Part 61 ~ Kunker Bara ( 2 )
Part 61 ~ Kunker Bara ( 2 )
Dari pernikahannya dengan Iqbal, Naura hanya memiliki satu anak yaitu Allea. Aina dan Attar merupakan anak Iqbal dan Ria.
"Adek Aina suka genit-genit sama cowok," balas Attar dengan wajah cemberut. Attar memperlihatkan aura permusuhan pada Bara, tak rela sang adik bermanja-manja. Menurut Attar, Aina hanya boleh manja padanya.
"Kok Attar liat om kayak gitu?" tegur Bara mencandai Attar. " Om enggak bakal ambil adeknya kok. Tenang aja Aina tetap jadi adeknya bang Attar."
Semua tertawa melihat kecemburuan Attar pada Bara. Kelakuan anak-anak selalu mengundang gelak dan tawa.
"Ayuk kita makan bersama. Abang Attar ayo pimpin doa akan makan,", perintah Defri memecah keheningan.
Semua anggota keluarga mengadahkan tangan. Attar memimpin doa akan makan. Suatu kebanggaan bagi Attar bisa memimpin orang dewasa untuk berdoa.
"Mari makan," ajak Defri pada semuanya.
Semua anggota keluarga makan dengan nikmat. Kebiasaan orang Minang lebih suka makan pakai tangan daripada pakai sendok. Makan dengan tangan lebih nikmat. Lusi membuat sendiri masakannya. Ia lebih puas memasak sendiri daripada masakan ART. Masakan yang dibuat Lusi antara lain cumi balado petai, tumis kangkung, dan dendeng lambok. Tak lupa ada cemilan berupa kerupuk kesukaan keluarga.
Seusai makan, para wanita sibuk membereskan piring kotor di meja makan. Sementara para pria duduk bersantai di gazebo belakang rumah.
"Besok berangkat ke Jakarta ya Bara?" Tanya Iqbal memecah keheningan.
"Iya Iq," jawab Bara menyahut sang ipar. Karena mereka seumuran makanya hanya memanggil nama. Iqbal juga tak keberatan dipanggil nama walau Bara adik iparnya.
"Ini kunker yang ke berapa? Perasaan Bara sering keluar kota?" Sahut Defri ingin tahu kegiatan sang menantu.
"Kemaren itu urusan kerja ayah. Ini kunker pertama. Kita mau bersilaturahmi ke Senayan, kenalan dengan anggota DPR RI selanjutnya kami akan kunker ke pemerintah DKI. Kami berencana akan membuka layanan publik seperti di Jakarta. Tidak perlu ada penumpukan masyarakat di kantor pemerintahan. DKI sudah sukses dengan itu semua. Ini yang harus di tiru pemerintah kita. Layanan publik kita masih rentan calo dan korupsi. Kami ingin pelayanan kepada masyarakat dipermudah, tidak ada calo dan pelayanan satu pintu. Lambannya birokrasi membuka peluang calo untuk mengais rejeki. Nah ini yang komisi kami mau ubah. Terus kita akan bikin layanan pengaduan masyarakat tentang pelayanan publik. Masyarakat bisa melaporkan kendala-kendala yang dialami ketika mengurus dokumen publik."
Defri menyentuh bahu Bara," Ayah banggap padamu. Semoga niat baik kamu dipermudah."
"Setuju banget Ra. Kami bahkan untuk mengurus izin banyak mengeluarkan uang untuk menyuap pejabat ini dan pejabat itu," cerocos Iqbal.
"Teman gue aja cerita susahnya birokrasi. Buat dapat proyek di instansi pemerintahan mereka harus melakukan suap di ke beberapa pejabat. Kalo tidak ada pelicin jangan harap bisa dapat proyek di pemerintahan. Terus ya gini dech, kota ini tidak pernah maju kalo mentalnya kayak gitu. Padang masih proyek kekeluargaan dan unsur kedekatan. Mau kerja jelek yang penting dekat dulu, trus duit lancar pasti dapat proyek Jauh beda sama Jakarta, emang yang punya kemampuan bisa dapat proyek. Nilai proyek sebenarnya cuma sepuluh, eh karena banyak suap sana sini nilainya jadi tiga puluh."
"Ini sudah jadi tradisi Iq. Memang susah untuk diubah, tapi tak ada salahnya kita mencoba mengubahnya perlahan-lahan," balas Bara.
"Satu hal yang ingin ayah ketahui. Kenapa sich kamu pengen sekali berpolitik? Kalo kejar penghasilan rasanya penghasilan anggota DPRD kecil daripada penghasilan kamu sebagai pengusaha?" Defri menatap sang menantu.
"Ingin memberikan perubahan untuk pemerintah ayah, saatnya anak muda yang maju untuk kemajuan kota ini. Aku bisa memberikan ide-ide baru untuk kemajuan kota ini. Melakukan suatu perubahan dan mengabdi ke masyarakat. Aku ingin merealisasikan harapan masyarakat yang tak pernah diwujudkan oleh DPRD. Kebanyakan anggota DPRD hanya turun ketika akan ada kampanye dan mengucapkan janji-janji palsu, setelah mereka terpilih malah lupa akan janjinya dan bersikap acuh pada masyarakat. Aku ingin mengabdi untuk kemajuan Sumbar."
"Kami jadi ketua DPRD, padahal kamu hanyalah seorang pendatang baru. Apa tidak ada keributan disana? Periode lalu Pak Latif yang terpilih." Tanya Defri lagi. Ia masih penasaran kenapa Bara begitu kekeh pengen jadi anggota dewan.
"Ribut pasti ayah, biasa itu. Disana teman bisa jadi lawan, lawan bisa jadi teman. Pandai menempatkan diri saja."
Sementara itu Naura dan Dila sibuk berbincang di dapur seraya mencuci piring. Sudah jadi kesepakatan bersama jika malam hari urusan ke dapur di urus oleh anggota keluarga, ART diberikan istirahat karena sudah bekerja seharian. ART tinggal di paviliun di belakang rumah. Dulunya paviliun tersebut tempat tinggal Fatih bersama orang tuanya.
"Bagaimana pekerjaan di kantor baru?" Tanya Naura sambil membilas piring kotor.
"Lumayan banyak tekanannya. Unsur politik terlalu kentara disana. Harus bisa menempatkan diri uni."
"Bagaimana hubunganmu dengan Bara? Sejauh mana kalian melangkah?"
Dila terlihat ragu menceritakan masalah rumah tangganya, tapi jika tidak cerita ada yang mengganjal dihatinya. Ia dan Naura sudah seperti kakak adik dan menjadikan sang ipar sebagai teman curhat. Naura orang yang bisa dipercaya dan tidak ember
"Masih seperti itu saja. Kami memilih berteman."
"Tidak ada rencana untuk hidup berumah tangga pada umumnya?"
"Inginnya seperti itu, tapi..."
"Tapi apa? Aku masih mencintai si pria Mesir,", potong Naura memasang senyum.
"Sudahlah uni, jangan membahas dia. Membahas dia hanya akan menambah luka di hatiku," balas Dila sendu.
Naura mencuci tangan dan mengajak Dila duduk di kursi.
"Maafkan uni jika terus mengungkit masalah dia, cuma uni hanya ingin kamu bahagia. Sampai kapan kamu akan menjalani pernikahan palsu ini Dila? Kalian suami istri, tapi menjaga jarak, bahkan kalian sampai sekarang tidak melakukan hubungan suami istri. Kamu pantas untuk bahagia. Bunda dan Ayah sangat berharap kalian segera punya anak."
"Punya anak?" Dila menatap Naura tanpa ekspresi.
"Melihat kedekatan antara Bara dan Aina, kata ayah dan bunda semoga kalian segera punya anak. Mereka mengharapkan cucu dari kalian. Kamu percaya takdir bukan?"
"Percaya."
"Bara adalah jodoh yang ditakdirkan Tuhan untuk kamu. Menurut uni apa salahnya mencobanya."
"Tidak bisa uni. Jika hanya aku yang ingin memulai tapi Bara tidak percuma, lagian kita belum menuntaskan misi kita mencari tahu hubungan Bara dan Dian. Sudah dapat info belum? Semakin hari aku semakin curiga dengan sikap suamiku," kata Dila pelan takut kedengaran orang lain.
Dila membisikkan sesuatu di telinga Naura. Sontak saja ucapan Dila memancing reaksi kaget dan tak percaya.
"Kamu yakin Dil?"
" Seribu persen seperti itu."
"Masa iya? Kenapa kamu kepikiran kesana?"
"Gara-gara menonton film India."
"Apa hubungannya coba?"
"Feeling aja uni. Aku rasa dia mengalami kejadian seperti di film itu. Trauma dan rasa kecewa membuatnya dia mati rasa. Aku rasa dia jadi impoten karena kecewa dengan kekasihnya dulu. Dia telat menikah karena impoten. Aku pernah menguji Bara, sengaja mondar-mandir di depannya menggunakan handuk. Laki-laki normal pasti akan terangsang, minimal tatapan matanya lapar dan kejantanannya bangun. Suamiku santuy saja enggak ada reaksi. Tadi dia mencoba mengerjaiku, menindihku dan mengancamku akan meminta haknya. Jika Bara pria normal, ketika posisi kami seperti itu kejantanannya bangun. Ini tidak sama sekali."
"Apa pernah membahasnya dengan Bara?"
"Mana berani uni. Yang ada aku akan dicekik. Masalah itu sangat sensitif, harga diri laki-laki. Bisa-bisa dia membunuhku karena menuduhnya impoten. Seperti film yang aku nonton. Seorang cowok membunuh seorang cewek karena cewek itu tahu dia impoten."