Bab 237 \"KEPUTUSAN\"
Bab 237 \"KEPUTUSAN\"
HAPPY READING…
Hari ini Raka sudah berdiri di depan gerbang rumahnya menunggu Tata dan Nathan ke luar dari gerbang rumahnya. "Ka Raka!" pekik Tata senang seraya berlari menghampiri Raka.
"Jangan la—ri," ucapan Nathan sedikit terhenti karena ia baru berucap dan adiknya itu langsung terjatuh. Sudahlah, Tata sedikit bermasalah dengan keseimbangannya karena ia sering sekali terjatuh atau menbarak sesuatu jika ia berlari. Anaknya yang memang tidak bisa berhati – hati atau apa, entahlah.
Nathan menghembuskan napasnya lelah kemudian menghampiri adiknya itu yang sudah berdiri dan Raka sedang membersihkan bagian depan rok yang di kenakan oleh Tata. "Enggak usah, lari – lari aja kamu, Ta. Nyusruk, kan?" tanya Nathan dengan suara menahan kesal dan tanganya membersihkan rok bagian belakang adiknya.
Tata tidak menjawab sama sekali, ia hanya diam saja. "Hati – hati, kalau jalan," ucap Raka yang masih saja dingin. Padahal dalam hatinya, ia khawatir dengan Tata yang terjatuh.
Hari – hari berlalu, Raka memperlihatkan perhatiannya pada Tata walau pun cara bicaranya masih dingin. Hingga akhirnya hari kelulusan itu tiba, hari di manata Raka bukan hanya mendapatkan kabar bahwa ia lulus, tetapi mendapat kabar bahwa mereka akan pindah ke Jerman karena sang ayah mendapatkan pekerjaan di sana.
"Hiks… hikss… hikss… kenapa kakak harus pindah, sih? Kalau kakak pindah, Tata sama siapa?" tanya Tata sesegukkan dengan air mata yang membasahi pipi bulatnya itu.
"Kan ada kak Nathan."
"Kak Nathan sering buat aku nangis, kalau kaka kan, enggak," jawab Tata sesegukkan. Raka tersenyum kemudian mengusap puncak kepala Tata.
Hari ini keluarga Raka pun berangkat ke Jerman, Tata dan keluarganya pun mengantarkan kepergian keluarga Raka. Tata masih menangis seraya memeluk tubuh Raka. "Apa kakak enggak bisa tinggal di sini aja?" tanya Tata dengan suara seraknya karena menangis.
"Kakak harus pergi sama keluarga Kakak, jadi enggak mungkin kaka ke sini," ucap Raka seraya mengusap kepala belakang Tata. Tata semakin menangis kencang dan akhirnya mamanya pun menarik pelan tubuh Tata.
Tata pun langsung memeluk leher mamanya dan menangis di cerukan leher mamanya. Mama Raka juga ikut bersedih melihat Tata yang menangis seperti itu. Hampir setahun ia kenal dengan Tata. Ia menyukai Tata, bahkan menganggap Tata sebagai anaknya sendiri karena seringnya Tata di rumahnya.
Ia menghampiri Tata kemudian satu tangannya terulur untuk mengusap puncak kepalanya. "Tata jangan sedih ya anak cantik, Kakak Raka pergi karena harus belajar. Nanti, kalau kak Raka udah selesai belajarnya, kak Raka akan kembali menemui Tata. Jadi, Tata jangan nangis lagi ya, sayang," ucap mama Raka dengan suara lembutnya yang menenagkan hati.
Tata langsung melepaskan pelukannya kemudian mendongakkan kepalanya untuk menatap mama Raka. "Jadi, kak Raka akan kembali lagi ke sini?" tanya Tata yang sudah menghentikan tangisannya, tetapi jejak air matanya masih terlihat membasahi wajahnya dan suara juga serak.
"Iya," jawab mama Raka seraya tersenyum dan mengusap puncak kepala Tata sayang.
"Kak, beneran?" tanya Tata yang kinim mengalihkan tatapan pada Raka.
"Iya," jawab Raka singkat tetapi sebuah senyuman tulus dari anak yang usianya baru tujuh tahun itu begitu merekah.
"Janji ya kak, kakak akan kembali ke sini kalau kakak udah selesai belajarnya," ucap Tata kemudian mengulurkan kelingkingnya.
"Janji," ucap Raka menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Tata.
Raka kini menatap ke pintu gerbang yang baru saja di lewati anak kecil itu. "Apa itu anak Tata atau anak Nathan?" tanya Raka entah pada siapa.
Ia pun ke luar dari mobilnya seraya membawa jaket untuk menutupi tangannya yang penuh darah. Ia tidak memiliki tisu basah atau pun air untuk mencuci tangannya. Raka berjalan ke gerbang rumah Tata, ia pun hanya diam memandang gerbang itu. Sampai akhirnya dua anak kecil yang tadi ke luar dari gerbang kembali. "Om, siapa?" tanya anak kecil perempuan itu seraya mendongakkan kepalanya menatap Raka.
Rala tersenyum kemudian ia berjongkok di depan anak perempuan itu. "Nama mama dan papa mu siapa sayang?" tanya Raka.
"Om orang jahat ya?" tanya anak lelaki sang kakak yang kini sudah merentangkan ke dua tangannya di depan Raka guna menghalangi Raka untuk mengganggu kakaknya. Raka pun tersenyum, tindakan anak lelaki ini mengingatkkannya pada Nathan yang melindungi Tata, juga Tata yang pernah melakukan ini pada dirinya ketika ada orang dewasa berpenampilan urakan itu berbalik mengahmpirinya karena tidak sengaja saling bertabrakan dengan Raka.
"Bukan, om orang baik. Apa papa kalian bernama Nathan atau mama kalian bernama Tata?" tanya Raka seraya tersenyum manis menatao dua anak itu.
"Mama kami bernama Tata, om siapanya mama?" tanya anak lelaki itu dengan raut wajah yang sudah tidak begitu khawatir lagi.
"Om kakaknya mama kalian," jawab Raka seraya tersenyum manis.
"Kakak mama?" tanya dua anak itu dengan raut wajah polosnya.
"Iya, sayang. Apa om boleh ketemu sama mama kalian?" tanyanya masih memasang senyum termanisnya.
"Mama lagi enggak ada di rumah om, mama kerja," jawab anak lelaki itu.
"Oh…" hanya oh saja jawaban Raka.
"Ya udah, om titip salam ya. Katakan pada mama om Raka tadi datang," ucap Raka pada ke dua anak itu.
"Iya, om."
"Ya udah, kalau gitu kalian masuk ke rumah. Jangan main di luar berdua aja ya, nanti bisa di culik," ucap Raka dengan saura lembut dan tentu saja senyum manisnya tidak ketinggalan.
"Iya, om," jawab keduanya kompak. Mereka berdua pun masuk ke dalam yang terus di perhatikan Raka sampai akhirnya pintu gerbang kembali tertutup. Raka pun tersenyum menatap pintu gerbang tersebut setelah itu, ia pun berjalan ke mobilnya dan masukk ke mobilya.
Wajahnya menjadi tersenyum mengingat tentang Tata, kenapa ia bisa melupakan kehadiran Tata dan janjinya pada Tata untuk kembali menemui setelah ia menyeelesaikan pendidikannya. Wajahnya menjadi murung karena teringat tentang kehidupan keluarganya yang menjadi berantakan. Andaikan mereka tidak pindah ke Jerman, mungkin semua tidak akan seperti ini. Namun, di sisi lain ia tidak akan bertemu Kenan.
Tetapi, jika ia tidak bertemu dengan Kenan mungkin kejadian mengerikan itu tidak akan terjadi di depan matanya. Raka yang akan melajukan mobilnya pun kini hanya diam saja memikirkan semuanya. Apa yang harus ia lakukan, haruskan ia meninggalkan Kenan dan melepaskan Kenan untuk Qia. Lantas, bagaimana denagn dirinya. Ia butuh Kenan ada di sampingnya, karena hanya Kenan yang mengerti dirinya. Haruskah ia melakukan ini, melepaskan orang yang membuatnya mampu bertahan dengan segala kesusahannya.
Raka mencengkram kuat stir mobilnya kemudian menghantamkan kepalanya tangan ke stir mobilnya. "Aaarggh!" teriaknya marah. Entah marah pada siapa, tetapi saat ini ia sedang ingin melampiaskan segala keresahan hatinya. Melepaskan atau bertahan tetapi Qia wanita yang tidak ingin ia lihat bersedih.
Hebusan napas kuat terdengar dari Raka, ia seperti tidak sanggup jika harus melepaskan Kenan, akan tetapi ia tidak punya pilihan lain selain melepaskan Kenan. Raka menatap lurus kejalanan, ia kembali menghembuskan napasnya dengan berat sebelum akhirnya ia mulai melajukan mobilnya meninggalkan area perumahan itu.
Ia sudah memutuskan jika akan melepaskan Kenan agar Qia tidak akan tersakiti. Melihat wajah sedih Qia ia jadi mengingat wajah sedih Tata ketika mobil yang membawa keluarganya ke bandara itu mulai melaju meninggalkan area perumahan. Mobil terus melaju hingga akhirnya ia sampai di appartement. Dengan langkah lunglai, ia pun berjalan menuju unit appartementnya.
Raka masuk ke unit appartementnya dan langsung pergi kekamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang bau amis akibat darah yang menempel di kemeja serta tubuhnya. Guyuran shower yang mengenai kepala serta tubuhnya membuat tubuhnya terasa lebih ringan. Ia terus mengguyur tubuhnya untuk lebih me-relax-kan tubuhnya. Selesai membersihkan tubuhnya ia berjalan hanya menggunakan handuk yang melilit pinggangnya dan satu tangannya mengusap rambutnya yang basah. Ia berjalan ke luar kamar tanpa mengganti pakaiannya terlebih dahulu. Ia berjalan ke dapur untuk mengambil minum.
Ia meletakkan handyk yang ia gunakan untuk mengeringkan rambutnya itu di kursi meja makan saja. "Ada temoat jemuran loh, Ka. Kebiasaan banget, sih!" ucap Chika seraya berjalan ke arah dapur. Wajahnya terlihat lelah dan ia berjalan dengan lunglai. Ia menarik kursi meja makan kemudian mendudukkan dirinya di kursi. Tas kerjanya ia letakkan di atas meja makan. Ia pun merebahkan kepalanya di atas meja makan dan memejamkan matanya. "Mau aku buatin minum apa?"
"Air putih dingin aja," jawab Chika tanpa mengangkat kepalanya dan tidak melihat Raka.
Raka pun mengambil kan minum dingin untuk Chika sedangkan ia membuat orange spring day, itu nama yang ia kasih untuk minuman yang ia buat. Bahan – bahannya hanya sirup jeruk, lemon potong yang di potong bulat, selasih setengah sendok the, serta daun mint 5 lembar di cincang kasar, kemudian ia memakai soda untuk mencampurkan semua bahannya, tidak lupa ec cube nya.
"Ini," ucap Raka seray meletakkan air putih dinginnya di depan Chika.
"Kamu buat apa?" tanya Chika seraya menatap minuman yang sedng suaminya itu minum.
"Orange spring day," jawab Raka singkat.
"Boleh nyicip enggak?" tanya Chika seraya menelan air liurnya karena merasa minuman yang Raka buat itu menyegarkan.
Raka pun memberikannya pada Chika dan ketika Chika meminumnya, rasanya begitu segar dan rasanya hanya mencicipi saja itu masih kurang. "Kamu buat lagi ya, ini buat aku," ucap Chika dengan wajah manisnya supaya suaminya itu mau memberikannya padanya.
"Buat sendiri," ucap Raka dan akan meraih minumannya, sayangnya dengan sigap Chika sudah menjauhkannya dari suaminya.
"Bawa sini Chik, aku lagi males mau buat lagi."
"Ayolah suamiku yang gantengnya kayak oppa – oppa korea tanpa oplas, suaminya Chika yang enggak ada tandingannya kalau di ranjang. Kamu buat lagi ya, ya,,," ucap Chika dengan wajah puppy eyesnya.
Raka menghela napasnya menatap sang istri, mau tidak mau, ia pun hanya membiarkan saja istrinya itu meminum minuman yang ia buat. Raka mengambil gelas air putih dingin istrinya yang baru di minum sedikit kemudian ia minm sampai habis.
"Kamu mau goda aku ya?" tanya Chika tiba – tiba ketika Raka sedang melangkahkan kakinya ke dapur.
TBC….