Part 283 ~ Investor Baru
Part 283 ~ Investor Baru
Bara berharap pernikahannya dengan Dila segera dikaruniai seorang momongan. Anak sangat berarti dalam sebuah pernikahan. Anak adalah buah cinta pasangan suami istri yang akan mempererat hubungan mereka. Anak merupakan pelipur lara bagi kedua orang tuanya. Melihat anak setelah pulang kerja akan membuat lelah orang tua yang bekerja hilang.
Bara senyum-senyum sendiri membayangkan dia dan Dila memiliki seorang anak. Seperti apakah anak mereka? Mirip Dila atau mirip dengannya? Bara berdoa semoga harapannya segera terkabul. Dila segera hamil.
Asik melamun Bara tak menyadari kehadiran Dian. Sudah berulang kali wanita itu memanggil sang bos tapi tak mendapat sahutan.
"Bos." Dian memekik memanggil Bara dengan suara melengking.
Bara sampai terjengkang karena kaget.
"Dian kamu?" Gerutu Bara berusaha bangkit.
"Bos dipanggil dari tadi malah bengong. Apa sich yang bos lamunkan?"
"Tidak ada," jawab Bara berbohong.
"Hmmm lagi melamun jorok ya?" Dian menggoda sang bos.
"Enak saja melamun jorok. Aku hanya membayangkan jika Dila hamil anakku Dian. Apakah dia mirip denganku apa Dila?"
"Wowww luar biasa. Aldebaran sudah memikirkan soal anak. Kemana aja selama ini bos?"
"Selama ini aku gay Dian mana kepikiran punya anak. Jangankan punya anak, nikah pun enggak kepikiran. Aku malah bersyukur mama dan papa menjodohkan aku dengan Dila. Jika tidak mungkin aku masih berada di jalan yang salah."
"Orang tua tahu apa yang terbaik untuk anaknya. Mereka memberikan apa yang kita butuhkan bukan yang kita inginkan. Bagaimana hubungan bos dengan Dila? Apakah kalian sudah berbaikan?"
Bara tersenyum manis memperlihatkan lesung pipinya.
"Sepertinya kalian sudah berbaikan. Pantas mood bagus sekali hari ini."
"Daebak." Bara menjentikkan jari.
"Isshhh korban drakor." Dian mencibir.
"Dila nonton drakor ya aku ikut nimbrung nonton juga. Ternyata asik juga nonton drakor."
"Dasar bucin."
" Biarin. Dian aku mau bicara serius." Bara mengganti mimik wajahnya.
"Bicara apa bos?"
"Duduklah!" Titah Bara menyuruh Dian duduk di sofa.
"Ada apa bos? Sepertinya serius sekali."
"Benar."
"Apa yang ingin bos bicarakan?"
"Apa kamu masih memiliki dendam pada ayah biologis Alvin?"
Ekspresi wajah Dian berubah total. Awalnya ceria namun tiba-tiba wajahnya gelap menyiratkan kemarahan.
"Kenapa boa bertanya seperti itu?"
"Aku mendapatkan kabar jika dia sekarang sudah bertaubat dan dia bahkan ada di kota ini sekarang. Cuma aku belum menemukan keberadaan dia."
"Aku melihatnya waktu pemakaman Ibu Ranti."
"Apa?" Mata Bara membulat. "Kenapa tidak cerita padaku Dian?"
"Bos sedang berduka saat itu makanya aku tidak cerita. Bahkan Alvin melihat langsung ayahnya."
"Alvin lihat dia?"
"Iya bos. Anak itu sangat kaget melihat orang yang sangat mirip dengannya. Anak itu dewasa sebelum waktunya. Dia memahami aku kenapa sangat membencinya dulu."
"Apa kamu mengajarkan Alvin untuk membenci ayahnya?"
"Tidak bos. Aku tidak mengajarkan dia untuk membenci bajingan itu."
"Baguslah kalo begitu. Aku masih bingung kenapa dia datang ke kota ini dan menghadiri pemakaman mamaku. Apakah dia tahu jika kamu melahirkan anaknya?"
"Apa bos berpikiran sama denganku?"
Bara dan Dian saling berpandangan. Mereka berkutat dengan pemikiran masing-masing.
"Jika dia tahu kamu melahirkan Alvin, aku yakin dia akan mengambil Alvin dari kamu." Bara terlihat sangat khawatir.
"Jadi dia datang kesini untuk mematai aku?"
"Bisa jadi Dian. Kita tidak pernah tahu apa yang ada dalam pikirannya. Sebaiknya kamu membawa Alvin kesini untuk tinggal bersamamu." Bara memberi usulan.
"Bukankah pesantren tempat tinggal yang aman buat Alvin?"
"Aku takut dia datang tiba-tiba membawa Alvin apalagi kita jauh dari Alvin."
Dian tiba-tiba diliputi rasa takut. Takut akan kehilangan Alvin. Ia tak rela jika ayah biologis Alvin mengambil sang anak dari sisinya. Bagaimana pun Alvin adalah miliknya dan tak seorang pun boleh mengambilnya apalagi bajingan itu.
"Aku mencari tahu tentang dia. Dia tidak memiliki anak dari istrinya. Jika dia tahu kamu melahirkan anaknya aku takut dia akan mengambil Alvin dan menjadikannya sebagai pewarisnya."
"Tidak akan aku biarkan dia tahu jika aku melahirkan anaknya. Alvin anak yang baik dan sangat berbeda dengan ayahnya."
"Tentu saja Alvin berbeda dengan ayahnya. Alvin di didik dengan agama yang kuat. Dia anak soleh sangat berbeda dengan ayahnya. Mereka ibarat langit dan bumi."
"Bos apa yang harus aku lakukan?" Dian meminta pendapat Bara.
"Amankan Alvin secepatnya. Jangan sampai dia tahu."
"Baiklah bos. Dalam waktu dekat aku akan ke Bandung dan mengurus kepindahan Alvin."
"Itu lebih baik daripada Alvin di pesantren. Kita tahu kegilaan laki-laki itu. Kamu kenapa datang ke ruanganku? Ada yang ingin kamu bicarakan?"
"Oh ya sampai lupa bos. Aku menemukan investor untuk proyek baru kita."
"Investor untuk proyek resort kita yang di Mentawai?" Bara meyakinkan.
"Benar bos."
"Secepat itu?" Bara seakan tak percaya.
"Benar bos," balas Dian bersemangat.
"Aku sudah membuat proposalnya silakan dibaca bos." Dian memberikan proposal bisnis agar di cek Bara.
"Ini orang Indonesia atau orang asing?"
"Orang asing bos. Seorang bule."
"Wowww luar biasa. Gagal mendapatkan Fatih kamu ganti target cari bule ya?" Bara mencandai Dian sambil membaca proposal yang ditulis wanita itu.
"Enak saja bos. Aku tidak tertarik pada Fatih dan sadar diri juga. Anak kyai saja ditolak apalagi aku."
"Kok kamu tahu?"
"Seorang gadis menelpon Fatih ketika kami selesai menjalani pemeriksaan polisi waktu kejadian penembakan tentara di supermarket. Nah Gadis itu melakukan video call dan aku bisa melihat dengan jelas wajahnya. Gadis itu sangat cantik dan dia termakan berita di media sosial yang mengatakan aku dan Fatih sepasang kekasih, padahal tidak. Wanita itu bahkan menyombongkan dirinya. Anak seorang kyai Fatih berani menolaknya. Fatih juga bicara ambigu bos, dia bilang kalau aku adalah kekasihnya. Dia menjadikan aku alasan untuk menolak cewek itu."
"Apa mungkin Fatih tertarik padamu?"
"Ngomong apaan sich bos?" Dian memprotes keras.
"Kita bahas pekerjaan bukan masalah pribadi."
"Jika Fatih benaran menyukai kamu apa yang akan kamu lakukan?"
"Jangan ngaco dech bos. Aku sudah membuat janji dengan investor jam sepuluh pagi. Bersiaplah bos untuk meeting."
"Dian jawab dulu pertanyaanku?" Bara kembali menggoda Dian.
"Tahu ah gelap." Dian pergi dari ruangan Bara dan mempersiapkan pertemuan dengan G. Semoga kerja sama dengan G bisa terwujud dan pembangunan resort di Mentawai tidak akan ditunda.
Telepon Dian berdering. Ia segera mengangkatnya.
"Dimana alamat kantornya Dian?" G bertanya.