Bab 83, Gangguan Yang Singkat
Bab 83, Gangguan Yang Singkat
Christine Derfflinger segera membuka pintu rumah tersebut dan terjadi sebuah ledakan yang cukup besar. Suara ledakan itu terjadi secara bersamaan dengan suara petir yang menggelegar, sehingga tidak terdengar oleh telinga para Penduduk Desa. Terlebih saat terjadi ledakan, air hujan pun masih deras membasahi Bumi.
Mereka berdua kaget mendengar suara ledakan granat dari dalam rumah tersebut. Ketika mereka berdua memasukinya, mereka sangat terkejut melihat tubuh kedua rekannya yang hancur berantakan.
Walaupun terkejut, Marianne berusaha untuk bersikap tenang. "Ayo kita cek depan dan kita nyalakan listriknya."
Marianne dan Christine berjalan ke depan dan menyalakan tombol pada terminal listrk yang ada di dekat pintu ruang tamu. Ketika mereka berdua menghidupkan tombol terminal listrik, mereka begitu terkejut melihat banyaknya senjata tajam, hingga jebakan beruang yang memotong kaki kanan Aaron.
.
.
Walaupun Kanselir Leopold bersikap tenang. Tetapi ada rasa cemas yang begitu dalam. Sebagai seorang Kanselir. Dia tidak bisa diam saja, di saat para Tentara Pengawalnya satu per satu mengalami musibah.
"Simone. Kau itu seorang wizard. Apakah kau tahu siapakah orang di balik terror yang selalu menghantui kita dan orang-orang di sekitar kita selama beberapa hari terakhir?" tanya Elizabeth Malherbe.
"Walaupun aku seorang wizard. Bukan berarti aku tahu dengan hal-hal yang gaib. Ada banyak hal di dunia ini yang tidak bisa dijelaskan secara logika," jawab Simone.
"Tenanglah, Eliz. Percayalah, bahwa semua akan baik-baik saja. Cepat atau lambat. Kita akan menangkap witch tersebut," kata Kanselir Leopold berusaha menenangkan Istrinya.
Kalau suaminya sudah berkata seperti itu. Sebagai istri yang baik, Elizabeth hanya bisa pasrah, dan ikut percaya dengan sang suami.
"Baiklah. Aku akan selalu percaya denganmu, Leo. Bagaimana denganmu, Simone?"
Simone mengangguk pelan yang artinya, setuju dengan pernyataan Elizabeth.
Jasad Aaron dan Lukasz dimakamkan di sebuah kuburan di dekat hutan, di samping dengan jasad Patrick. Ketiga Tentara Pengawal tersebut dikebumikan untuk sementara waktu, hingga berakhirnya waktu liburan Kanselir Leopold. Orang-orang berusaha untuk diam terkait kejadian di luar logika yang tengah mereka alami. Mereka beraktifitas seolah tidak terjadi apa-apa dan tindakan yang mereka lakukan itu merupakan tindakan yang terbaik untuk saat ini.
Kanselir Leopold dengan kedua istrinya, Pendeta Zygfryd, para Tentara Pengawal, serta beberapa Penduduk Desa, berjalan keluar dari pemakaman Lipina.
Cuaca hari ini dingin dan berkabut tebal. Dari kabut yang tebal, Simone merasa seperti ada yang tengah mengawasi mereka. Begitupula dengan Kanselir Leopold dan para Tentara Pengawal yang merasakan sebuah kekuatan jahat dengan aura pembunuh yang kuat.
Suara langkah kaki yang terburu-buru terdengar begitu mengganggu. Para Tentara Pengawal tengah waspada sambil menggenggam senjata mereka masing-masing.
Werewolf berukuran besar berbulu berwarna abu-abu gelap berlari dengan sangat cepat dan dari tebalnya kabut. Werewolf tersebut segera menggigit leher Pendeta Zygfryd, hingga lehernya putus, dan sang Pendeta langsung tewas seketika.
Werewolf tersebut secara tiba-tiba kembali ke wujud normalnya sebagai manusia berparas tampan, berkulit putih cerah, dan bermata biru. Dia terlihat bingung dengan apa yang terjadi dan beberapa peluru menembus tubuh lelaki berambut pirang kecokletan tersebut.
Kabut tebal segera menghilang secara tiba-tiba. Pendeta Zygfryd telah tewas dan seorang lelaki yang tubuhnya dipenuhi dengan luka tembak. Jasad mereka berdua tergeletak di tanah dan membuat orang-orang terkejut melihatnya.
.
.
Lonceng gereja berbunyi dengan suaranya yang menggema, namun terasa dingin. Seluruh Penduduk Desa Lipina dan orang-orang dari Desa tetangga, turut berduka atas kematian Pendeta Zygfryd yang merupakan Pemimpin di Desa Lipina. Selain sebagai Kepala Desa, dia juga merupakan seorang Pemimpin Agama yang bijaksana yang merangkul orang dari berbagai macam golongan. Orang-orang berpakaian serba hitam berkumpul di pemakaman, untuk memberikan sebuah penghormatan terakhir kepada Pendeta Zygfryd.
Setelah selesai mengantarkan jasad Pendeta Zygfryd ke tempat peristirahatannya. Kanselir Leopold dan kedua istrinya segera pulang ke rumah yang mereka sewa. Elizabeth segera menjatuhkan badannya di atas kasur yang empuk untuk tenggelam di alam mimpi, meninggalkan Leopold dan Simone yang tengah berbicara empat mata di ruang tengah.
"Menurutku, Werewolf tersebut seperti dihipnotis. Mengingat aku merasakan sebuah kekuatan yang mengendalikan pikirannya. Kekuatan tersebut sama seperti kekuatan yang aku rasakan dalam tragedi-tragedi yang tengah menimpa kita," ungkap Simone menjelaskan beberapa hal yang dia ketahui.
"Walaupun pemberkatan dan penyucian yang dilakukan oleh Pendeta Zygfryd itu hal yang percuma. Aku hanya ingin menghormati para Penduduk Desa dan sang Pendeta," ungkap Kanselir Leopold.
"Itulah sebabnya, banyak wizard yang memilih menjadi agnostic, yang mempercayai Tuhan, meskipun tidak beragama. Gara-gara tindakan dan pikiran para Pendeta yang menganggap bahwa kekuatan wizard adalah kekuatan iblis. Padahal kekuatan ini sudah ada sejak kami di dalam kandungan, dan tidak semua orang ingin terlahir sebagai Wizard. Banyak juga di antara mereka yang sebenarnya ingin terlahir sebagai manusia baiasa. Tapi apa daya. Bahwa takdir tidak bisa diubah."
"Apakah kau tahu siapa Wizard yang memiliki kekuatan yang cukup mengerikan seperti ini? Di mana dia bisa membuatmu mengalami mimpi buruk, menembus televisi seperti Sadako, tidak bisa dilihat secara kasat mata, dan memiliki kemampuan jarak jauh. Mengingat kau menghabiskan sekolah menengah atasmu di sekolah khusus wizard."
"Walaupun aku seorang wizard, bukan berarti aku tahu. Tidak semua Wizard bersekolah di sekolah khusus wizard dan tidak semua wizard itu seperti di kisah-kisah Harry Potter apalagi Majo no Tabitabi," jawab Simone deegan tegas.
"Baiklah, aku paham. Yang jelas, dia tidak seperti Baba Yaga."
"Walaupun tidak seperti Baba Yaga. Tetapi dia memliki kekuatan sihir yang mengerikan. Aku bisa merasakan kekuatannya dari sini."
Tubuh Simone terpental secara tiba-tiba ke arah luar, sehingga menghancurkan jendela dari rumah yang tengah mereka sewa. Kekuatan tak kasat mata itu menarik kaki Simone di lapangan yang terbuka.
Kanselir Leopold segera mengambil pedangnya dan keluar dari rumahnya.
Tubuh Simone masih ditarik keliling lapangan oleh kekuatan tak kasat mata tersebut. Simone menggerakkan tangan kanannya untuk menghempaskan sosok tak kasat mata yang tengah menarik tubuhnya. Serangan Simone tidak menghasilkan apa-apa dan tubuh Simone masih ditarik. Hanya saja, tubuh Simone ditarik ke dalam rumah yang mereka sewa.
Simone terdiam di ruang tengah dan kekuatan tersebut tidak dia rasakan kembali.
"Sialan, kau!"
"Kau tidak apa-apa, kan, Simone?" tanya Kanselir Leopold yang kembali di ruang tengah.
Jendela yang rusak tersebut segera kembali normal dengan sendirinya, di mana kaca-kaca yang telah pecah kembali tersusun seperti sedia kala.
Simone dan Kanselir Leopold hanya terdiam tidak percaya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa barusan. Sementara Elizabeth masih tertidur dengan nyenyak di kasurnya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Barbara Luisa Hackenholt tengah mewarnai kuku-kuku jaringan tangannya dengan cutek berwarna ungu gelap. Dia menatap kagum pada kuku yang telah diwarnai.
"Untuk saat ini. Aku hanya memberikanmu sebuah kejutan yang kecil. Setidaknya kematian-kematian tersebut membuat mental kalian sedikit terguncang. Besok dan seterusnya akan lebih dahsyat lagi, mengingat kalian dihantui rasa penasaran akan siapa di balik teror tersebut."
Simone begitu terkejut ketika Kanselir Leopold menggendong dirinya ala bridal style dan membawanya ke kamar yang berada di depan.
"Apa yang kau lakukan, Leo?!"
"Tentu saja berhubungan seks denganmu. Kali ini aku tidak ingin berbagi tubuhmu dengan Elizabeth. Biarkan dia tertidur dengan nyenyaknya."
Kanselir Leopold segera menaruh tubuh Simone di atas kasur. Dia segera meremas-remas gunung kembar istri keduanya dan mencium bibirnya dengan penuh nafsu.
"Kau yang dulu dengan yang sekarang tidak ada bedanya," kata Kanselir Leopold sambil melepaskan pakaian dan celananya. "Aku ingin kau segera memberikan adik kandung untuk Athena."
Berbeda dengan Elizabeth, Simone agak keberatan jika bermain tanpa kehadiran Elizabeth, mengingat dirinya adalah seorang bisexual yang kebetulan diajak menikah oleh Leopold untuk menghindari hal buruk yang akan terjadi.
Simone berusaha melawan Kanselir Leopold yang meluciti pakaiannya secara paksa.
"Aku ingin kita bermain bertiga!" tegas Simone.
"Aku ingin bermain denganmu. Tidak peduli apapun yang terjadi, aku ingin bermain denganmu, Simone," ungkap Kanselir Leopold sambil membelai lembut rambut pirang Simone yang bergelombang dan panjang sebahu.
Kanselir Leopold melucuti pakaian Simone dengan cara yang kasar, di mana dia tidak segan-segan merobek gaun hitam, celana dalam, dan bra milik sang istri kedua. Simone berusaha untuk melawan, karena dia tidak ingin bermain dengan Leopold. Dia ingin bermain bertiga.
Kanselir Leopold memeluk tubuh Simone dari belakang, ketika sang 'Countess' keturunan Belanda tersebut mencoba untuk kabur. Kedua tangannya yang kekar meremas-remas gunung kembarnya Simone dan dia mencium bibirnya Simone dengan penuh nafsu. Simone hanya bisa pasrah, atas apa yang dia alami. Dia merasa perih, ketika Leopold memasukkan alat kejantanannya ke area kewanitaanya. Walaupun perih, namun Simone berusaha untuk menikmati hubungan di siang hari.
"Walaupun kau bilang tidak ingin memiliki anak. Setidaknya aku berusaha untuk menanam benih-benihku pada rahimmu." Kanselir Leopold mendorong tubuh Simone ke tembok. Dari belakang, Kanselir Leopold bergerak maju-mundur memasukkan alat kejantanannya pada area kewanitan Simone.
Simone mendesah pelan menahan sakit saat bermain dan dia menikmatinya seiring memanasnya hubungan antara mereka berdua.
Kanselir Leopold membawa tubuh Simone ke atas kasur. Dia memasukkan alat kejantanannya ke area kewanitaan istri keduanya. Kedua tangannya meremas-remas gunung kembar Simone, dan bibirnya mencium bibir sang istri kedua dengan penuh nafsu. Kanselir Leopold sangat menyukai posisi bercinta seperti ini, di mana dia sangat meniikmati tubuh kedua istrinya, khususnya Simone tanpa harus terganggu dengan suara desahan. Kanselir Leopold terus melakukan gerakan maju-mundur sambil mencium dengan penuh hasrat, dan mencengkram dada Simone dengan sangat keras.
Cairan putih kental penuh cinta, membasahi area kewanitaan Simone.
Kanselir Leopold melepaskan ciumannya dan berbisik seraya menjilati leher sang istri yang dihiasi dengan tato bermotif tribalisme, "Kau masih tidak berubah. Di mana kau masih sensitif terhadap dadamu dan area kewanitaanmu."
Kanselir Leopold kembali melakukan gerakan maju-mundur pada area kewanitaan Simone dan kini dia mengulum kedua gunung kembar Simone secara bergantian. Simone mengeluarkan air mata, menahan perih, dan sakitnya area kewanitaannya, serta gunung kembarnya yang tengah digigit secara bergantian oleh sang Suami.
"Percuma saja kau bercinta denganku seperti ini. Karena aku sudah lama memutuskan untuk tidak hamil. Sesering apapun kau bercinta denganku, aku bukanlah perempuan subur seperti Eliz, dan aku memilih sudah cukup melahirkan Athena."
"Aku tidak peduli kau memilih untuk tidak hamil. Setidaknya, aku ingin bermain denganmu. Aku ingin menikmati masa di mana hanya kau dan aku. Setidaknya saat ini, aku ingin memperlakukanmu sebagai Istri."
Cairan putih kental penuh cinta, kembali membasahi area kewanitaan Simone. Simone berteriak sedikit keras. Dari wajahnya yang memerah padam, sepertinya dia merasakan kesakitan. Kanselir Leopold segera menghentikan kegiatan bercinta mereka. Dia segera memeluk Simone dan membelai lembut kepalanya.
"Aku benar-benar bersyukur, kau mau kembali ke sisiku. Meskipun Bangsawan sepertimu, rela menjadi istri keduaku. Aku benar-benar senang dan bersyukur, kau mau mengurus kedua anak yang terlahir dari Elizabeth. Bagaimanapun juga, Elizabeth, dan dirimu, adalah dua orang yang paling aku percaya. Kalian berdua adalah istri sekaligus sahabat terbaikku. Jadi aku mohon. Tetaplah bersama kami dan jangan pernah pergi lagi."
Simone merasakan kehangatan ketika suaminya memeluknya, dan membelainya dengan penuh kasih sayang. Kenangan ini mengingatkannya, saat bersama dengan almarhum Ayahnya.
Kanselir Leopold menyeka air mata yang membasahi wajah Istri keduanya, dan memberikan ciuman singkat, dan penuh kasih sayang pada dahi dan bibirnya.
"Kau terlihat sedikit kekanak-kanakan meskipun sudah berusia empat dekade."
Simone segera menandang Kanselir Leopold dengan keras, hingga membuat suaminya terpental menghantam dinding kamar.
"Dasar uami brengsek! Perempuan tidak suka jika suaminya berkata tentang usianya!"
Simone menyampaikan kemarahannya di hadapan suaminya. Mengingat membahas usia adalah hal yang cukup sensitif di kalangan perempuan papan atas Prussia.
"Keluar dari sini, suami brengsek!"
Kanselir Leopold hanya pasrah dimarahi oleh istri keduanya dan dia segera keluar kamar dengan mengenakan kain yang membungkus tubuhnya.
"Aku tidak menyangka kalau Simone cukup menyeramkan ketika marah. Tidak seperti Elizabeth yang lebih memilih diam, dan cuek!" pikir Kanselir Leopold sambil berjalan menuju ke ruang tengah setelah diusir oleh Simone.