Part 122 ~ Bos Sudah Mulai Straight
Part 122 ~ Bos Sudah Mulai Straight
Dari enam puluh lima anggota DPRD Provinsi hanya empat puluh yang menghadiri rapat, selebihnya pada mangkir. Mereka berdebat tak mau menyetujui anggaran APBD yang diajukan gubenur. Suara pun seimbang. Bara hampir emosi ketika memimpin rapat. Ternyata lebih gampang memimpin rapat di perusahaannya daripada rapat anggaran di DPRD. Bara yang notabene seorang pengusaha, mengerti anggaran, menyetujui anggaran APBD untuk tahun depan. Jika anggaran kurang bagaimana pembangunan di Sumbar bisa maju. Tak lupa Bara juga menyentil gubernur jangan sibuk melakukan lawatan ke laur negeri tapi tak memiliki hasil.
Para anggota DPRD memiliki kepentingan masing-masing, menyelamatkan perut mereka. Anggota rapat kebanyakan barbar mengeluarkan statementnya. Mereka bukan membahas anggaran tapi sibuk membahas lawataan gubernur. Mereka marah karena ketika melakukan lawatan gubernur tidak mengajak mereka. Seandainya mereka diajak tidak akan hebooh seperti ini. Seperti mereka yang suci saja, padahal ketika kunker mereka juga banyak main daripada kunker, bahkan mereka bersenang-senang dengan wanita.
"Saya setuju jika anggaran lawatan gubernur ke luar negeri dipangkas, point utama rapat kita hari ini membahas anggaran bukan masalah lawatan gubernur. Jika Bapak dan Ibu masih membahas soal lawatan gubernur rapat anggaran ini tidak akan selesai. Silakan voting mulai sekarang. Ingat kita berada ditempat kita sekarang karena mandat rakyat. Jangan pas kampanye sibuk menunjukkan kerja nyata, tapi ketika kalian sudah terpilih malah melempem dan menyelamatkan perut masing-masing," kata Bara berang.
Para anggota rapat memandang Bara sinis, baru duduk di posisinya sudah arogan dan tak menghormati politisi senior. Mereka melirik satu sama lain dengan tatapan mencibir dan merendahkan. Anak kemaren sore sudah mau mendikte mereka.
Bara bukannya tidak tahu para anggota tengah mencibir dan merendahkannya. Bara melirik Dian.
Dian mengangguk, ia berjalan mendekati para anggota DPRD satu persatu seraya memperlihatkan smartphone. Setelah memperlihatkan semua itu, mereka panas dingin. Kartu truf mereka berada di tangan Bara. Mereka semua gregetan dan panas dingin. Mau tidak mau mereka menyetujui anggaran yang diajukan gubernur. Mereka mengumpat keras, dipermainkan oleh anak kemaren sore. Mereka tak lagi menganggap remeh Bara. Walau pun Bara masih muda tak bisa dipandang remeh. Pantas saja Latif menyerah, pasti Bara juga sudah memegang kartu truf Latif.
Semua anggota DPRD menyetujui anggaran rapat yang diajukan gubernur. Bara tersenyum evil karena memang melawan peserta rapat. Gubernur sampai terheran-heran secepat kilat mereka menyetujui anggaran dan rapat pun berakhir.
Setelah berbincang-bincang dengan gubernur Bara kembali ke ruangannya. Dian terlihat sedang sibuk membuat resume rapat tadi.
"Bos sudah kembali?"
"Seperti yang kamu lihat."
"Bos satu pertanyaan."
"Apa?"
"Kenapa bos membantu gubernur tadi?"
"Pertama anggarannya sesuai dengan rencana pembangunan, kedua aku sudah menegaskan pada gubernur. Pembangunan benar-benar harus jalan. Ketiga suatu saat kita akan membutuhkan bantuan gubernur."
"Pertannyaan kedua."
"Kamu mau kasih pertanyaan berapa sich?"
"Sabar bos," kata Dian melayangkan tangan ke udara.
"Tadi aku melihat bos mengecup bibir Dila."
"Salah aku menciumnya?"
"Tidak salah bos. Aku hanya memastikannya saja."
"Memastikan apa?"
"Sepertinya bos jatuh cinta pada Dila."
"Tidak, aku tidak jatuh cinta padanya," balas Bara tegas. Ia memasang wajah galak.
"Atau bos sudah mulai straight?"
"Tidak mungkin."
"Mungkin saja bos. Perubahan terbesar yang sudah bos lakukan berhubungan intim dengan Dila, bahkan sampai membuat dia pendarahan."
"Dian. Kau….." Gigi Bara bergemeletuk karena Dian membahas masalah pribadinya.
"Bos selama ini aku selalu menggoda bos agar bisa straight, tapi nol besar. Sementara Dila tak melakukan apa-apa bos menidurinya. Pasti ada yang special dengan dia."
"Tidak," elak Bara.
"Aku melakukannya karena emosi, caraku melampiaskan emosiku padanya dengan menggaulinya. Itu hanya emosi sesaat."
"Itu bukan emosi sesaat bos, tapi itu awal dari kesembuhan bos."
"Jangan banyak bicara Dian."
"Aku akan banyak bicara kali ini," balas Dian tegas.
"Ambil ini bos," kata Dian memberikan sebungkus obat."
"Apa ini?"
"Kalian akan tinggal berdua di danau teduh. Pasti butuh ini."
"Kau jangan berani memberi aku narkoba," geram Bara. Ingin rasanya memukul Dian jika ia pria.
"Ini bukan narkoba bos."
"Lalu apa?"
"Itu obat perangsang," jawab Dian tanpa beban.
Bara tersedak, ia memukul tengguknya untuk meredakannya. Tak menyangka Dian akan memberikannya obat perangsang.
"Kau," geram Bara ingin memukul Dian, tapi diurungkan.
"Bos pasti membutuhkannya. Pasti akan berterima kasih padaku. Have fun ya bos."
"Kau..."
"Sudahlah jangan sok-sok marah. Harusnya bos berterima kasih, tanpa diminta aku menyiapkannya. Berikan untuk bos dan Dila biar malam kalian semakin panas."
"Dian tolong kontrol ucapan kamu! Kenapa kamu jadi mesum seperti ini?"
"Bos aku pergi dulu," balas Dian ngacir meninggalkan Bara.
******
Dila datang ke penjara mencabut laporannya ke polisi. Sudah cukup memberi pelajaran untuk Ria. Semoga setelah sepuluh hari di penjara membuat Ria kapok dan tak mengulangi perbuatannya. Sebelum pulang Dila menyempatkan diri menemui Ria.
"Dila," panggil Ria terharu. Dari semua anggota keluarga hanya Dila yang datang menengoknya.
Wajah Ria kusam dan badannya sedikit kurus. Matanya bengkak karena kebanyakan menangis. Sepuluh hari di penjara membuatnya menderita dan tak kerasan.
"Iya Uni."
"Terima kasih telah melihat aku."
"Tidak perlu berterima kasih. Bukankah uni membenci aku karena menjebloskan uni ke penjara?"
"Bagaimana keadaan anak-anak aku kangen mereka."
"Uni Naura merawat mereka dengan sepenuh hati," jawab Dila menyentil Ria.
Ria tertegun dan merasa tersindir. Ia pernah mengucapkan pada Naura akan membuang Allea jika ia mati. Sementara Naura merawat anak-anaknya dengan penuh kasih sayang. Hati Ria teremas. Sepuluh hari di penjara membuatnya banyak dapat pelajaran hidup.
"Aku tahu aku salah, telah menjahati Naura."
"Uni tak hanya menjahati uni Naura tapi juga menyakiti udaku. Luruskan niat uni ketika menikahi uda. Uda sangat terluka dan kecewa mengetahui kenyataan yang sebenarnya."
"Aku menyesal Dila, tapi aku benar-benar mencintainya makanya aku ingin memilikinya sendiri."
"Memiliki uda seorang atau ingin menguasai harta uda?" tanya Dila setajam silat.
"Dila kenapa bicara seperti ini?"
"Keluarga sudah tahu semuanya uni sandiwara kecelakaan uda hingga uni Naura bersedia menikah dan mengijinkan kalian menikah sore harinya."
Ria menangis tersedu-sedu. Ia menutup mulutnya, nasibnya benar-benar buruk. Rahasianya juga sudah terbongkar.
"Dan asal uni tahu ayah menginginkan uda menceraikan uni. Ayah malu memiliki menantu seperti uni dan malu memiliki besan seperti keluarga uni."
"Apa maksudnya?"