Part 104 ~ Pelajaran Untuk Ria
Part 104 ~ Pelajaran Untuk Ria
Iqbal menyesal dan meminta maaf pada Naura.
"Sayang maafkan aku,"ucap Iqbal sangat menyesal.
Naura melipat kedua tangannya, ia masih terluka karena tuduhan sang suami.
"Ibarat sebuah paku yang ditancapkan, pakunya bisa dilepaskan tapi bekas pakunya tidaknya akan pernah hilang. Aku kecewa sama uda. Biarkan aku sendiri."
"Sayang, maafkan aku,"cebik Iqbal manja.
"Sudahlah. Aku sudah memaafkan. Sekarang tahu betapa buruknya sifat istri muda uda. Dia telah mengadu domba kita disini. Andai Dila tak ada disini bisa jadi uda akan melontarkan kata-kata yang lebih menyakitkan."
"Sepertinya kamu tidak ikhlas memaafkan sayang."
"Sudahlah jangan banyak bicara. Mood aku buruk sekarang. Aku kecewa pada uda," kata Naura meninggalkan klinik.
"Dila bagaimana ini?" Iqbal merengek bak anak kecil.
"Salah sendiri kenapa percaya dengan istri muda. Dimana-mana ya emang istri muda itu suka bikin keributan. Salah uda sendiri. Aku tidak mau tahu. Makannya mikir dulu sebelum ngomong. Kalo aku jadi uni mungkin sudah dari dulu minta pisah sama uda."
Dila menghela napas lalu duduk di sofa.
"Uda beruntung punya istri seperti uni Naura. Kalo aku jadi istri, uda mungkin uda hanya tinggal nama. Dokter cantik seperti uni pasti banyak yang naksir. Pekerjaan dokter spesialis VCT. Mapan dan hebatnya di rela dimadu. Enggak enaknya uda menuduh uni selingkuhan. Benar-benar keterlaluan. Kali ini aku angkat topi. Silakan perjuangkan nasib uda sendiri."
"Dokter Naura. Siapa yang tidak tertarik dengan uni. Banyak yang bilang uni dokter yang bodoh karena mau saja dimadu, padahal jika mau uni bisa dapatkan pria lebih kaya dan lebih mapan dari uda. Dia setia menunggu uda selama ini, tapi uda balas pengkhianatan dengan berpacaran dengan Ria. Mirisnya uda bikin drama yang pada akhirnya uni enggak tega dan mau menikah dengan uda, walau setelah itu uda melaksanakan akad nikah dengan Ria. Jujur aku di posisi uni saat itu tidak akan terima. Lebih baik aku cari pria lain saja dari pada dimadu,"ujar Dila membuat Iqbal semakin bersalah.
"Tadi malam uni menolong aku yang pendarahan karena belah duren sialan itu," maki Dila teringat Bara. Andai Bara ada di depannya saat ini, ia akan mencincang Bara.
"Sekarang uda harus terima konsekuensinya. Menuduh tanpa alasan yang kuat. Ria dipercaya. Asal uda tahu saja aku tidak suka dengan dia. Suka iri liat kebahagiaan orang lain, terus tidak tulus dan suka menghasut."
"Kenapa sekarang kamu malah menjelekkan Ria?" Iqbal tak terima istri mudanya dikatai.
"Aku hanya ingin membuka mata uda. Jangan pernah percaya omongan satu pihak. Masalah uda mengecek uni ke rumah sakit, aku yakin itu bukan inisiatif uda pasti ide dari Ria. Aku benar apa tidak?"
Iqbal tak berkata sepatah katapun. Ia terdiam dan melamun.
"Jika uda diam berarti aku benar," ujar Dila mengambil keputusan.
Dila mendekati sang kakak, berjalan tertatih-tatih.
"Uda, tidak gampang untuk menjalani poligami. Adil bukan hanya dalam memberikan harta, tapi juga adil membagi kasih. Selama ini aku liat uda berat sebelah, terlalu percaya dengan drama yang dibuat Ria. Selama ini uni Naura banyak diam karena tidak mau ada keributan di dalam rumah tangga. Istri mana yang bisa sabar seperti ini, jika aku sendiri dalam posisi dia, tidak akan sanggup uda. Aku sudah lama tahu perselisihan mereka, cuma aku sebagai adik ipar tidak bisa ikut campur dalam rumah tangga kalian. Lain kali jika dapat laporan hal buruk tentang uni, Tabayyun dulu, jangan asal tuduh dan melontarkan kata-kata pedas. Belum tentu apa yang kita liat itu adalah kenyataan yang sebenarnya."
"Iya aku mengerti dan akan aku jadikan pelajaran. Tapi bagaimana membujuk Naura?"
Dila mengangkat bahu,"Aku tidak tahu. Itu urusan kalian suami istri. Aku tidak akan ikut campur."
"Dila,"rengek Iqbal lagi.
"Jangan merengek kayak Attar," kata Dila mengingatkan agar Iqbal tak bertingkah seperti anaknya.
"Tapi Naura masih marah sama uda."
"Itu urusan uda bukan aku."
"Kami bertengkar karena kamu Dila."
"Enak saja bilang karena aku. Uda salah paham karena percaya pada hasutan Ria."
"Dila kenapa kamu menyebalkan saat ini. Kakak kamu sebenarnya Naura atau aku."
"Semenjak uda menikahi uni Naura makanya sejak itu dia sudah menjadi kakak aku. Bagiku uni Naura tak hanya sekedar kakak ipar malah seperti kakak kandung malah lebih kandung dari uda walau kita lahir dari rahim yang sama,"kata Dila tergelak tawa.
"Adik macam apa kamu?" gerutu Iqbal menahan rasa kesal.
"Jangan kesal begitu padaku. Harusnya aku yang kesal karena uda menuduh kakak iparku begitu kejam. Satu hal yang harus uda ingat. Ajari Ria bersikap lebih baik. Uni Naura sudah baik jadi kakak madunya, teganya dia menfitnah seperti itu. Dia yang mulai perang dunia. Jangan salahkan rumah tangga tidak akan adem ayem seperti dulu. Ria sudah memancing di air keruh."
"Kenapa kamu bicara seperti itu? Rumah tangga uda akan sering ada pertengkaran?"
"Aku sudah lama kenal uni Naura. Jika dia marah seperti itu berarti dia marah besar. Jangan salahkan dia jika akan melabrak Ria dan ada pertengkaran sengit di rumah nanti. Uda sebagai kepala rumah tangga harusnya bijak dalam menanggapi suatu masalah. Jangan hanya mendengarkan informasi satu belah pihak saja. Komunikasi dua arah bukan satu arah."
"Ya aku salah telah menuduh dia selingkuh." Iqbal mengakui kesalahannya.
"Tuduhan uda sangat kejam. Jika aku di posisi uni, aku tidak akan memaafkan uda dalam waktu dekat, malah aku akan memberikan uda pelajaran."
"Jangan bicara seperti itu Dila. Aku takut."
"Aku wanita dan uni juga wanita. Bukankah sesama wanita punya perasaan yang sama, apalagi dituduh suami tercinta yang bukan-bukan?"
"Lalu aku harus bagaimana membujuknya?"
"Hello uda kenapa bertanya padaku?" seloroh Dila mencibir Iqbal.
"Pikirkan caranya sendiri. Uda antar aku pulang. Aku mau istirahat."
"Bara mana?" Iqbal melihat sekitarnya.
"Aku telah mengusir dia semalam. Aku juga marah padanya. Gara-gara dia, aku susah jalan sekarang. Dia membuat aku malu," balas Dila emosi mengingat perbuatan Bara padanya.
*****
Dengan emosi Naura pergi ke kamar Naura. Ia sudah bertanya pada ART apakah Lusi ada di rumah apa tidak. Untung saja ibu mertuanya sedang pergi arisan bersama teman-temannya.
Tanpa permisi Naura masuk ke kamar Ria. Untung saja si kecil Aina bersama si mbak. Naura leluasa melampiaskan kemarahannya.
Naura menjambak kasar rambut Ria yang sedang asik berhias.
"Uni apa yang kau lakukan?" cebik Ria menahan sakit.
"Jangan sok tidak tahu dan sok suci. Setelah kau mengadu domba aku dengan Iqbal apa kau bahagia?"
Naura menjambak rambut Ria dengan kasar.
"Uni aku tidak mengerti," balas Ria pura-pura tidak tahu.
"Jangan berpura-pura lagi. Aku muak melihatnya. Jangan sok innocent. Lebih baik kau terang-terangan memusuhiku daripada sok manis."