Mimpi dan Kamu
Mimpi dan Kamu
Sudah beberapa hari ini mereka tinggal di pesantren, dan mengikuti segala bentuk peraturan dan pengajian baik di madrasah maupun pengajian di dalam kamar masing-masing yang diampu oleh kakak pengurus atau ketua kamar mereka.
Sama halnya dengan ketiga saudaranya Yola pun mengikuti segala kegiatan pesantren dengan tertib dan disiplin, apa lagi ini adalah impian Yola sejak kecil bahwa dia ingin belajar di pesantren.
Jam menunjukkan pukul 23.00, Yola baru saja selesai mengikuti pengajian di depan kamarnya bersama teman-teman santri yang lain, kala Ia merasa ingin buang air kecil, mau tak mau dia harus menuruni tangga untuk menuju ke toilet yang terletak di sebrang kamarnya.
Namun saat Ia sedang ingin menutup pintu kamar terdengar petikan gitar yang suaranya tampak jelas ditelinganya. Yola berusaha mencari sumber suara, karena menurut peraturan semua santri dilarang membawa barang-barang yang tidak diperlukan.
Yola menoleh ke kanan dan kekiri, ternyata semua kamar sudah tertutup dan tampak sepi. Yola segera loncat ke pagar pembatas lalu loncat ke atas atap kamarnya, barulah Dia melihat seseorang yang bermain gitar seorang diri. Yola duduk di atas atap kamar memperhatikan sosok yang duduk membelakanginya.
Tanpa Yola sadari laki-laki yang sedang bermain gitar itu menatap Yola dengan ekor matanya, bibirnya melengkung keatas memunculkan senyumannya yang menawan di balik wajah tampan yang berbalut aura berkharisma.
Yola memeluk kedua lututnya, pandangannya tertuju pada sosok yang bermain gitar dengan apik.
"Kenapa kamu ga tidur?" Tiba-tiba saja laki-laki itu menolah setelah mengatakan kalimat tersebut.
Yola tergagap, ingin berlari dan segera turun kebawah namun gitar itu menghalangi langkahnya.
"Duduk!!" perintah laki-laki itu. Yola perlahan duduk di atas genteng yang tadi Ia duduki, lalu perlahan menoleh.
Dibawah remang-remang cahaya rembulan, wajah tampan itu terlihat samar namun tak menghilangkan aura charisma yang luar biasa.
Sejenak mereka saling pandang sebelum laki-laki itu mengalihkan pandangannya.
"Kamu tahu ini melanggar peraturan pesantren?" Tanya laki-laki itu.
"Maksudmu, bagian mana yang dianggap melanggar? Aku naik ke atas atap, atau kita berdua yang hanya berdua."
"siapa bilang kita Cuma berdua?"
Yola mengerutkan dahi lalu menatap pada sosok laki-laki itu, pandangannya mengikuti arah pandang laki-laki itu, terlihat sesosok yang Ia kenal sedang duduk di balkon di bawah mereka sambil memainkan alisnya.
"Bang Jhon." Gumam Yola.
"Kamu kenal dia?" Tanya Laki-laki itu pada Yola yang kemudian menatapnya.
"Dia kakakku." Jawab Yola dengan tatapan dingin.
Laki-laki itu agak terkejut, lalu segera merubah ekspresinya. Selagi laki-laki itu sedang menatap Jhonatan, Yola sudah kembali loncat ke bawah, lalu melambaikan tangannya dari bawah saat laki-laki itu menatapnya dengan tatapan tak percaya.
Laki-laki itu lalu turun dari atas atap ke balkon tempat dimana Jhonatan sedang duduk sambil membaca buku.
"Dia benar adik kamu?" Tanya Laki-laki itu.
"Benar Gus, dia adik saya, mohon jangan di laporkan dia memang anaknya seperti itu, tapi saya jamin dia ga sebandel yang terlihat."
"Menarik, dia gadis yang sangat menarik, siapa namanya?"
"Yola, Yolanda."
"Yolanda. Akan aku ingat selalu nama itu."
"Kenapa gus?"
"karena aku ingin. Ngomong-ngomong bagaimana adikmu bisa melompat setinggi itu dan tak terluka?"
"Kami sering berlatih parkour bersama."
"Parkour?"
"Ya,"
Laki-laki itu mengangguk-angguk kan kepalanya, sedangkan Jhonatan hanya menatapnya dengan tatapan bingung.
"Kalian berarti memang pandai olahraga Parkour?"
"Ya, bukan pandai hanya sekedar bisa saja." Jawab Jhonatan.
"Itu sudah sangat luar biasa, aku salut pada kalian."
Selesai dari Toilet Yola langsung masuk kembali ke kamarnya, dia mengingat sesuatu, laki-laki itu.
"Aku pernah lihat muka itu dimana ya?" Gumam Yola sambil menaruh jilbab di gantungan baju miliknya.
"Yola, kamu ngapain ngomong sendiri? Kamu lihat muka siapa?" Tanya Anis yang tiba-tiba duduk dari posisi semula yang sedang rebahan di atas kasur lantai.
"Enggak." Kata Yola singkat lalu mengambil bantal dan meletakkan bantal itu di sisi bantal milik Anis. Perlahan merebahkan dirinya di atas kasur lantai disusul oleh Anis yang ikut rebahan di sampingnya.
Keduanya menatap langit-langit kamar, sambil berbincang dengan berbisik karena teman-teman mereka yang lain telah terlelap lebih dahulu.
"Kamu percaya dengan mimpi yang menjadi kenyataan?" Tanya Yola pada Anis sapaan akrab Anisa.
Anisa menoleh pada Yola, lalu menjawab, "Mimpi itu menurutku bisa menjadi sebuah isyarat, tapi aku juga ga tahu sih gimana sebenarnya mimpi itu dalam kajian agama."
"Kita perlu tanyakan ini pada Bu ustadzah."
"Iya Yol, tapi kenapa tiba-tiba kamu Tanya tentang hal itu?"
Yola menarik nafaspanjang, lalu menoleh sekilas pada Anisa yang sedang meliriknya, lalu kembali menatap langit-langit kamar.
"Entah kamu bakal percaya atau enggak, tapi sebelum aku berangkat ke pesantren ini, aku mimpi ketemu sama seseorang yang ada dipesantren ini."
"laki-laki atau perempuan?"
"Laki-laki."
"Jangan-jangan kalian berjodoh."
"Ah, mana mungkin, kenal aja enggak."
"Ya nyatanya kamu tahu kalau laki-laki yang ada di mimpi kamu itu ada di pesantren ini?"
"Karena aku pernah lihat disini."
"Serius? Kapan?"
"Tadi."
"Dimana? Kita kan ga bisa keluar dari asrama putrid, mana mungkin ketemu cowok."
"Dia ada di gedung belakang asrama kita ini."
Anisa tampak berpikir, lalu mengangguk. "Belakang asrama kita ini itu rumah dari anak pemilik pesantren ini, yaitu anak Kyai Sofyan. Namanya Gus Abdul."
"Beneran?"
"Iya, tapi tadi aku lihat ada santri disana, ada santri baru juga."
"Kamu lihat dari mana?"
"Dari atap."
"Hah! Dari atap? Bagaimana bisa kamu naik kea tap?"
Yolanda tampak berpikir, "Aku manjat genteng."
"HA! Manjat genteng? Gimana caranya?"
"Loncat lah."
"HA! Serius?"
"Serius."
"Aduh, untung kamu ga ketahuan, bisa parah kalau kamu ketahuan, bisa kena takzir kamu."
"Takzir? Apaan tuh?"
"Astaghfirullah, Takzir itu ya di hukum."
"Ow…"
"Maaf, aku baru masuk pesantren, jadi ya baru tahu istilah-istilah disini he…"
Anisa menepuk jidatnya, "Jangan diulangi lagi ya, jangan cari masalah disini, hukumannya ga main-main, apa lagi kamu ketahuan ngintipin kaum cowok."
"Emang ga boleh banget ya?"
"ya enggaklah, GA BOLEH! Paham?" Ucap Anisa dengan mata yang melotot tajam.
"Oke-oke. Inshallah aku ga akan mengulangi lagi."
"Oya, terus kamu lihat siapa lagi disana?"
"Lihat Jhonatan, santri baru."
"Ow, aku tahu Jhonatan itu yang orangnya ganteng itu kan? Dia jadi trending topik diantara teman-teman santri putrid."
"masa? Muka kayak Jhonatan gitu jadi tranding topik?"
"Iya, kan emang dia ganteng bin tampan." Kata Anisa sambil tersenyum dan tatapan menghalu.
Yolanda memutar bola matanya malas, bagaimana bisa kakaknya dimanapun selalu menjadi incaran para kaum hawa, ga disekolah ga dipesantren? Bahkan di komplek perumahan mereka pun dia sangat terkenal karena ketampanannya.
"Kamu pasti ada kelainan kalau sampai bilang jhonatan itu ga tampan." Ujar Anisa pada Yolanda.
Yolanda melotot, 'Yang benar saja, aku ada kelainan? Hanay karena tak mengakui ketampanan kakak sendiri? Oh No…' Gumam Yolanda dalam hati.
"Yol, kok kamu nglamun sih?" Kata Anisa sambil menyengol lengan Yolanda menggunakan siku tangannya.
"Ya, bingung aja, laki-laki gitu bilang ganteng?"
"Ya Allah, lalu menurit kamu cowok ganteng itu kayak apa?"
"Ya kayak siapa tadi kamu bilang, yang anak pemilik pesantren ini?"
"Gus Abdul?"
"nah, itu… ganteng itu kayak gitu."
"Ya emang sih dia ganteng, tapi mana bisa kita dapetin dia, dia kan anak kyai pasti jodohnya juga dengan anak kyai lah."
"Ow, gitu…. Berarti dia bukan jodoh aku kan?"
"Kok?"
"tadi kamu bilang mimpi itu isyarat, terus kamu bilang bisa jadi dia itu jodohku, sekarang kamu bilang jodohnya dia pasti anak kyai juga, berarti mimpi itu bukan isyarat, hanya bunga tidur."
"Ye…. Itukan belum tentu."
"Ya udah lah, ayo kita tidur besok kita kesiangan sholat subuh, kena takzir kita."
"Ya udah merem."
Kedua memeluk guling masing-masing dan mulai terlelap, berbeda dengan Abdul yang masih terjaga dan sedang menghafal kitabnya.
'"Yolanda."
"Astaghfirullah, kenapa aku jadi ga fokus hafalan? Malah mengingat Yolanda?" Gumam Abdul lalu mencoba kembali fokus menghafal.
"Aku pernah lihat dia dimana ya?" Lagi, bukannya menghafal Abdul justru mengingat-ingat dimana Ia bertemu dengan Yolanda.
"Mimpi? Masak Iya sih?" Kening Abdul berkerut, lalu merebahkan tubuhnya di atas sofa di dalam kamarnya.
"Tapi Iya benar aku bertemu Yola itu di dalam mimpi, kok bisa ya?" Abdul terus berpikir dengan tangannya Ia taruh di atas kepala.
"Yolanda adiknya Jhonatan? Berarti dia anak dari teman Abah."
"Mungkin besok aku Tanya aja sama Abah." Gumamnya lagi.
"Apa yang ingin kamu tanyakan sama Abah? Tanya sekarang saja, abah ada di sini."
Abdul terlonjak kaget saat mendengar suara abahnya yang sudah berdiri di samping Sofanya. Abdul langsung bangkit lalu mencium tangan Abahnya takzim.
"Maaf bah, saya tidak tahu jika abah ada di sini."
Sofyan tersenyum, lalu duduk di sofa yang tadi tempat Abdul berbaring.
"Jadi, apa yang ingin kamu tanyakan pada Abah?" Tanya Sofyan pada sang anak.
Abdul mengaruk tengkuknya yang tak gatal, antara malu dan takut lalu Ia menunduk dengan kedua tangan saling berkait didepan tubuhnya.
"ga ada bah."
"Jangan bohong, tadi abah dengar lho kamu menyebut nama Yolanda."
Wajah Abdul langsung merah padam mendengar apa yang disampaikan oleh Abahnya.
"I….Itu…"
"Katakan saja, duduk sini, agar kamu jadi lebih tenang."
Abdul duduk di samping Abah nya, lalu melirik Abahnya takut-takut.
"Itu Bah, Apa Yolanda itu adik Jhonatan yang juga merupakan anak dari teman ayah yang bernama Pak Danil?"
Sofyan tersenyum, lalu mengangguk pelan "Kenapa kamu tanyakan itu?"
"Tidak apa-apa abah."
"Tak mungkin kau hanya ingin bertanya tentang hal itu."
Abdul menarik nafas panjang lalu berkata pelan pada Abahnya. "Saya pernah bermimpi bertemu dengan Yolanda sebelum dia masuk di pesantren ini, Bah. Dan itu bukan sekali dua kali tapi beberapa kali, bahkan pernah selama seminggu berturut-turut, padahal saya belum pernah bertemu dengan Yolanda sebelumnya." Ucap Abdul dengan wajah menunduk.
"Siapa tahu dia jodohmu." Ucap sofyan sambil tersenyum.