Surat Mu.
Surat Mu.
"Dear My Jhon."
Assalamualaikum, wahai lelaki yang sedang memantaskan diri untuk menjadi Imamku, apa kabarmu, wahai lelakiku?
Sampai di sini, Jhonatan sudah tersenyum semakin lebar, sungguh semakin hari Lala semakin pandai mengukir kata diatas kertas, yang bisa melambungkannya setinggi langit. Kembali Jhonatan melanjutkan membaca isi surat yang dituliskan oleh Lala untuknya.
Jhon, beberapa hari yang lalu, aku pergi ke rumah Fatih, disana aku bertemu dengan Om Ronald, lalu beliau menyuruhku untuk ikut pameran di gallery lukisan milik Om Ronald. Aku tak akan meminta pendapatmu kali ini, karena aku sudah memutuskan sendiri untuk ikut dalam pameran itu.
Ini adalah impianku Jhon, dari kecil aku ingin menjadi seorang pelukis yang terkenal karena bakat melukis yang handal, bukan karena embel-embel nama besar keluarga. Dan seperti halnya dirimu aku juga ingin menjadi seseorang yang pantas sekaligus luar biasa yang akan selalu mendampingimu dalam segala hal.
Jhon, untuk orang seperti dirimu tak perlu kau bersusah payah membangun citra dan nama besar, karena nyatanya kau adalah putra seorang yang mempunyai nama besar. Tapi untuk ku ini adalah caraku untuk membesarkan namaku untuk bisa sejajar dengan namamu kelak.
Tidak ada maksud lain, Jhon. Aku hanya tak ingin kau menikah dengan wanita yang biasa, tapi kau harus menikah dengan wanita yang luar biasa, maka aku juga akan berusaha menjadi wanita yang terbaik yang akan mendampingimu kelak.
Doakan aku, Jhon. Doakan aku agar impian ku terwujud untuk bersanding denganmu dengan nama besarku. Mari kita berjuang bersama demi masa depan kita, Jhon. Demi orang tua kita yang selalu mendukung dan mendoakan kita.
Semangat berjuang wahai seseorang yang telah berikrar menjadi lelakiku, dan meminta restu dari orang tuaku.
Jhonatan mengeleng pelan, namun wajahnya memerah dan tersenyum bahagia. Tanpa menyadari bahwa seseorang sedari tadi telah berdiri di belakangnya.
"Duh, senengnya yang baru dapat surat dari pacar."
Jhonatan terlonjak kaget, lalu berbalik seraya mengelus dadanya saat melihat Abdul sudah bersedekap sambil bersandar di dinding.
"Kamu ngagetin aja, Dul." Kata Jhonatan lalu duduk berselonjor di lantai, sambil melipat kembali surat dari Lala.
"Kamu yang terlalu serius membaca surat itu, samapai aku Cuma ngomong gitu aja kamu sampai kaget." Kilah abdul lalu ikut duduk dilantai bersama Jhonatan.
"Kamu sangat menyayangi perempauan itu?" Tanya Abdul sambil melirik Jhonatan yang sedang tersenyum sambil menatap lipatan surat di tangannya.
"Aku bahkan telah meminta restu kedua orang tua kami, setelah aku menyelesaikan pendidikanku disini aku akan melamarnya secara resmi, dan akan menikahinya." Jawab Jhonatan yang membuat Abdul sedikit terkejut karena memang baru mengetahui jika selama ini surat-surat itu ternyata dari seorang perempuan bernama lala dan bahkan ternyata lebih dari yang Ia pikirkan, ternyata Jhonatan memiliki hubungan yang serius dengan perempuan.
"Aku baru tahu jika kamu mempunyai seseorang yang sangat berarti dan sedang menantimu, antas saja surat-surat dari santri putrid tak satupun kamu baca dan kamu balas. Sampai kamu dicap sebagai laki-laki yang sombong dan dingin terhadap perempuan."
Jhonatan mengendikan bahunya, "Biarkan saja, aku tak suka memberi harapan palsu pada orang lain, bisa digantung sama ayahku nanti, apa lagi kalau sampai aku memberi harapan palsu sama Lala, bukan Cuma digantung, tapi aku yakin aku bakal dipecat jadi anak."
Abdul terkekeh, "Separah itu kah?"
"Tentu saja, walau ayah tak secara langsung mengatakannya padaku." Jawab Jhonatan sambil mengingat bagaimana ayahnya menasehatinya tentang tangung jawabnya sebagai laki-laki.
"Kau sangat dekat dengan ayahmu."
"Bukan hanya dengan ayah tapi juga bunda dan keluarga Om ku pun aku dekat, tapi pada dasarnya kami memang semua dekat, Fahri, aku, Fatih dan Yola memang kami semua dekat dengan semua anggota keluarga."
"sepertinya sangat menyenangkan jika kalian sedang berkumpul bersama."
Jhonatan mengangguk tegas. "Kamu benar dan yang selalu mengacaukan kebersamaan kami itu Fahri dan Yola, mereka biang kerok dalam perkumpulan keluarga."
"Yang benar?" Abdul terkekeh.
"Yang benar apanya, Yola atau Fahri?"
"Bagaimana dengan Yola?" Tanya Abdul sambil menolehkan kepala dan menatap Jhonatan yang kini juga menoleh menatapnya dengan dahi berkerut.
"Kamu cinta sama adikku?" Tanya Jhonatan dengan nada serius.
"Kalau Iya kenapa, kan aku sudah bilang padamu, aku lelakinya, aku takdirnya." Ucap Abdul penuh keyakinan.
"Baiklah, kalau begitu__ Selamat datang di area berbahaya Yola." Ujar Jhonatan lalu kembali menatap lipatan surat yang Ia pegang.
"Maksudmu?" Abdul benar-benar penasaran dengan kehidupan Yola.
"Yola, itu iseng, jahilnya ga ketulungan. Sama persis dengan ayahku." Kata jhonatan ingatannya menerawang saat tiba-tiba ditas sekolahnya ditaruh kecoa oleh Yola.
"Kata Yola kamu yang iseng."
"Itu sebagai pembalasan keisengan Yola padaku." Ucap Jhonatan.
"Dari kapan kamu menyukai adiku?" Tanya Jhonatan.
Abdul menatap langit-langit kamar, lalu tersenyum tanpa menoleh pada Jhonatan.
'Sejak dia hadir dimimpi-mimpiku.' Gumam Abdul dalam hati.
"Entahlah, tapi aku yakin perasaanku tidak salah." Jawab Abdul pada akhirnya tak mau menyebutkan kapan pastinya.
"Kamu tidak takut akan menuai masalah jika ketahuan mencintai adikku sedalam itu?" Tanya Jhonatan kali ini lebih serius karena menyangkut adiknya.
"Tidak, karena aku yakin tidak ada masalah jika dua keluarga sudah saling merestui." Jawab Abdul tegas,
"Kau harus membuat adikku bahagia, dan jangan meyakitinya. Apa lagi menduakannya."
"Tak akan pernah, aku berjanji padamu."
"Bagus, aku pegang janjimu." Jhonatan mengulurkan tangannya pada Abdul, lalu disambut Abdul dengan mantab.
"Kamu kakak yang baik."
"Aku sangat menyayangi, Yola. Walau sering menyebalkan tapi dia tetap adikku yang paling manis."
"Aku juga tahu Yola juga sangat menyayngimu."
"Sudah pasti, aku kan kakaknya yang terkeren."
Abdul tertawa lebar, sungguh Ia bahagia mempunyai kakak ipar yang juga sahabatnya ditambah sikapnya yang terbuka, membuat Abdul nyaman bercengkerama dengan Jhonatan.
"Ngomong-ngomong, kemarin aku tak sengaja melihat hasil tes IQ nya Yola, dan itu sangat diluar dugaanku."
'Kamu lihat dimana?"
"Dikantor pondok pesantren putrid, saat aku menemani Umi memeriksa berkas santri."
Jhonatan mengangguk, "Ya, Yola memang mempunyai IQ yang tinggi, dan harusnya dia sudah diterima di kampus terkenal di negara A walau harus loncat kelas. Yola dan Fatih, keduanya mempunyai IQ yang luar biasa."
"Kamu dan Fahri juga sama."
"Tapi masih kalah jika dibandingkan dua saudaraku itu. Mereka bisa dengan mudah loncat kelas kalau mereka mau, tapi mereka malah memilih belajar di sekolah ini, di Aliyah, yang tidak ada kebijakan untukmikut akselerasi, karena memang sekolah ini kan terintegrasi dengan pendidikan pesantren."
Abdul mengangguk setuju, "Itu benar, justru itu yang membuat aku salut pada kalian, aku tahu pelajaran yang diterima di Aliyah dengan mudah kalian serap, namun kalian sama sekali tidak menyombongkan tentang hal itu, malah aku lihat kalian masih sering ke perpustakaan untuk belajar."
"Masih banyak yang harus kami pelajari, Gus. Terutama menyangkut agama."
"Aku benar-benar salut pada kalian, juga pada cara mendidik orang tua kalian yang luar biasa, dan mendahulukan ilmu agama disbanding ilmu yang lain."
"Ya, keluargaku sangat ketat akan hal itu, terutama sholat."
"Luar biasa."