Jodoh Tak Pernah Salah

Part 332 ~ Tangisan Dian ( 3 )



Part 332 ~ Tangisan Dian ( 3 )

2"Apa maksudmu?" Bara tak dapat menyembunyikan kekagetannya. Dila pun bersikap demikian. Menyayangkan tindakan Dian yang tanpa perhitungan.     

"Bos harus menyelamatkan aku," pinta Dian histeris menggenggam tangan Bara. Dila mendelik tajam ketika Dian menyentuh suaminya. Ada kecemburuan menyergap hatinya.     

"Bos selalu bilang jika aku adiknya bos. Kali ini tolong selamatkan aku sebagai seorang kakak." Dian ketakutan. Ia ketakutan bukan karena ditangkap polisi namun ketakutan karena Zico akan mengambil Alvin. Jika ia di penjara Zico memiliki kesempatan untuk mengambil hak asuh Alvin.     

"Jelaskan padaku bagaimana kamu menganiaya Zico?"     

"Aku datang ke kantornya lalu memukulnya. Aku bahkan mematahkan tulang tangannya," ucap Dian membuat Dila bergidik ngeri.     

Wanita macam apa Dian hingga bisa bertindak sadis seperti itu?     

"Wajahku terekam CCTV bos." Dian menambahkan.     

Bara memijit pelipisnya. Menyayangkan tindakan Dian dan merusak rencana mereka.     

"Kenapa kamu jadi gegabah gini Dian? Jika kamu melakukannya harus pakai perhitungan. Terpaksa kita harus menyewa hacker untuk menghapus rekaman CCTV rumah sakit Harapan."     

"Bagaimana aku tidak melakukannya. Bajingan itu bahkan berani menemui Alvin di belakangku dan bahkan melakukan tes DNA untuk membuktikan Alvin anaknya atau bukan."     

"Apa?" Bara dan Dila tak kalah kaget dengan penuturan Dian.     

"Aku hanya seorang ibu yang berusaha melindungi anakku. Aku tidak sudi dan tak pernah rela jika dia mendekati Alvin."     

"Kenapa kamu melakukannya tanpa bicara dulu padaku?" Bara ingin menjitak kepala Dian namun karena ada istri dan kakak iparnya Bara mengurungkan niatnya.     

"Aku emosi bos. Aku seperti ditusuk dari belakang. Bagaimana pun bajingan itu tidak berhak mengakui Alvin sebagai anaknya."     

"Baiklah kalau begitu. Aku akan mencari cara untuk menyelamatkan kamu. Tenangkan dulu diri kamu." Bara menyentuh pipi Dian.     

"Hmmmmhmmmmm." Dila bergumam menegur suaminya. Matanya membelalak.     

"Bos, jangan pegang pipiku." Dian merasa tak enak karena Dila telah menegurnya.     

"Kenapa?"     

"Tidak tahu kamu bawa istri Bara. Istrimu cemburu." Naura bersedekap menggoda Dila.     

"Siapa yang cemburu?" Dila membantah ucapan Dian dan Naura. Dila membuang muka mempertahankan gengsinya.     

"Ya sudah kalo tidak cemburu. Sini Dian aku peluk," ucap Bara menjahili istrinya.     

"Sayang," panggil Dila dengan gigi bergemeletuk dan mata melotot.     

"Aku hanya ngetes sayang." Bara nyengir memperlihatkan barisan gigi putihnya.     

"Bolehkah kami bicara berdua saja?" Dian menatap Naura dan Dila. "Jangan khawatir Dila. Aku tidak akan menggoda suamimu."     

"Siapa yang menuduh kamu menggoda suamiku?" Dila tak terima tuduhan Dian. Hari ini Dian membuatnya benar-benar kesal. Dila bukan tipe istri yang gampang cemburuan.     

"Bicaralah di ruang itu." Naura menunjuk sebuah ruangan kecil yang berdinding kaca. Apa pun yang dilakukan dalam ruangan itu akan terlihat dari luar.     

Dian dan Bara menuju ruangan yang ditunjuk Naura. Bara dan Dian duduk berhadapan.     

"Kenapa kamu bertindak bodoh Dian?"     

"Mau bagaimana lagi bos. Aku tidak rela dia mengambil Alvin dari sisiku."     

"Aku tahu kamu ingin melindungi Alvin tapi tetaplah hati-hati. Jangan pernah bicarakan masalah balas dendam kita pada Zico di depan Dila."     

"Kenapa?"     

"Dila tidak mengijinkan aku untuk membalas dendam pada Zico. Dila malah meminta aku memaafkan Zico."     

"Apa?" Dian bereaksi keras. Bagaimana Dila dengan gampang meminta Bara agar tak balas dendam.     

"Dila tak berada di posisi kita makanya dia dengan mudah mengatakannya."     

"Nah itu. Tapi kamu tahu jika aku tidak mengiyakan ucapannya hubungan kami jadi taruhan. Aku iyakan omongan dia tapi dibelakangnya kita tetap melakukan rencana kita. Mengerti?"     

"Aku mengerti bos."     

Bara menepuk pundak Dian. "Cukup sekali ini kamu bertindak gegabah Dian. Lain kali jangan pernah lakukan lagi. Anggap saja kejadian hari ini sebagai peringatan bagi Zico. Kita atur rencana kita lagi. Lebih baik kita undur dulu. Jika kita tetap melakukannya, polisi dengan mudah melacak siapa pelakunya. Biarkan masalah penganiayaan hari ini beritanya redup dulu."     

"Apa rencanca kita bos?"     

"Nanti kita bicarakan. Sangat rentan jika kita bicara disini. Lebih baik kita bahas di kantor. Ada Dila dan Naura, aku tak nyaman mengatakannya."     

"Baiklah bos." Dian mengangguk dan mengerti intruksi Bara.     

"Jangan pernah bahas balas dendam di depan keduanya baik Dila mau pun Naura. Kita harus melakukannya dalam senyap. Tanpa ketahuan siapa pun."     

"Bos takut kehilangan Dila ya?"     

"Tentu saja aku takut karena aku sangat mencintainya."     

"Baiklah aku mengerti."     

Bara dan Dian keluar dari ruangan itu menemui Naura dan Dila.     

"Apa kalian sudah selesai diskusinya?" Dila bersedekap menanyai keduanya.     

"Sudah. Makanya kami keluar." Dian menjawab.     

"Rahasia apa yang kalian bicarakan sehingga aku tidak boleh mendengarnya?" Dila menatap curiga pada Dian dan suaminya.     

"Dila kamu kok ngomong gitu?" Bara berusaha menetralkan perasaaannya. Tidak boleh emosi dan naik darah.     

"Kamu tidak ada di posisi kami Dila," ucap Dian pelan menoleh pada Naura.     

Naura merasakan atmosfer panas. Naura mengambil keputusan untuk menjadi penengah.     

"Dila. Walau kalian suami istri tapi suami kamu berhak punya privasi. Kamu harus percaya pada Bara. Siapa lagi yang percaya Bara jika bukan kamu?"     

"Tapi uni….."     

"Hargai suamimu. Dian bisakah ke bawah memesan makan dan minuman untuk kita berempat?" Naura meminta Dian pergi sebentar. Naura ingin bicara dengan Bara dan Dila.     

"Baiklah." Dian pergi ke lantai satu memesan makan dan minum.     

"Bara tadi aku menemui Zico," kata Naura setelah Dian pergi.     

"Kenapa uni menemui dia?" Bara membelalakan mata.     

"Dia atasan uni tentu saja melihat kondisinya."     

"Tadi kami sempat berbincang-bincang."     

"Apa yang kalian bicarakan?" Bara tak sabaran.     

"Zico membiarkan Dian menganiayanya sebagai penebus kesalahannya."     

"Apa?" Bara sempat tak percaya namun karena Naura yang mengatakannya Bara jadi mempercayainya.     

"Sebagai seorang psikolog uni bisa melihat jika Zico berkata jujur. Dia pernah bilang jika dia mengalami depresi karena telah melakukan kejahatan keji di masa lalu. Bahkan tadi pria itu dengan gentleman mengakui jika dia telah memperkosa kalian di masa lalu."     

"Seorang Zico mengakui dosanya." Bara tersenyum sinis.     

"Kenyataannya seperti itu Bara."     

Dila menyentuh tangan suaminya.     

"Sayang. Aku mohon jangan pernah membalas dendam."     

Bara meringis seraya tersenyum. Ia berusaha menutupi dendamnya.     

"Tidak sayang," jawab Bara berbohong.     

"Dia mengatakan ingin meminta maaf pada kalian. Dia menyesali perbuatannya pada kalian. Saat kejadian itu terjadi dia mengalami gangguan emosi sehingga bisa bertindak diluar kendali."     

"Apakah kamu percaya begitu saja?" Bara menatap sinis pada Naura.     

"Aku seorang psikolog Bara. Aku bisa menilai dan melihat jika Zico bicara jujur. Penyesalannya sangat besar apalagi ketika dia tahu Dian melahirkan anaknya. Dia terpukul sekaligus bahagia."     

"Kau gampang sekali tertipu Naura. Benar kata orang perempuan itu gampang tersentuh dan tak memakai logika."     

"Aku tidak sepicik yang kamu pikir Bara."     

"Kalian karena tidak berada di posisi kami. Andaikan kalian yang mengalami belum tentu bisa survive seperti kami. Laki-laki itu petaka dalam kehidupan kami. Dialah yang telah membuat aku menjadi seorang gay. Tindakan dia memicu aku menjadi seorang gay. Untung saja aku punya istri seperti Dila. Andai aku tidak menikah dengan Dila mungkin sampai sekarang aku masih gay. Kami ibarat joker. Orang baik yang tersakiti."     

"Bukti penyesalan Zico, dia tidak berniat melaporkan Dian ke polisi."     

"Apa?" Bara kaget dan tak percaya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.