sebuah rasa
sebuah rasa
Rey dapat dengan mudah membobol CCTV karena memnag perusahaannya yang memasang sistem keamanan di ponpes tersebut. Secara diam-diam pula Ia memberitahu sahabatnya yang juga pemilik ponpes tersebut jika ke empat anak tersebut masuk kedalam ponpes milikny tapi tak ingin ada seorang pun yang tahu jika mereka dari kalangan berada dan salah satu donator tetap ponpes tersebut.
"Semoga kalian belajar dengan rajin disana dan menjadi anak-anak yang sholih dan sholihah." Gumam Rey sambil menatap layar ponselnya. Lalu Ia berjalan dengan masih menatap ponselnya, Hingga tak sengaja menabrak seseorang yang membuatnya terkejut tak percaya.
BRUKKK!!!
"Maaf." Ujar Rey lalu menatap seorang perempuan berhijab panjang yang jatuh di dekatnya.
"Ga apa-apa mas." Jawab wanita berhijab panjang tersebut sambil membersihkan debu yang menempel di gamisnya tanpa menoleh pada Rey yang masih menatapnya.
"Farida." Panggil Rey. Seketika perempuan berhijab yang dipanggil dengan Farida tersebut menoleh pada Rey yang masih menatapnya.
"R….Rey." Dengan terbata Farida memanggil nama seseorang yang sejak dulu bersemayam dihatinya.
"Farida?" Rey berusaha memastikan.
"I….Iya, aku Farida, kamu apa kabar? Lama sekali tidak berjumpa." Ucap Farida mencoba meredam rasa yang tiba-tiba muncul kembali setelah sekian lama Ia coba untuk meredamnya.
"Alhamdulilah baik. Kamu sedang apa disini?" Tanya Rey pada farida.
"Aku jadi guru ngaji di masjid ini."
Sungguh Rey tak menyangka jika niatnya yang hanya ingin singgah di masjid untuk menunaikan sholat Dzuhur justru mempertemukan dia dengan seseorang yang dulu pernah ada dihatinya.
"Oh."
"Kamu sendiri sedang apa disini?" Tanya Farida pada Rey yang menatapnya cangung.
"Aku hanya sekedar mampir untuk sholat dzuhur baru saja."
Farida mengangguk, "Oh, maksudku kenapa kamu ada di daerah ini?"
"Aku mangentarkan anakku dan ketiga keponakanku, ke pesantren milik Kyai Sofyan."
Mendengar nama Sofyan disebut ada sekelumit rasa nyeri di hati Farida, Ya Sofyan sang mantan suami yang menceraikan dia karena tak ada rasa cinta yang berbalas dari Farida untuknya.
"Maaf." Ucap Rey kala menyadari jika Ia salah telah menyebutkan nama Sofyan, hal itu tentu saja membuat Farida menjadi tak nyaman.
"Tidak apa-apa itu sudah masa lalu."
"Anakmu sudah besar ternyata Rey. Aku turut senang mendengarnya jika anakmu telah dewasa dan mau masuk pesantren."
"Iya, Alhamdulilah, bagaimana dengan mu? Berapa anakmu sekarang?"
"Aku?" Tanya Farida sambil menunjuk pada dirinya sendiri, lalu Rey mengangguk.
Farida menunduk lalu menarik nafas panjang, "Aku belum menikah."
Rey tercekat lalu menatap nanar pada sosok yang sedang menunduk di hadapannya.
"Maafkan aku." Ucap Rey
Farida mengangguk.
"Kalau begitu, aku pamit dulu, aku harus segera pulang."
"Ya, hati-hati dijalan."
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Ucap Farida lembut.
Rey berjalan menuju mobil yang terparkir di halaman masjid lalu segera melajukan mobil itu untuk segera sampai di rumahnya yang masih berjarak berpuluh kilometer.
"Ya Allah petemukan Farida dengan jodohnya, jangan biarkan hamba hidup dengan rasa bersalah." Gumaman doa itu meluncur dari mulut Rey lalu kembali fokus pada jalanan untuk segera tiba di rumahnya.
"Kamu ga apa-apa Rey?" Tanay Ronald yang baru selesai membaca laporan yang dikirimkan oleh asistennya.
"Tidak apa-apa kak, hanya saja… aku tadi bertemu dengan Farida."
"Farida? Mantan pacaramu dulu?" Tanya Ronald.
Rey mengangguk.
"Kok aku ga lihat tadi? Padahal sampai saat ini aku masih penasaran dengan sosok Farida itu lho."
"Kakak tadi sudah lebih dulu masuk ke mobil setelah kita selesai sholat Dzuhur."
"Lalu kenapa kamu jadi sedih kayak gitu?"
"Aku bukan bersedih, hanya saja aku merasa bersalah hingga saat ini Farida belum juga menikah."
"Apa??!!"
"Farida belum menikah."
"Dia masih mengharapkanmu mungkin."
"Dan itu sudah tak mungkin, aku sangat mencintai Humaira kakak tahu itu."
"Aku tahu, dan aku juga tak menyangka jika ada wanita yang sangat mencintaimu sampai sedalam itu."
"Entahlah kak, aku sungguh berharap dia segera mendapatkan laki-laki yang mencintainya."
"Amiin, semoga saja."
"Sofyan saja sudah punya anak dua, aku bingung kenapa dia belum menikah hingga kini."
"Sebaiknya kau tak perlu mengingat akan dia lagi, jangan sampai Humaira jadi cemburu dan marah karena ini."
"Ya kak, aku juga ga mau itu terjadi, aku sangat mencintai Humaira, dan tak mau menyakiti hatinya."
"Syukurlah kalau kalau kau sadar akan hal itu."
"Bagaimana dengan anak-anak2?"
"Semua sudah masuk di kamar masing-masing, menurut info yang aku dapat dari Sofyan mereka masuk di kamar yang berbeda, Fahri dan Fatih sementara Jhonatan di kamar terpisah, kalau Yola memang dia sendirian tak ada teman."
"aku yakin Yola dapat cepat berinteraksi anaknya sangat mudah bergaul."
"Iya, hanya satu yang aku khawatirkan dari Yola, yaitu kepandaiannya dalam bidang IT, aku takut akan membahayakannya, apa lagi IQ nya tinggi, walau ketiga saudaranya juga mempunyai IQ yang tinggi tapi berbeda dengan Yola, dia perempuan dan lagi dia memiliki beberapa kelebihan disbanding ketiga saudaranya, kakak tahu tentang hal itu kan?"
"Iya, semoga Yola selalu di jauhkan dari masalah, dan mereka menjadi anak yang sholih dan sholihah. Aku sangat bersyukur ketika Fatih mau mengikuti jejak saudara-saudaranya untuk pesantren, jujur saja kakak sangat takut jika dia mengikuti jejak masa lalu kakak, Rey."
"Kakak jangan berbicara seperti itu, itu tak akan terjadi, Fatih tidak akan seperti kakak."
"Amiin."
"Aku salut dengan Rena, dia tahu masa lalu kakak tapi selama ini hanya diam, dan tak mau mengungkit akan hal itu."
"Ya, aku sangat bersyukur tentang hal itu, memang Rena sangat dewasa, sama persis dengan apa yang dikatakan oleh Jelita."
"Insting Jelita memang jarang meleset, dan hal itu menurun pada Yola."
"Yak au benar."
Disisi lain, Yola yang baru saja diperkenalkan dengan teman satu kamarnya sedang menata baju-bajunya ke dalam lemari pakaian yang disediakan untuknya.
"Hai, namaku Anisa, kamu Yola kan anak yang baru tadi datang?"
"Hai, ya namaku Yolanda biasa di panggil Yola, senang berkenalan denganmu."
"Kamu sudah ambil jadwal madrah?" Tanya Anisa samvil ikut merapikan baju milik Yolanda.
"Belum, memang sudah ada jadwalnya ya?"
"Sudah, untuk kelasnya juga sudah di bagi, kamu bisa lihat di papan pengumuman sekaligus supaya kita tahu siapa wali kelas madrasah kita."
"Ok, nanti aku kesana."
"Aku temani,"
"Makasih ya Nis."
"Sama-sama__ oya kamu sendirian di pesantren ini?"
"aku sama kakak dan dua sepupuku, tapi mereka semua laki-laki."
"Wah seneng ya, jadi ada teman kalau ada apa-apa ada yang bantu."
"Ya, kamu juga bisa minta tolong bantuanku kalau kamu butuh bantuan." Ujar Yola pada Anisa yang sedang duduk memeluk lututnya.
"Makasih ya, semoga kita selalu menjadi teman baik."
Dan di asrama laki-laki ada Jhonatan yang sedang duduk dikerubungi oleh teman-teman sekamarnya membuat Fatih dan Fahri yang mau mengajaknya ke kantin jadi berhenti dan hanya saling tatap.
"Aku kira kalian bertiga tadi model, yang mau menjadi bintang di poster untuk acara bulan depan." Ujar Umar yang duduk di hadapan Jhonatan.
"Aku kira kamu beragama nasrani, karena nama kamu Jhonatan, dan kamu juga putih banget kayak orang bule." Kata Harun menimpali Umar.
"Kalian itu, melihat seseorang hanya lewat fisiknya saja." Ucap Jhonatan. Lalu Fatih dan Fahri masuk ke dalam kamar Jhonatan dan bergabung dengan mereka.
"Tadinya aku mau mengajak kalian untuk ke kantin, eh ternyata lagi mengibah."
"Ya tapi kan mengibah orangnya langsung."
"Aku seneng nih, hari ini kamarku tambah ramai tambah satu personil lagi, semoga kalian betah ya." Ujar Umar.
"Amiiin, sampai kami lulus."
"Amiin, semoga kita juga bisa menjadi teman yang baik ya,"
"Amiiin lagi…"
"Ya udah yuk kita ke kantin, aku pingin belie s nih, biar seger." Ujar Harun.
"Ya udah ayo kita berangkat."
"Ngomong-ngomong kita memang ga boleh yak e tempat anak perempuan?" Tanya Jhonatan sambil menoleh pada Umar dan Harun yang telah lebih dulu berada di pesantren itu.
"Ga boleh, kalau kita melanggar hukumannya parah deh, jangan sekali-kali kalian melanggar."
"Tapi bagaimana caranya aku nenggokin adikku?"
"Ow, adik kamu perempuan?" Tanya Harun dan Umar bersamaan.
"Iya, adik kembar dia, sepupu kami berdua."
"Ow… jadi kalian saudaraan?" Lagi, Harun dan umar kembali bertanya bersamaan.
"Ya, aku memang kembar, dan kembaranku itu perempuan."
"Ow gitu, boleh dong kenalin ke aku?"
"HUH!!! Buat apa? Kamu mau ditakzir lagi?" Ujar Harun pada Umar.
"Ya enggaklah, kan Cuma buat kenalan aja, ga main-main." Jawab Umar sambil melirik Harun.
"Kirain kamu mau deketin, adiknya Jhonatan."
Jhonatan hanya tertawa kecil melihat interaksi dua teman barunya, sedangkan Fatih dan Fahri hanya mengendikkan bahu tanda tak peduli.
"Berarti di kantin kita bisa bertemu dengan santri putrid dong?" kata faith.
"Ga, kantin itu hanya khusus untuk anak laki-laki saja, kalau anak perempaun sudah punya kantin sendiri."
"ow, gitu,," Ujar Fahri.
"Dan juga di sisni tak boleh membawa laptop atau perlengkapan lain. Yang bisa menghubungkan kita dengan dunia luar."
"Ya, aku sudah tahu itu, kami sudah menyerahkan ponsel kami pada pengurus pesantren." Kata Fahri dengan membawa laptop kecil ditangannya.
"Kamu juga ga boleh bawa laptop." Ujar Harun, lantas mereka hanya saling tatap saja.
"Oke, tak masalah, aku juga akan menyerahkan ini peda PaK pengurus" kata Fahri.
Tak lama kemudian mereka sampai dikantin dan segera memesan makanan khas daerah tersebut untuk mereka santap.
"Enak banget kayaknya." Ujar Fatih.
Fatih lalu menyantap makanan yayng nereka pesan, lalu mengeleng namun jempolnya mengacung ke atas.
"ENAK BANGET Ujar Jhonatan yang sudah makan satu porsi ayam pangang dan lalapannya.
#perlu perbaikan