Bab 238 \"DIAM\"
Bab 238 \"DIAM\"
HAPPY READING…
Raka tidak mempedulikan pertanyaan istrinya, ia terus melangkahkan kakinya ke dapur dan membuat minuman yang ia inginkan. Selesai membuat minumannya, ia pun kembali ke meja makan dan mendudukkan tubuhnya di kursi meja makan. Chika menatap intens suaminya dan Raka terlihat tidak mempedulikannya padahal tatapan mata Chika sudah menjadi kode.
Chik berdiri dari duduknya kemudian berjalan ke arah suaminya. Ia tiba – tiba berdiri di samping suaminya dan mengalungkan tangannya di leher sang suami. Raka mendongakkan menatap istrinya itu dengan raut wajah datarnya. Chika pun melangkahkan kakinya ke atas paha Raka kemudian mendudukkan bokongnya di atas paha suaminya dengan posisi mengangkang.
Satu tangan Chika membelai kepala bagian samping Kenan. Kemudian ia pun menyandarkan kepalanya di bahu sang suami. Chika tidak berkata apa – apa, ia hanya diam saja dengan posisi seperti ini. Raka juga tidak berkata apa – apa, ia membirakna istrinya melakukan apa yang ia inginkan.
Raka sendiri masih meragu apa ia harus benar – benar meninggalkan Kenan. Mereka berdua kini sibuk dengan pemikiran masing – masing. Raka dengan keraguannya sedangkan Chika dengan masalahnya dengan sang papa. Papanya membahas tentang alter egonya yang tidak lain adalah Scarlett. Ibu tirinya pun terus mendesaknya untuk melakukan pengobatan dengan tinggal di rumah sakit jiwa. Chika tahu maksud dari semua yang mereka lakukan ini, semua karena Alura. Mereka ingin Alura menikah agar Alura bisa sembuh dari depresinya.
Sementara Raka dan Chika sibuk dengan pemikirannya, Kenan saat ini sedang duduk diam di depan ruang icu. Ia tadi sempat melihat istrinya ketika di pindahkan ke ruang icu. Wajah pucat, luka di kepala, tangan dan juga kaki sebelah kanannya yang di gips. Matanya terpejam seperti ia tidak akan bangun lagi. Hatinya teramat sakit melebihi rasa sakitnya ketika melihat air mata yang membasahi wajah sang istri ketika ia menangis. Rasa sakitnya bahkan melebihi rasa sakit ketika papanya harus pergi meninggalkan dunia fana ini untuk selamanya.
"Kamu mandi habis itu makan dulu ya, Ken," ucap Carla dengan suara lembutnya yang sedang duduk di kursi yang tidak jauh dari ruang tunggu.
Kenan tidak menjawab, ia hanya diam saja. Pikiran Kenan saat ini hanya di penuhi dengan Qiaa, Qia dan Qia. "Kenan lebih memilih Qia pergi dari hidup Kenan tetapi ia masih ada di bumi yang sama dengan Kenan, dari pada Qia pergi dari hidup Kenan dengan bumi yanh sudah tidak sama lagi dengan Kenan," ucap Kenan tiba – tiba dengan kedua tangannya yang saling bertaut.
Carla menatap sedih sang putra, anak satu – satunya yang selalu ia sakiti dengan kelakuan buruknya. Tangan Carla terulur untuk menepuk punggung Kenan pelan. Kenan hanya diam saja tidak berkata apapun lagi. Hari ini adalah kejadian yang paling buruk dalam hidupnya. Di bandingkan dengan prilaku mamanya dan papanya yang meninggal, melihat keadaan Qia sekarang itu adalah hal menyakitkan.
Tiga hari sudah berlalu semenjak kecelakaan yang menimpa Qia. Qia sudah melewati masa kritisnya, hanya saja sampai detrik ini Qia masih belum membuka matanya barang sedetik pun. Qia masih berada di ruang ICU sehingga Kenan hanya bisa melihat sebentar saja keadaan Qia. Kenan kini duduk di kursi tunggu yang tidak jauh ari ruang ICU. Helaan napas berat berhembus dari mulutnya. Perusahaan untuk sementara Kakek yang menghandle karena tidak tahu kapan Kenan bisa kembali ke kantor mengingat keadaan Qia yang belum sadarkan diri.
"Sadarlah Qi, jangan tinggalin aku. Bagaimana aku bisa mempercayai seorang wanita jika kamu enggak juga sadarkan diri. Aku mau…." Kenan menghirup napasnya dalam – dalam sebelum ia melanjutkan perkataannya.
"Aku mau menjalani pernikahan yang sesungguhnya dengan kamu. Aku akan meninggalkan Raka asalkan kamu kembali dengan ku, Qi," ucapnya kemudian menundukkan kepalanya.
Tiga hari ini ia hanya terus memikirkan Qia dan Qia, ia tidak memikirkan bagaimana keadaan Raka saat ini setelah mendengar Qia yang harus ke guguran. Jika Qia keguguran bukankah berarti Kenan pernah tidur dengan Qia. Namun, Kenan tidak mempedulikan pemikiran Raka tentang dirinya saat ini. Kejadian Qia dan keadaan Qia saat ini membuatnya memilih untuk tetap bertahan dengan Qia dan menjadikan Qis istri sesungguhnya.
Secara agama dan hukum pemerintahan Kenan dan Qia memanglah suami istri, tetapi bagi Kenan bukankah pernikahannya hanya untuk kamuflase saja agar ia bisa menjalani hubungan dengan Raka secara bebas. Harta kakeknya pun tidak akan jatuh ketangan orang ynag tidak pantas. Dan setelah tiga hari ini, Kenan pun memantapkan dirinya untuk menjadikan Qia sebagai istri sesungguhnya, bukan istri di atas kertas dan di hadapan keluarganya saja.
Seminggu telah berlalu dan tadi pagi akhirnya Qia teah membuka matanya, keadaannya yang sudah membaik pun akhirnya di pindahkan ke ruang perawatan biasa. Kenan selalu mengajak bicara Qia, hanya saja Qia diam tidak menjawab semua pertanyaan Kenan. Ia pun mengabaikan perkataan Kenan bahwa ia tidak akan pernah menceraikan Qia sama sekali. Tidak ada permintaan maaf dari bibir Kenan dengan insiden yang menimpanya. Bahkan Kenan tidak membahas keadaan janin yang ada di kandungannya. Tanpa di beritahu pun Qia yakin kandungannya tidak akan selamat sama sekali.
Qia menarik selimutnya untuk menutup seluruh tubuhnya karena ia sudah malas mendengar ocehan dari Kenan. Ia memejamkan matanya tanpa peduli helaan napas berat dari suaminya yang terdengar di telinganya. Ketika terbangun, Qia hanya diam saja tanpa berkata sama sekali. Kebanyaka orang akan bertanya apa yang terjadi, bagaimana keadaan keluarganya jika mereka kecelakaan bersama keluarganya. Namun, Qia yang pernah mengalami hal mengerikan ketika semua keluarganya tidak ada yang selamat pun hanya terdiam tidak bertanya sama sekali. Wajahnya pun terlihat datar tidak ada ekspresi sama sekali.
Kenan pun berdiri dari duduknya kemudian berjalan kea rah sofa. Ia merebahkan tubuhnya di atas sofa kemudian menumpukan satu tangannya untuk menutupi matanya. Lebih baik ia memejamkan matanya dan meredam kemarahannya atas sikap semena – mena Qia. Ia bukan orang yang akan diam saja jika tidak di pedulikan ketika sedang berbicara. Namun, kali ini ia hanya mampu diam dengan sikap Qia. Wajar jika istrinya seperti itu, karena dirinya sudah membuat Qia seperti saat ini.
Qia membuka selimutnya kemudian menatap ke arah sofa di mana suaminya berada. Hanya diam tanpa bicara ia menatap suaminya. Ia ingin bertanya kenapa Kenan melakukan ini padanya, tetapi ia malas mau bertanya. Ia kecewa, sangat kecewa karena sikap Kenan yang terlihat sering cemburu tidak sebanding dengan kejadian mengejutkan yang ia lihat. Maksud hati ingin member kejutan tentang kehamilannya, tetapi ia malah mendapatkan kejutan yang begitu mengejutkan. Menghirup napas dalam kemudian ia pun kembali menarik selimutnya menutupi seluruh tubuhnya.
Tiga hari berselang setelah Qia sadarkan diri, Raka dan Chika datang menjenguk Qia. "Bagaimana keadaan kamu Qi, apa sudah lebih baik?" tanya Raka yang sedikit canggung.
"Seperti yang abang lihat, kayak gini – gini aja. Enggak bisa jalan karena kakiku retak," jawab Qia.
"Semoga kamu cepat pulih dan bisa berjalan kembali," ucap Raka tersenyum canggung.
"Yap, aku harap cepet sembuh supaya enggak kesusahan mau jalan. Risih kalau harus minta tolong orang ke kamar mandi," ucap Qia dengan raut wajahnya yang terlihat tersenyum tetapi syarat akan sesuatu hal.
Kenan yang ada di sana pun hanya mampu menghembuskan napasnya dengan kasar mendengar ucapan sang istri. Ia tahu maksud perkataan Qia itu tertuju pada dirinya. "Ah, aku mau ke kamar mandi," ucap Chika tiba – tiba, ia pun kemudian berjalan kea rah kamar mandi yang ada di ruangan itu.
Kini hanya ada Kenan dan Raka saja di ruangan itu. Tidak ada pembicaraan lagi, bahkan Raka yang tadi sempat bertanya dengan canggung itu pun hanya diam. Ia tidak tahu harus berkata apa. "Bang, boleh minta tolong ambilkan minum?" tanya Qia sedikit mengejutkan Raka yang sedang melamun.
"Ah, iya," jawab Raka sedikit tergagap.
"Apa ada yang membuat abang enggak nyaman?" tanya Qia seraya menatap Raka yang sedang mengambilkan air mineral kemasan untuk Qia.
"Ah, enggak," jawab Raka yang tergagap.
Qia tersenyum simpul, "enggak usah gagap gitu bang jawabnya, kalau memang enggak nyaman," ucap Qia kemudian menerima air mineral kemasannya.
Ia meminum air mineralnya, "maaf," ucap Raka tiba – tiba.
"Untuk?" tanya Qia dengan santainya seolah – olah tidak ada hal yang harus di maafkan. Rasa kecewa Qia pada Raka tidak sebanding dengan rasa kecewanya pada Kenan. Raka ya Raka, seseorang yang baik padanya dan juga perhatian. Hanya saja, ia hanya orang lain yang tidak memiliki hubungan dengannya. Tidak seperti Kenan yang notabanenya suaminya, seseorang yang seharusnya bisa menjadi pelindung bagi dirinya, tetapi apa yang Kenan lakukan padanya. Ia malah menyakiti Qia dengan hubungannya dengan Raka.
"Maaf tentang kejadian sebelum kamu kecelakaan," ucap Raka penuh penyesalan.
Qia tersenyum meremehkan mendengar ucapan Raka. "Kenapa harus minta maaf, abang menikmatinya. Jadi, untuk apa minta maaf dengan masalah seperti itu?" tanya Qia dengan nada sinis.
Baru juga ia akan berucap untuk membalas pertanyaan Qia. Pintu kamar mandi terbuka sehingga Raka tidak menjawab pertanyaan Qia.
Qia mencoba tersenyum palsu ketika Chika berjalan ke arah brankarnya. Fake face, itu sudah menjadi makanan Qia sehari – hari semenjak dirinya ke luar dari panti asuhan. Ia membutuhkan uang untuk biaya hidupnya sehingga fake face di butuhkan untuk bertahan di tempat kerjanya.
TBC…..