aku, kamu, and sex

Terkejut 2



Terkejut 2

0"Sofyan." Ucap Rey sambil menatap sosok di depannya, yang juga menatap dirinya tak kalah terkejut.     

"Rey, Reynald." Sofyan menyebut nama Rey, orang yang selama ini ia cari sahabat lamanya sekaligus mantan pacar dari mantan istrinya.     

Keduanya berpelukan ala lelaki, senyum mengembang di wajah keduanya. Mereka berjabat tangan begitu erat, lalu sama-sama duduk di sofa.     

"Kamu apa kabar, Gus?" Tanya Rey mengawali pembicaraan mereka berdua.     

"Jangan panggil aku gituah." Protes Sofyan pada Rey.     

"Lha kamu memang Gus kok, putra seorang Kyai besar, panutanku, guruku." Ujar Rey sambil tersenyum.     

"Kamu itu."     

"Gimana kabar abah dan umi mu?" Tanya Rey lagi pada Sofyan.     

"Alhamdulilah mereka sehat, kamu apa kabar Rey? Menghilang tanpa jejak." Gerutu Sofyan.     

"Siapa yang menghilang? Aku pulang ke kota kelahiranku terus bekerja, itu saja." Jawab Rey.     

"Kini kau menjadi orang yang sukses, aku benar-benar tak menyangka jika orang yang akan ku temui adalah dirimu, CEO prusahaan IT terbesar di negara ini."     

"Kamu terlalu berlebihan, Gus Sofyan, usahamu itu yang lancar jaya sampai membutuhkan ahli IT untuk memperotek perusahaanmu."     

"Ah, perusahaan yang aku bangun belum seberapa disbanding dengan perusahaan milikmu." Ujar Sofyan.     

"Kamu terlalu merendah, jadi apa yang bisa aku bantu?" Tanya Rey pada inti pertemuan mereka.     

"Ya, aku ingin memperteksi data, baik yang dimilik oleh pesantren atau perusahaan milikku."     

"Oke, aku akan membantumu?" Jawab Rey.     

"Semudah itu."     

"Pesantren itu adalah rumah keduaku, dan perusahaan itu juga milik sahabatku, jadi tak ada perundingan lagi, aku akan memberi yang terbaik untuk perusahaanmu dan untuk pesantren."     

"Terimakasih banyak Rey, Oya apa kabar Jelita? Aku pernah lihat dia di berita dia menikah dengan Danil Mahendra, bahkan hingga sekarang Danil Mahendra masih menjadi donator nomr satu di pesantren, sama seperti mendiang ibundanya dulu." Ucap Sofyan panjang lebar.     

"Ya, bahkan Jelita sekarang ini sedang hamil." Jawab Rey sambil tersenyum bahagia.     

"Alhamdulilah kalau begitu. Lalu kau sendiri bagaimana? Apa tidak ingin kembali dengan Farida? Maaf Rey aku sungguh tak tahu jika kalian sudah menjalin hubungan sejak di Aliyah." Ucap Sofyan dengan nada menyesal.     

"Sudahlah, memang kami tak berjodoh, itu bukanlah kesalahanmu." Ujar Rey tersenyum kecut mengingat masa lalunya.     

"Kamu tak ingin kembali dengan Farida?" Tanya Sfyan lalu menunduk mengingit bibir bawahnya, mengingat mantan istri yang hingga kini masih sangat ia cintai.     

Rey mengeleng, lalu berucap, "Aku sudah menikah, dan istriku sedang hamil anak kami yang pertama." Rey tersenyum lebar, begitu juga dengan Sofyan yang agak terkejut karena tak pernah tahu jika sahabatnya ini sudah menikah.     

"Selamat kalau begitu, semoga kehamilan istrimu dilancarakan hingga hari persalinan tidak ada halanagan apapun." Ucap Sofyan tulus.     

"Amiin. Terimakasih Sofyan."     

"Jika sebelum kamu menikah kamu tahu jika Farida sudah bercerai dengan ku apa kamu akan kembali padanya?" Tanya Sofyan penasaran.     

"Tidak. Aku tahu perihal perceraianmu dengan Farida dari Fakhrul saat kami tak sengaja bertemu di rumah sakit. dan pada saat itu aku juga belum ada hubungan dengan gadis manapun, hanya sekedar mengenal saja dengan istriku sekerang ini. Tapi aku punya keyakinan bahwa dokter cantik yang aku temui di rumah sakit adalah jodohku, dan ternyata benar dan semga kami mati dan hidup kembali dia tetap menjadi jodohku." Ucap Rey panjang lebar pada Sofyan.     

"Berapa lama kamu mengenal istrimu hingga kau berani mengajaknya menikah?" Tanya Sfyan.     

Rey mengerutkan dahi sambil berpikir, "Sekitar satu atau dua bulanan, aku langsung mengajaknya taaruf, dan dua minggu kemudian kami menikah." Cerita Rey pada Sfyan.     

"Aku bangga padamu, walau kamu sekarang jadi orang yang sukses tapi kamu tak pernah melupakan ajaran pesantren." Tandas Sofyan sambil tersenyum bangga pada Rey.     

"Ya, ajaran Allah dan kebenarannya adalah mutlak, maka tak ada tawar menawar tentang hal itu." Jawab Rey lalu dijawab anggukan oleh Sofyan.     

"Oya, kamu masih lama di kota ini?" Tanya Rey selanjutnya.     

"Ya, mungkin sampai besok, karena memang aku kesini ingin menemui mu demi keamanan data di perusahaanku."     

"Oke kalau begitu nanti malam kita bisa makan malam bersama di rumahku. Aku akan memperkenalkannmu pada istriku." Ujar Rey tersenyum lebar karena dia akan lebih lama bertemu dengan sahabatnya itu.     

Sofyan menganggukkan kepala, tanda setuju, "Oke." Jawab Sofyan pada akhirnya.     

"Kalau begitu aku akan menelfon istriku sebentar agar dia pulang lebih awal." Ujar Rey yang langsung mengeluarkan pnselnya dan langsung menelfon sang istri.     

"Assalamualaikum, sayangku." Sapa Rey pada sang istri.     

Sofyan yang mendengar bagaimana Rey menyapa istrinya terlihat bagaimana Rey sangat mencintai istrinya, di relung hatinya Ia merasa iri dengan kebahagiaan rumah tangga sahabatnya, Sofyan menarik nafas panjang mengingat lagi sosok Farida yang sulit untuk ia gapai.     

"Sofyan." Panggil Rey yang ternyata telah menyelesaikan panggilannya pada sang istri.     

Sofyan tergagap karena ketahuan melamun, "maaf Rey." Ucapnya.     

"Kamu lagi ada masalah?" Tanya Rey pada sahabatnya yang ketahuan melamun olehnya.     

"Begitu sulitnya aku mengapai hati Farida, Rey."     

Rey menunduk merasa bersalah dengan apa yang pernah di alami sahabatnya ini.     

"Maafkan aku Sofyan."     

"Apaan sih kamu Rey, Perasaan tak bisa dipaksakan, ini sudah takdir cintaku dan Farida." Sofyan tersenyum kecut.     

"Diminum kopinya, sampai dingin kayaknya nih kpi karena kita keenakan ngobrol." Sergah Rey berusaha mengalihkan perhatian Sofyan yang masih tertuju dengan mantan istrinya.     

Keduanya mentesap kopi yang tadi dibawakan oleh Haris sang sekertaris, lalu Rey menyuruh Imran sang asisten untuk menyiapkan berkas kerja sama mereka agar keduanya bisa langsung menanda tangani.     

Dilain pihak Humaira yang tadi diberi tahu sang suami jika aka nada tamu ke rumah mereka malam ini, segera beranjak pulang untuk menyiapkan jamuan makan malam untuk tamu mereka.     

Sebenarnya Humaira tak perlu repot menyiapkan makan malam karena ada asisten rumah tangga yang dapat mengurusnya, namun ini kali pertama sang suami membawa sahabatnya untuk makan malam di rumah mereka, terlebih ini tamunya ini adalah tamu special untuk mereka yaitu putra seorang Kyai besar yang juga guru dari suaminya di pesantren dulu.     

"Mas Heri, kita mampir supermarket dulu ya." Perintah Humaira pada pengawalnya yang selalu mendampingi kemanapun ia pergi bersama.     

Humaira masuk ke dalam mobil, setelah pintunya dibukakan oleh Heri yang juga ikut masuk ke kursi samping kemudi bersama sang sopir.     

Jarak supermarket dan Rumah sakit tidak lah jauh hanya menempuh perjalanan sepuluh menit mereka akhirnya sampai di tujuan. Humaira langsung masuk ke supermarket di temani oleh Heri dan sang sopir yang mengekor dibelakangnya.     

Dengan cekatan Humaira membeli semua keperluan yang ia butuhkan, hingga Ia mendengar seseorang memanggil namanya.     

"Humaira."     

Humaira menoleh setelah menaruh barang yang ingin dia beli ke dalam troly yang di dorong oleh Heri.     

'Dia'. Batin Humaira.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.