Bab 222 \"TERIMAKASIH\"
Bab 222 \"TERIMAKASIH\"
MAAF TYPO BETEBARAN
HAPPY READING…
Setelah dokter pergi, suster ke luar seraya mendorong brankar Qia untuk membawa Qia ke ruang rawat inap. Urusan biaya rumah sakit semua sudah di urus oleh Lintang. "Terimakasih suster," ucap Lintang seraya tersenyum mentap para suster. Qia masih tidak sadarkan diri, wajah Qia juga masih merah dan bibirnya pecah-pecah. Pasti dia dehidrasi karena suhu tubuhnya yang sangat tinggi. Suhu tubuh yang begitu tinggi bisa membuat bahaya pasiennya, jika tidak segera di tolong kemungkinan besar pembuluh darah bisa pecah dan mengakibatkan kematian.
Lintang menarik kursi yang berada di dekat brankar kemudian ia duduk di kursi tersebut. Tangannya terulur untuk merapihkan helaian rambut Qia. Panas di kening Qia begitu terasa di jari Lintang. "Untung saja aku segera datang ke appartement, jika tidak entah apa yang terjadi padamu," ucapnya menatap Qia yang hanya memejamkan matanya itu.
Lintang terus menatap Qia yang memejamkan matanya itu tanpa berkata sedikitpun. Detik jam berlalu hingga Lintang pun beranjak dari ruangan Qia yang masih belum sadarkan diri. Ia harus ke tempat jaga, karena sudah waktunya ia masuk bekerja menggantikan temannya berjaga malam. Ketika ia akan membuka pintunya, telinganya mendengar suara lirih dari arah belakang tubuhnya. Ia segera menolehkan kepalanya dan ia pun melihat Qia yang sudah terbangun dan posisinya saat ini sedang duduk. Qia menyibakkan selimutnya dan akan turun karena rasa mual yang ia rasakan.
Lintang segera berlari menghampiri Qia yang kondisinya belum baik-baik saja. "Kamu mau kemana?" tanya Lintang yang kini sudah memegang tubuh Qia dari samping.
Qia tidak menjawab, ia hanya membekap mulutnya saja yang menandakan dirinya akan muntah. Lintang pun segera mengkat tubuh Qia ala bridal style kemudian dengan sedikit kesusahn dirinya membawa tiang infuse Qia. Lintang pun menurunkan tubuh Qia di kamar mandi. Qia langsung berjongkok dan hampir saja terjatuh jika Lintang tidak memeganginya dengan cepat. Qia kembali memuntahkan isi perutnya yang sudah kosong itu, hingga tenggorokkannya sudah sangat pahit itu. Air mata kembali mengalir karena tidak tahan dengan apa yang saat ini ia rasakan. Lintang dengan telaten memijit pelan tengkuk Qia agar Qia mudah memuntahkan isi perutnya.
Setelah di rasa Qia tidak akan muntah lagi, ia pun membantu membasuh mulut Qia tanpa jijik. Mungkin karena ia dokter, ia tidak jijik sama sekali. Lintang pun mengangkat tubuh Qia ala bridal style dan dengan pelan mendorong tiang infuse Qia.
"Terimakasih," ucap Qia dengan wajah pucatnya seraya menatap Lintang.
"Hum, sekarang kamu makan dulu ya, supaya kamu ada tenaga," ucap Lintang seraya mengambil mangkuk bubur yang di sediakan rumah sakit untuk Qia. Selagi ia menunggu tadi ia sempat ke luar menemui dokter menanyakan diagnosis sementarnya. Dan diagnosis sementara asam lambung naik dan gejala typus. Tapi itu masih diagnosis sementara dari dokter. Ia kemudian meminta di sipkan makanan untuk Qia oleh suster serta ia meminta suster untuk membelikan buah-buahan untuk Qia.
Suster yang ia minta tolong juga tidak pergi sendiri, ia menacari orang yang bisa pergi membelikan apa yang Lintan minta. Dengan telaten, Lintang menyuapi Qia. Baru dua suap tetapi Qia sudah menahannya karena rasanya sungguh tidak enak. "Kalau kamu enggak makan, kondisi kamu enggak akan cepat pulih," ucap Lintang seraya menyodorkan sesuap bubur pada Qia.
"Apa dokter sudah menghubungi suami saya?" tanya Qia tiba-tiba.
"Sudah," jawab Lintang singkat tanpa menatap Qia.
Ia sama sekali tidak menghubungi Kenan, tetapi ia yakin wanita yang tadi siang menelphonenya dengan nama Love itu sudah mengirim foto ke Kenan. Jika Kenan peduli dengan Qia, bukankah dirinya akan segera mencari tahu keberadaan Qia. Tetapi sampai pukul setengah lima sore ini saja Kenan tidak menampakkan dirinya sama sekali. Berarti Kenan tidak peduli sama sekali pada Qia. Akhirnya dengan sedikit paksaan, satu mangkuk bubur rumah sakit itu habis di makan oleh Qia. Lintang memberikan minum pada Qia setelah itu memberikan tisu pada Qia untuk mengelap bibirnya. "Mau makan buah apel?" tanya Lintang.
Qia menggelengkan kepalanya pertanda tidak mau. "Mau istirahat aja?" tanya Lintang lagi.
"Iya," jawa Qia singkat.
Qia pun yang tadi dalam posisi duduk kini sudah merebahkan tubuhnya di bantu oleh Lintang. Lintang menyelimuti tubuh Qia hingga sebatas dada. Kamu istirahat, saya akan kembali bekerja," ucap Lintang.
"Iya, dok. Terimkasih sudah membantu saya," ucap Qia dengan suara pelannya.
Raut wajah Qia juga sudah sedikit lebih baik dari pada sebelumnya. Kepalanya juga sudah tidak begitu sakit dan terasa berat. Suhu tubuhnya memang masih panas, tetapi tidak seperti tadi yang rasanya seperti terbakar. Qia memejamkan matanya dan Lintang pun ke luar dari ruang rawat inap Qia. Ia bergegas ke ruang jaga karena ia sudah sangat telat. Namun, ia tadi sudah berpesan pada suster, jika ada pasien gawat darurat suster harus segera memanggilnya. Lintang termasuk orang yang bertanggung jawab dengan apa yang ia kerjakan. Ia berjalan ke ruang jaga dan memakain jas yang ada di sana. Jas dokternya sendiri berada di mobil dan ia pun malas mengambilnya.
Di tempat lain tepanya di hotel di mana Kenan dan Raka berada sekarang. Dua sejoli itu sedang tertidur pulas akibat kelelahan dengan permainan mereka. Saat ini hari sudah sangat sore, ah apa sudah malam karena sekarang sudah pukul enam lewat empat puluh lima menit. Raka terbangun dari tidurnya karena medengar handphonenya yang berbunyi. Raka pun meraih handphonenya dan mengangkatnya tanpa melihat siapa si penelphone.
"Hallo," jawab Raka dengan suara serak khas bangun tidurnya.
["Kamu baru bangun tidur ka?"] tanya Chika yang ternyata menelphonenya.
"Ah, iya. Aku ketiduran," jawab Raka seraya mengusap wajahnya.
["Mau aku jemput?"] tawar Chika karena sepertinya Raka kelelahan sampai-sampai ia ketiduran.
"Enggak perlu, aku pulang sendiri aja," jawab Raka cepat seraya bangun dari tidurnya. "Kamu mau aku bawaain makan malam enggak?" tanya Raka mengalihkan pembicaraan kemudian ia melihat layar handphoennya untuk melihat pukul berapa sekarang.
["Mau,"] jawab Chika singkat.
"Mau makan apa?" tanya Raka seraya menoleh ke arah Kenan yang kini sudah bangun dari tidurnya. Mereka saling menatap sebentar sebelum Kenan turun dari temoat tidur kemudian berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
["Apa aja, yang penting bisa di makan,"] jawab Chika.
"Huh, cewek. Kalau di tanya jawababannya pasti seperti ini."
["Hahaha… Udah sana, cuci muka terus pulang. Beli makanan apa aja aku mau,"] ucap Chika.
"Hum," ucap Raka yang hanya berdehem saja.
["Ya udah, kamu hati-hati di jalan. Enggak usah ngebut-ngebut bawa mobilnya,"]
"Iya, nyonya…" jawab Raka membuat Chika tertawa di sebrang telephone sana.
["Udah ah, sana. Siap-siap pulang. Aku tutup telphonenya ya. Mmucah…"]
"Mmuch.." balas Raka kemudian ia mematikan sambungan telphonenya.
Raka menyibak selimutnya dan ia pun berjalan melangkah ke arah kamar mandi untuk mengahampiri Kenan yang sedang mandi. Pintu kamar mandi ia buka, tetapi ternyata terkunci. Ia tadinya akan mandi bersama Kena tetapi di kunci ya tidak jadi. Ia pun berjalan ke arah tempat tidur dan merapihkan kamarnya supaya tidak terlalu ketara kekacauan yang mereka buat.
Kenan ke luar dengan handuk yang melilit pinggangnya. Wajahnya terlihat sangat segar setelah selesai mandi. Kenan pun mengambil pakaiannya yang sudah di rapihkan Raka dan di letakkan di atas tempat tidur. "Udah, sana. Kamu mandi," ucap Kenan seraya melemparkan haduk yang tadi ia gunakan untuk mengeringkan rambutnya.
Raka pun berjala ke kamar mandi dan membersihkan tubuhnya. Kenan memakai pakaiannya kemudian ia mengeluarkan handphonenya dasi saku celannya. Setelah itu ia menghidupkan hanpdhonenya yang ternyata tidak bisa di hidupkan karena kehabisan daya. Seingatnya ia mengisi daya handphonenya kemarin, wajar saja jika sekarang handphonenya kehabisan daya. Kenan berjalan ke tas kerja Raka siapa tahu ia membawa casan handphonenya. Ternyata ada casan handphone. Ia pun mengecas handphonenya, selagi menunggu Raka ke luar ia pun berjalan ke arah jendala dan di luar sudah gelap. Lampu jalanan pun sudah menghiasi kota Jakarta yang ia lihat saat ini.
Sekitar 20 menitan Raka pun ke luar dengan wajah segarnya. Ia berjalan kea rah tempat tidur untuk mengambil pakaiannya dan memakainya. Selesai ia memkai pakaiannya, kini Raka duduk di pinggiran tempat tidur. "Sepertinya kita perlu menyewa apartment supaya lebih leluasa Ken," ucapnya seraya menatap Kenan yang sedang berdiri di dekat nakas karena ia sedang menghidupkan handphonenya yang mati total.
Ada beberapa notifikasi masuk dan ada dua panggilan tidak terjawab dari Qia. Ia pun mengernyitkan dahinya melihat Qia yang menelphonenya. Entah kenapa merasa aneh melihat ada panggilan dari Qia, apalagi waktu panggilan itu saat siang. Jika panggilannya di waktu sore atau mungkin magrib ia akan berpikir mungkin Qia mencarnya karena belum pulang. Tetapi ini siang hari, yang menurutnya aneh. Ia pun segera menelphone Qia.
Panggilan pertama tidak di angakt sama sekali, di panggilan ke dua tepat di dering ketiga Qia mengangkat telphonenya. "Habis dari mana saja? Kenapa baru di angkat."
["Kakak sibuk ya?"] tanya Qia dengan suara lemahnya.
"Kamu udah minum obat?" tanya Kenan membuat Raka mengernyitkan dahinya.
["Astaga, Qia. Kenapa kamu bangun,"] ucap suara seseorang di sebrang sana membuat Kenan memanas seketika apalagi itu suara pria.
"Siapa itu?" tanya Kenan.
["Aku di rumah sakit kak, kayaknya di rumah sakit tempat dokter Lintang bekerja,"] ucap Qia.
"Kamu di rumah sakit?" tanya Kenan yang langsung berubah khawatir.
Tidak ada jawaban dari sebrang telephone hanya sebuah percakapan yang ia dengar. ["Kondisi kamu masih lemah, lihat ini infuse kamu lepas,"] ucap orang di sebrang sana dan terdengar begitu khawatir.
"Dok, tolong kasih tahu suami saya. Saya di rawat di mana. Tadi duami saya telephone," ucap Qia seraya menunjuk handphone di nakas sebelah tempat tidurnya. Kenan yang mendegarnya pun menunggu dokter itu berbicara padanya. Ia benar-benar tidak menyukai seseorang yang saat ini sedang berada di dekat Qia.
TBC….