Menikah dengan Mantan

Bab 221 \"DEMAM TINGGI\"



Bab 221 \"DEMAM TINGGI\"

3HAI SEMUA... MAAF YA.. AKU KAYAK BEGINI.     

HAPPY READING...     

Bibir mereka saling menghisap dan lidah mereka saling membelit. Tangan Raka masih bergerak ke luar masuk dari lubang Kenan. Raka menarik jari-jarinya keluar dari lubang Kenan. Ia melepaskan pagutannya dan menegkkan tubuhnya. Ia mengakat kedua kaki Kenan ke atas sehingga lubang kenikamatan Kenan bisa terlihat. Ia meletakkan kedua kaki Kenan ke atas bahunya. Kenan menundukkan kepalanya untuk melihat Raka yang akan memasukkan pedangnya.     

Raka sudah memegang pedang pusakanya kemudian ia meludah ke lubang kenikmatan Kenan sebagai pengganti gel, ia juga mengusapkan ludahnya ke miliknya. Perlahan ia memasukkan miliknya ke lubang kenikmatang Kenan. Kenan sedikit mengangkat bokongnya karena rasanya masih sakit padahal tadi Raka sudah memasukkan jarinya supaya lubangnya bisa terbiasa. Namun, ternyata masih terasa sakit. Raka yang melihat Kenan memejamkan matanya erat dan mengigit bibir bawahnya pun kini naik ke atas tubuh Kenan tanpa melepaskan pedangnya ke dalam lubang kenikmatannya. Ia mencium bibir Kenan supaya rasa sakitnya bisa berkurang. Dirasa kenan sudah menikmati pagutan mereka, ia pun semakin memperdalam pedangnya masuk ke lubang kenikmatan.     

Kenan mencengkram erat kedua bahu Raka karena rasa sakitnya. Raka pun yang mengerti tidak langsung menggerakkan pedangnya di lubang kenikmatan Kenan. Ia menunggu sampai Kenan mulai nyaman baru ia pun mulai menggerakkan pedangnya secara perlahan. Kenan masih mencengkram ke dua bahunya, tetapi lama kelamaan Kenan pun mulai relax. Desahan kenikmatan itu kini memenuhi kamar hotel bintang lima itu. Desahan yang saling bersahutan itu begitu indah menyapa gendang mereka masing-masing.     

Mereka bermain dengan berbagai gaya sampai akhirnya mereka terkulai lemas setelah menumpahkan pelumas pedang mereka. Kenan tidur dengan posisi miring ke kanan dan Raka tertidur dengan posisi terlentang. Mereka tidak benar-benar tertidur melainkan hanya memajamkan mata saja karena lelah. Selagi mereka kelelahan dengan aktifitas ranjang, di apartment Kenan keadaan Qia sama sekali tidak membaik. Suhu tubuh Qia kini menjadi sangat panas, kepalanya semakin berdenyut nyeri.     

Qia membuka mulutnya kemudian mendudukka tubuhnya. Tidak lama dari ia duduk, ia kembali merebahkan tubuhnya karena kepalanya seperti ingin pecah karena begitu sakit. Perutnya juga terasa sangat mual dan ia ingin memuntahkannya.     

Dengan tubuh yang lemas dan kepalanya yang berdenyut sakit itu Qia memaksakan dirinya agar bangun dan segera berjalan ke kamar mandir yang dekat dengan dapur. Ia berusaha melangkahkan kakinya dengan cepat dan menahan rasa sakit di kepalanya. Ia berusaha bertahan walau kakinya sudah sangat gemetar dan rasanya sudah tidak sanggup untuk melangkah. Ia sampai di toilet dan seketika itu pula ia pun memuntahkan seluruh isi perutnya. Menangis, Qia menangis kencang dan terus memuntahkan isi perutnya. Sakit yang ia rasakan saat ini sepertinya lebih parah dari sebelumnya. Yang kemarin ia tidak sampai memuntahkan isi perutnya hanya saja tubuhnya panas.     

"Kak Ken, di mana?" tanya Qia seraya menangis. Pada akhirnya ia memanggil Kenan juga, karena hanya Kenan yang bisa menolongnya saat ini. Tadi ia piker dengan meminum obat saja ia akan sembuh, tetapai nyatanya malah kondisinya semakin parah.     

Qia masih terus memuntahkan isi perutnya sampai tenggorokannya terasa pahit dan tidak ada lagi yang ia muntahkan selain cairan putih saja karena seluruh makanan yang tadi ia makan sudah keluar semua. Qia bangun dari jongkoknya, ia berpegangan pada dinding supaya bisa berdiri karena kepalanya yang sakit itu sedari tadi rasanya ia seperti akan tersunglur ke depan. Ia mengambil air dan menyiran muntahannya, setelah bersih ia berkumur dan mencuci wajahnya. Wajahnya terasa sakit ketika air menyentuh wajahnya. Mungkin karena suhu tubuhnya yang panas membuat wajahnya terasa sakit ketika tersiram air dingin. Sebenarnya airnya tidak dingin, semua hanya karena tubuhnya yang panas sehingga air biasa terasa dingin.     

Ia dengan perlahan berjalan ke luar dengan berpegangan ke dinding. Qia yang sudah tidak tahan pun pada akhirnya menelphone Kenan juga. Ia berjalan ke arah kamar untuk mengambil handphonenya. Ia melakuka panggilan ke handphone Kenan, panggilan pertama tidak di angkat. Panggilan ke dua pun tidak di angkat dan panggilan ke tiga malah tidak bisa di telephone sama sekali.     

Qia pun akhirnya berjalan ke lemari untuk mengganti pakaiannya karena saat ini ia hanya memakai kaos kebesaran dan juga celana pendek saja. Ia mengambil pakaian dalamnya dan baju kaos panjang serta celan jens. Ia meletakkan pakaiannya ke ranjang kotor kemudian berjalan ke meja rias untuk mengambil tas selempangnya dan tidak lupa ia memakai liptint supaya tidak terlihat pucat. Qia berjalan dengan langkah pelan karena kakinya sudah gemetar. Ia berusaha untuk mempercepat langkahnya tiidak begitu bisa selain memang kakinya gematar, kepalanya berdenyut nyeri dan setiap ia melangkah rasanya ia ingin jatuh tersungkur. Jangan lupakan miliknya yang masih sakit karena ulah Kenan.     

Baru juga ia membuka pintu seseorang sudah berdiri di hadapannya. "Qia, " ucapnya segera memegang ke dua bahu Qia.     

"Tolong lepaskan bahu saya dok," ucap Qia dengan suara lirihnya dan wajanya mengernyit sakit akibat cengkraman orang yang sedang memengang bahunya saat ini. Orang tersebut sebenarnya tidak terlalu kuat menyentuh tubuh Qia, tetapi mungkin efek dirinya yang sedang sakit tubuhnya pun ikut merasakan nyeri ketika sedikit di tekan.     

Tanpa peduli ucapan Qia, ia pun segera mengangkat tubuh Qia ala bridal style. Qia menolak tetapi tenaganya tidak cukup kuat meronta dalam gendongan pria tersebut. Si pria yang tidak lain adalah dokter Lintang itu pun segera melangkahkan kakinya menuju lift dan berjalan ke mobilnya. Ketika ke luar dari dalam lift Lintang sempat terdiam di depan lift. Ia tadi kesini karena mendengar Kenan yang pergi, padahal Qia sedang sakit sehingga ia pun langsung bergegas menuju appartement Qia. Hari ini sebenarnya ia sedang libur, tetapi nanti sore ia masuk bekerja untuk menggantikan temannya berjaga. Temanya sedang menemani istrinya melahirkan, alhasil ia pun masu saja menolong temannya itu.     

"Bagaimana ini?" tanya Lintang. Ia tidak bisa membawa Qia ke rumah sakit menggunakan mobilnya. Jika menggunakan mobilnya, kemungkinan besar trauma Qia akan kembali. Tetapi jika mengendari bus, membutuhkan waktu lama apalagi saat ini Qia sedang sakit.     

"Ah, iya," ucap Lintang ketika mengingat ada obat bius di tas kerjanya. Dia membawa obat bius untuk berjaga-jaga saja jika ada seseorang yang membutukan obat bius atau jika ada preman yang tidak bisa ia lawan, ia bisa gunakan obat bius. Walaupu dalam dunia kedokteran tidak bisa asal menggunakan obat bius.     

"Tolong, turunkan saya," ucap Qia dengan suara lemahnya yang hampir tidak terdengar itu.     

Lintang mempercepat jalannya agar segera sampai di mobilnya. Ia kemudian menurunkan Qia seraya memegang pinggang Qia agar Qia tidak terjatuh. Ia mengambil kunci mobil di saku celananya kemudian membuka kunci mobilnya. Ia membuka pintu sebelah kemudi kemudian mengangkat tubuh Qia dan mendudukkannya di kursi. "Tolong jangan bawa saya," ucap Qia lagi.     

Lintang tidak peduli dengan ucapan Qia, ia pun segera menutup pintu mobil dan berlari ke arah pintu kemudi. Ia memasangkan seatbeltnya kemudian mengambil tas kerjanya yang ada di jok belakang. Ia mengambil suntikan yang sudah berisi obat bius kemudian ia menggulung lengan baju Qia hingga bahu. "Apa yang mau anda lakukan?" tanya Qia dengan suara lirihnya.     

"Ini hanya akan membuatmu tidak takut naik mobil," ucap Lintang kemudian menyuntikan obat bius ke tubuh Qia. Suntikan itu berisi obat bius dengan takaran yang pas, jadi tidak akan menimbulkan bahaya. Ia membuang bekas suntikannya ke dalam plastic dan meletakkannya kembali ke dalam tas kerja. Nanti ia akan membuangnya di rumah sakit, karena jika di buang asal takutnya ada yang memakain suntikannya.     

Hanya butuh beberapa menit akhirnya obat biusnya pun sudah bekerja dan Qia kini menutupkan matanya. Lintang segera menghiduokan mobilnya dan melajukan mobilnya dengan kecepatan cepat. Jalanan siang ini cukup lenggang tidak begitu macet hingga ia hanya membutuhkan waktu sekitar 40 menitan sampai di rumah sakit tempatnya bekerja. "Apa yang terjadi dok?" tanya suster yang sudah menunggu Lintang karena tadi Lintang sempat menelpon rumah sakit untuk menyipkan brankar di depan pintu masuk. Dia panas tinggi dan saya tadi memebrinya obat bius seinnga saat ini ia sedang tertidur. Segera lakukan tindakan karena suhu tubuhnya hampir 40 derajat Celsius," ucap Lintang seraya membantu mendorong brankar yang di tiduri Qia ke ruang UGD.     

Brankar Qia masuk ke dalam ruang UGD dan Lintang pun berhenti melangkah tepat di depan pintu masuk UGD. Lintang pun duduk di kursi yang berada di dekat ruang UGD. Ia mengambil handphonenya yang sedari tadi berbunyi, nama Love tertera di layar handphonenya. Ia mengangkatnya dan langsung menjauhkannya. Ia malas mendengar rentetean omelan dari seseorang di sebrang telpone sana. Ia tidak mendengarkan apa saja yang di omelkan penelponenya ia hanya menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Setelah di rasa orang di sebalah sana menghentikan rentetan omelannya ia pun mendekatkan handphonenya ke telinganya.     

"Udah selesai ngomelnya."     

["Ya, Lintang sialan!"]     

"Enggak usah maki gua. Seharusnya hal ini lo manfaatin supaya Kenan marah dan bisa jadi kemarahannya buat dia menceraikan Qia. Jadi, lo gampang kan bisa dapetin Kenan?" tanya Lintang dengan nada malas.     

["Bener juga, tumben lo pinter,"] ucap orang di sebrang sana.     

"Udah, gua tutup," ucap Lintang dan langsung mematika sambungan telponenya sebelum orang di sebrang sana menjawab perkataannya.     

Lintang pun kini menatap ke arah pintu ruang UGD yang masih tertutup. "Kenapa lo bisa sebodoh ini sih Qi. Pria brengsek seperti Kenan saja kamu masih bertahan. Di saat lo sakit seperti ini entah kemana perginya suami lo itu," ucapanya seraya menegakkan tubuhnya.     

Ia meletakkan tas Qia di sampingnya dan tatatapnnya pun terus ke arah ruang UGD. Setelah menunggu sekitar lima belas sampai dua puluh menitan pintu ruangan terbuka, dokter pun ke luar dan menghampiri Lintang. "Bagiaman keadaannya?"     

"Untungnya anda segera membawanya ke rumah sakit jika terlmabat kemungkinannya bisa fatal. Nada tahu sendiri kan, bagaimana jika suhu tubuh tinggi dan tidak segera di tangani.     

"Iya dok, saya tahu. Jadi, bagaimana keadaannya saat ini?"     

"Untuk sementara ia harus di rawat terlebih dahulu dan saya juga akan mengecek darahnya supaya tahu dia sakit apa."     

"Baik, dok. Terimakasih infonya."     

"Iya, sama-sama. Kalau begitu, saya tinggal dulu," ucap dokter yang usianya lebih tua beberapa tahun dari Lintang. Lintang pun menjawab iya, dokter pun pergi meninggalkan Lintang.     

TBC…     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.