WARNING!! JANGAN BUKA SEBELUM GANTI JUDUL
WARNING!! JANGAN BUKA SEBELUM GANTI JUDUL
Qia bangun kemudian turun dari tempat tidurnya. Ketika berdiri rasanya tubuhnya tidak bisa berpijak dengan pasti. Kepalanya yang berat membuat dirinya tidak bisa berjalan dengan tegap. Qia berjalan ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya, kemudian menyikat giginya dan juga mengelap beberapa bagian tubuhnya. Ia juga mengganti pakaiannya karena sudah tidak enak di tubuhnya. Ia kemudian berjalan ke luar dari kamar mandi dengan langkah hati-hati hanya mengenakan bathrob saja.
Ia berjalan ke lemari dan mengambil pakaian asal dan ia pun mendudukkan tubuhnya di atas tempat tidur karena tidak sanggup terlalu lama berdiri. Bahkan perutnya sekarang terasa mual karena dirinya terlalu lama berdiri. Dering handphonenya di atas nakas membuat Qia tersentak kaget dan kepalanya tiba-tiba saja berdenyut nyeri. Qia berdiri dan berjalan dengan berpegangan pada sisi ranjang untuk menuju nakas samping tempat tidurnya.
Sambungan video call oleh Kenan yang kini terpampang di layar handphone Qia. "Hallo, kak." Ucap Qia ketika ia sudah mengangkat sambungan telphonenya.
"Kepalanya masih berat?" tanya Kenan yang sesekali menatap layar. Sepertinya Kenan sedang fokus dengan hal di depannya.
Kamera handphone Kenan mengambil sisi samping Kenan. "Kakak kerja aja, Qia udah enggak apa-apa, kok," jawab Qia seraya menatap Kenan yang terlihat sibuk.
Kini Kenan menatap ke arah kamera dan Qia pun meberikan senyuman terbaiknya. "Kakak jangan lupa makan, ini udah waktunya istirahat," ucap Qia yang senyumannya tidak luntur sama sekali.
"Kepala kamu masih sakit? Aku dari tadi tanya belum kamu jawab," ucap Kenan menatap serius Qia.
"Iya, udah enggak," jawab Qia seraya tersnyum.
"Syukur deh, kalau kamu udah enggak sakit kepala. Aku tadi pagi buatin bubur, kamu makan itu aja," ucap Kenan dan ia kembali fokus dengan kerjaannya.
"Hum," jawab Qia yang hanya bergumam.
Tiba-tiba suara bel berbunyi membuat Qia mengernyitkan dahinya. "Ia sebentar!" teriak Qia membuat Kenan yang sedang fokus dengan pekerjaannya kini menoleh menatap kamera.
Qia turun dari tempat tidur dan berjalan ke pintu. Handphonenya pun ia bawa dala posisi menyala. Beberapa kali Qia terjatuh dan rasa mual di perutnya itu kembali menyerang padahal tadi sudah tidak ada masalah sama sekali. "Ia sebentar!" teriak Qia ketika ia berjalan kea rah pintu.
Ketika ia membuka pintunya Qia mengernyitkan dahinya karena tidak ada siapapun, tetapi matanya tertuju pada sebuah kotak yang kini ada di hadapnnya. "Apa ini seperti yang ada di sinetron. Kotak ancaman?" tanya Qia menatap kotak itu.
"Qi," panggil Kenan agak keras membuat Qia tersentak kaget dengan pemikirannya saat ini.
Qia mengangkat telphonenya dan melihat ternyata sambungan telphonenya masih terhubung. "Loh, kakak masih telephone. Aku pikir udah mati," ucap Qia menatap ke layar handphonenya.
"Siapa yang datang?" tanya Kenan penasaran.
"Enggak tahu, aku buka pintunya tapi enggak ada siapa-siapa yang ada malahan hanya paket saja," ucap Qia kemudian mengubah kameranya supaya ia bisa menunjukkan peket tersebut.
"Paket apa itu?" tanya Kenan mengernyitkan dahinya.
"Enggak tahu, apa ini kayak di film-film itu ya kak? Paket ancaman," tanya Qia yang memikirkan sinetron atau film yang pernah ia tonton waktu dulu.
"Paket ancaman?" tanya Kenan heran.
"Iya, paket ancaman," jawab Qia kemudian ia berjongkok.
Tangan Qia sudah terulur untuk membukanya, tetapi Kenan menahanya. Namun, Qia ya Qia orang yang keras kepala. Dengan takut-takut, ia pun membuka paket itu. Sebuah boneka teddy bear yang berlumur darah dengan bagian kepalanya robek. Kenan begitu shock melihat apa isi di dalam kotak tersebut sedangkan Qia hanya diam tanpa berkata sepatah kata pun. Ia kemudian mengeluarkan boneka itu dari kotaknya dan mencari sesuatu yang lain di dalam kotak itu. Ada sebuah foto mobil rusak, kemudian terbakar dan terakhir foto seorang yang menangis melihat kecelakaan itu.
Deg…
Jantung Qia tiba-tiba berpacu dengan kuat, melihat foto terakhir yang ada di dalam kotak itu. Qia merasa foto-foto itu adalah dirinya. Bayangan kecelakaan itu terngiang di otaknya. Bagaikan sebuah kaset rusak di hadapan Qia saat ini adalah adegan di mana kecelakan terjadi. Handphone yang dipegang Qia pun terjatuh begitu daja. Kenan sudah memanggil Qia tetapi semua itu tidak ada gunanya. Qia berdiri dengan tatapan kosongnya. Ia berjalan meninggalkan area appartement.
Seseorang yang bersembunyi di samping pintu salah satu unit appartement Kenan itu tersenyum penuh arti. Ternyata sangat mudah membuat Qia kehilangan kesdarannya dan membuat dirinya mengakhiri hidupnya sendiri. Ia tadi sempat kecewa karena Qia tidak bereaksi sedikit pun, tetapi melihat reaksi Qia sekarang ia pun sangat senang. Ternyata foto-foto itu sangat berguna sekali.
Ia pikir Qia hanya akan terpengaruh ketika ia mengalami langsung atau ia melihat kecelakaan di hadapannya. Namun, foto yang hanya iseng-iseng ia taruh ternyata mampu membuat Qia kehilangan kesadarannya. Qia sudah berdiri di depan lift menunggu lift trerbuka. Orang itu akan berjalan mengikuti Qia. Ia ingin melihat Qia yang membunuh dirinya sendiri tanpa perlu repot-repot dirinya membunuh Qia.
Namun, langkahnya harus terhenti ketika dua orang ke luar dari lift. "Qi, kenapa disini?" tanya seorang pria yang tidak lain adalah Raka.
Raka merasa ada sesuatu hal yang aneh dari Qia. "Tatapannya kosong," ucap Chika membuat Raka menolehkan kepalanya menatap Chika.
Qia sudah masuk ke dalam lift tetapi dengan sigap Raka segera masuk dan membawa Qia keluar dari dalam lift. "Enggak, papa, mama, kak Nathan!" pekik Qia yang mulai histeris.
"Papa, mama Kak Nathan, jangan tinggalin Tata. Tata mau sama kalian!" teriak Qia.
Chika yang melihatnya pun membulatkan matanya dengan reaksi Qia yang sampai seperti itu. "Papa, Mama kak Nathan, Tata mau ikut!" teriak Qia yang tatapan Qia menatap lurus kedepan tetapi tidak tahu apa yang ia lihat. Bayangan yang ia lihat adalah Papa, Mama dan Kakaknya pergi meninggalkan dirinya.
Qia terus meronta dan berteriak histeris, Raka pun dengan susah payah memegangi tubuh Qia yang terus meronta. Sedangkan Chika kini menelphone Kenan agar Kenan segera pulang. Tanpa diminta pun ternyata Kenan tadi langsung bergegas pulang ketika handphone Qia terjatuh di lantai.
Lama kelamaan, Qia pun berhenti berteriak dan ia pun jatuh pingsan karena tubuhnya yang memang kurang fit. Kini Raka sudah duduk di lantai dengan kepala Qia yang ada di atas pahanya. "Apa yang terjadi pada Qia?" tanya Chika seraya menatap Qia penuh prihatin. Pertanyaan yang simple dan mudah di jawab itu mampu membuat Raka yang sedang mengatur napasnya sekitika menatap Chika.
"Ah, lebih baik kita bawa masuk Qia ke dalam," ucap Raka mengalihkan pertanyaan Chika.
"Ah, iya," jawab Chika sedikit gagap.
Raka pun mengangkat tubuh Qia ala bridal style dan membawanya masuk ke dalam appartement. Raka meminta Chika memasukkan password yang ia tahu, tetapi password itu tidak masuk. "Telphone Kenan saja," usul Chika.
"Ya, udah. Telphone Kenan," jawab Raka.
Chika pun menelphone Kenan untuk meminta password appartementnya supaya mereka berdua bisa membawa masuk Qia. Chika memasukkan passwordnya dan ketika pintu terbuka mereka Raka tidak sengaja menginjak sesuatu. "Apa itu?" tanya Raka pada Chika karena ia kesulitan untuk melihat benda yang ia injak,
"Handphone," jawab Chika kemduian mengambil handphonenya dan memperhatika handphonenya pada Raka.
"Itu handphone Qia," ucap Raka mengernyitkan dahinya.
Otak Raka tiba-tiba saja berpikir jika Qia seperti ini karena hanphone yang sedang di pegang Chika. "Bawa masuk Ka," ucap Chika menyadarkan Raka.
Raka pun segera membawa masuk Qia dan ia pun berjalan masuk menuju kamar Qia dan Kenan. Ia hanya meraba-raba saja di mana kamar Qia dan Kenan, karena ia memang belum tahu appartement yang di tempati Kenan ini. Bahkan Raka sendiri baru tahu setelah Kenan mengumumkan hubungannya dengan Qia. Namun, walau ia tidak tahu tata letak appartement ini tebakannya tidak salah jika kamar pintu yang ia minta tolong bukakan adalah pintu kamar Qia dan Kenan.
Perlahan Raka menidurkan Qia ke atas tempat tidur, selanjutnya Chika yang membantu Qia karena pakaian yang di kenakan Qia terlalu tipis hingga bagian tubuh dalamnya terlihat. Raka memilih ke luar dari kamar membiarkan Chika merawat Qia. Awalnya Raka tadi tidak begitu memperhatikan jika Qia hanya memakai kemeja panjang putih yang tidak memakai apapun di dalamnya. Namun, ketika ia menggendong Qia, ia baru menyadari jika Qia tidak mengenakan apapun di balik kemejanya putih tipis kebesarannya.
"Hah, bagaimana bisa dia hanya memakai kemeja itu keluar appartement?" tanya Raka yang menggerakkan kerah depannya untuk mengipasi tubuhnya yang tiba-tiba saja kepanasan. Ia pun kemudian berjalan ke dapur untuk mengambil minuman dingin agar rasa panasnya berkurang.
"Hah, sial! Ini yang bawah kenapa berdiri sih!" maki Raka karena pedang miliknya menjadi berdiri.
"Hei, lo. Kenapa bikin malu sih, lihat dadanya bini orang langsung berdiri. Sadar diri oy, itu bukan sarang lo!" maki Raka seraya menatap miliknya yang menggembung di balik celana jens hitam yang ia pakai. Tangannya pun bergerak memukul miliknya yang malah terasa sangat ngilu.
Suara pintu terbuka kasar membuat Raka mengalihkan pandangannya. "Qia!" panggil orang yang membuka pintu secara kasar.
Raka yang mendengar suara Kenan pun segera menghampiri Kenan. Kenan sudah berlari ke kamarnya karena ia berpikir jika Qia sudah berada di dalam kamar. Lagi-lagi ia membuka pintu kamarnya secara kasar membuat Chika terkejut di buatnya. Chika segera menyingkir dari sisi tempat tidur memberi ruang untuk Kenan yang kini sudah duduk di temoat yang tadi Chika duduki.