dia pun mengangkat wajahnya untuk menatap Marcel. Kakak dari kekasihnya itu tampak begitu serius.
Cukup lama Ione tercenung, memastikan apa yang baru didengarnya. Kemudian, ia menarik napas panjang, "Begitu menjadi yang terakhir bertahan, seorang bidadari akan diberi kekuatan besar dari inti dunia kami .... Sebuah entitas dengan kedudukan yang begitu tinggi .... Atau kalian bisa menyebutnya sebagai dewa. Dewa ini juga akan memberikan hadiah untuk tuan yang mendampingi sang juara, sebagai sebuah penghargaan. Kekuatan dewa ini sangat besar dan kami tidak sepenuhnya tahu dia itu apa atau siapa, juga tidak mengerti mengapa dia punya kekuatan sebesar itu."
Ione mengambil napas, sementara yang lain serius mendengarkan.
"Ya, kekuatan dari dewa itu memang bisa mengabulkan berbagai permintaan. Tapi, walau kata-katanya bisa mengabulkan semua permintaan, pada dasarnya batasan tetaplah ada. Mudahnya, permintaan itu tidak boleh terlalu masif. Misalnya, tuan dari bidadari yang juara itu tidak bisa meminta perubahan tatanan dunia, memusnahkan segala kejahatan di muka bumi, memohon agar mendapatkan kekuatan setara dewa ...."
"Tapi, kalau sekadar menghidupkan seseorang pasti bisa, kan?" potong Marcel, membuang muka ke arah lain.
Ione menunduk kembali, berbisik dengan nada getir, "Bisa."
"Kalau kamu menerima tawaran kami ini. Kamu tentunya harus menghabisi teman-temanmu itu. Apakah kamu sanggup melakukannya?" tanya William dengan nada berat.
"Itu artinya, kamu harus mengabaikan prinsip yang dipegang teguh oleh Stefan. Tapi, kalau kamu menjadi juara, Stefan akan berada di sisimu lagi," imbuh Marcel dengan nada datar. "Apakah kamu bisa melakukannya?"
Ione kembali mengangkat kepalanya. Kali ini pandangannya begitu tajam. Terdiam untuk beberapa saat, dia menjawab dengan suara yang masih lirih, tetapi lebih tegas, "Bisa."
Marcel mendekati bidadari itu dan berlutut di hadapannya, menjulurkan tangan. "Maka, jadilah bidadariku, Ione. Aku akan membantumu menjadi ratu."
Ione pun menggapai tangan itu.
Herman yang sedari tadi diam cuma bisa menyembunyikan kedua tangannya yang begitu gemetaran ke balik punggung. Sang ajudan mati-matian menyembunyikan keterkejutannya.