Part 55 ~ Kekesalan Stevi
Part 55 ~ Kekesalan Stevi
Jika SDM sudah melakukan panggilan untuk pegawai berarti pegawai tersebut di promosikan naik jabatan. Sementara bagi pegawai yang rotasi ( hanya pindah tempat kerja dengan posisi yang sama ) tidak dilakukan pemanggilan hanya akan di berikan SK.
Stevi justru mendengar kabar bahwa Dila dipanggil SDM. Ia merasa kalah telak. Selama ini ia selalu selangkah lebih maju daripada Dila, kenyataan berbalik. Dila promosi sebagai kepala capem cabang utama. Sebuah prestasi jika bisa membawahi capem cabang utama. Hanya orang-orang terpilih yang akan duduk sebagai kepala capem.
Stevi mengusap wajahnya dengan kasar, air mata turun membasahi pipi. Maskara yang ia pakai luntur karena menangis. Make up berantakan dan rambut acak-acakan. Ia mengurung diri dalam ruangannya, semua karyawan sudah pulang. Hanya ada seorang securiti yang berjaga di dalam kantor.
Promosi Dila merupakan pukulan terbesar dan telak dalam hidupnya. Selama ini ia tak pernah kalah dari Dila. Jika promosi, ia terlebih dulu mendapat promosi dari Dila.
Stevi dan Dila saingan semenjak SMA. Stevi iri dengan kepintaran dan kepopuleran Dila. Baginya Dila batu sandungan untuknya. Kenapa selalu Dila yang di elu-elukan? Kenapa ia tak bisa sepintar dan berprestasi seperti Dila, padahal ia telah berusaha keras.
Rasa iri dan dengki membuat Stevi sangat membenci Dila. Ego tak mau dikalahkan membuat batin Stevi bergejolak. Kalau bisa semua orang berada di bawahnya.
Stevi meraih smartphone lalu menghubungi sang ayah.
"Papi.....," rengek Stevi bak anak kecil.
"Ada apa lagi Stev?" suara Eri, papi Stevi terdengar sumbang.
"Papi," panggil Stevi masih merengek.
Eri sudah bisa menebak kenapa Stevi menghubunginya. Pasti masalah promosi jabatan. Kesalahan Eri terlalu memanjakan dan memenuhi semua permintaan Stevi. Promosi Stevi tak lepas dari andil Eri.
Eri memasukkan Stevi ke bank MBC melalui memonya pada direktur utama MBC. Sebagai ketua DPR ia memiliki pengaruh. Ia memanfaatkannya dengan memasukkan Stevi kerja di bank MBC. Stevi ngotot ingin bekerja di bank MBC karena Dila kerja disana.
Stevi diterima sebagai pegawai tanpa tes ketat seperti yang lain. Stevi tes demi formalitas. Dia pun tak berkompeten bekerja di perbankan. Ia lebih suka bersolek. Orang seperti Stevi lebih cocok berprofesi sebagai beauty vlogger. Ego yang tinggi tak mau kalah dan merasa bisa bersaing dengan Dila membuatnya terjun di perbankan.
Eri mendengus kesal, sudah dewasa tapi kelakuan Stevi masih seperti anak-anak.
"Ada apa lagi Stev?"
"Papi bantu aku."
"Apa yang bisa papi bantu?"
"MBC ada mutasi dan promosi besar-besaran. Dila dapat promosi jadi kepala capem cabang utama sementara aku tidak. Harusnya posisi itu untukku. Aku tidak mau kalah dari Dila. Aku seperti pecundang. Selalu di kalahkan dalam segala hal. Tak hanya bidang akademis bahkan cinta papi."
Kening Eri berkerut. Lagi-lagi Stevi merengek karena tak ingin Dila mendahuluinya.
"Sudahlah Stevi sampai kapan kamu seperti ini? Selalu tidak mau kalah dengan Dila. Ingat Stevi kamu sudah menikah dan punya anak. Kapan kamu bisa dewasa? Tak baik selalu mengutamakan ego. Belajarlah legowo dan terima kenyataan."
Stevi berang dan mengamuk," Bagaimana aku bisa terima keadaan papi? Setiap aku menginginkan sesuatu Dila selalu merebutnya dari aku? Papi masih ingat ketika aku SMA? Aku sudah bekerja keras untuk menjadi peran utama dalam drama perpisahan sekolah, sampai kaki aku sakit latihan, tapi siapa yang dapat peran? Dila. Padahal di depanku dia bilang tidak tertarik dengan peran utama, tapi ternyata dia yang jadi pemeran utama. Lalu ketika Edo mendekati aku, ternyata Edo hanya memanfaatkan aku untuk membuat Dila cemburu karena Edo suka dengan Dila."
"Sudahlah Stev. Masa lalu enggak usah dibahas."
"Papi aku belum selesai bicara," bentak Stevi kasar pada sang ayah.
"Alah barani kau mahariak den? Anak batu lado kau. Dari ketek aden gadangan kini alah barani kau mahariak den? Jan co anak ketek juo parangai kau!" Hardik Eri dalam bahasa Minang ( Sudah berani kamu membentak saya? Anak durhaka kamu. Dari kecil aku besarkan sekarang sudah berani membentak ku? Jangan seperti anak kecil kelakukan kamu ).
Stevi memukul mulutnya sendiri, sadar telah membuat Eri marah.
"Papi maafkan aku. Aku keceplosan," bujuk Stevi terisak-isak.
"Ampuni aku papi. Jangan marah padaku. Jika papi marah seperti ini lebih baik aku mati."
Eri shock mendengar ucapan Stevi. Dari dulu Stevi memang mengalami gangguan mental karena sifat iri dan dengki pada Dila. Kecemburuan sosial pada Dila mempengaruhi psikologis Stevi.
"Lain kali jangan berkata seperti itu nak. Papi memarahi kamu karena kamu salah, tanda sayang sama kamu. Masih menegur ketika kamu membuat kesalahan. Betapa pun kamu emosi dan marah tidak layak menghardik orang tua. Ingat pelajaran mengaji sewaktu kecil. Dalam Alquran dilarang membentak dan memarahi orang tua. Jangankan membentak, bilang Ah saja sudah berdosa. Kamu seorang ibu. Jika anak kamu membentakmu bagaimana perasaanmu?"
"Iya papi, maaf," balas Stevi lirih. Ia melunak demi mendapatkan keinginannya.
"Papi memaafkanmu nak."
"Papi tolonglah aku. Gunakan koneksi papi biar aku naik jabatan. Aku enggak apa-apa tidak di cabang utama, asal posisi aku tidak di bawah Dila. Aku enggak terima jika dia selalu unggul dari aku. Cukup penderitaan aku selama ini. Sudah cukup dia merebut semuanya dariku, termasuk cinta Fatih."
"Jangan bahas Fatih lagi Stev. Kenyataannya Dila tidak bersama Fatih malah menikah dengan Bara. Kamu saja selalu berburuk sangka sama Dila."
"Dia munafik papi. Mereka memiliki hubungan cuma om Defri dan tante Lusi enggak tahu. Mereka backstreet. Apalagi lelaki soleh seperti Fatih itu anti pacaran."
"Sudahlah jangan omong kosong seperti itu terus. Fatih juga dibahas. Enggak ada satu pun dari kalian menikah dengan Fatih. Kenapa papi harus mengurus hal remeh seperti ini?"
"Papi menganggap aku remeh?"
"Rasa iri kamu sama Dila kadang tidak beralasan. Kamu selalu menjadikan dia sebagai rival, padahal dia tidak menganggap kamu rival."
"Terserah papi mau bilang apa, tapi kali ini bantu aku papi. Bikin memo agar aku naik jabatan setara dengan Dila."
Eri mendengus kasar," Kali ini papi enggak bisa bantu kamu. Kamu harus usaha sendiri. Malu papi harus menemui direktur MBC meminta kamu promosi. Papi kayak pengemis. Sudah enggak ada muka papi, kuping papi panasi dengar ocehan orang."
"Papi ketua DPR. Gunakan kekuasaan papi. Tekan dirut papi."
"Papi tidak mau melakukannya lagi Stev. Cukup! Papi udah enggak punya muka. Kalo kamu layak promosi, akan promosi. Tunjukkan kinerja terbaikmu."
"Papi sudah tidak sayang padaku."
"Papi selalu menyayangi kamu."
"Jika sayang kenapa tidak mau melakukannya untuk aku?"
"Rasa sayang tidak harus ditunjukkan dengan selalu menuruti keinginan kamu."
"Papi....."
"Sudahlah Stev jangan bahas promosi lagi. Lagian mau ditaruh dimana muka papi. Palingan direksi kamu akan menghina papi. Kamu saja sedang ada masalah di kantor. Asal memberikan kredit pada nasabah, padahal udah jelas dia enggak masuk kriteria. Sekarang dia kabur melarikan agunan dan kreditnya macet. Andai kamu punya prestasi papi masih bisa melobi Pak dirut. Apa yang mau dilobi, kamu malah berkasus. Yang ada papi malah dicemoohkan Pak dirut. Ya sudah papi mau rapat."
Eri mematikan sambungan telepon sepihak. Tinggallah Stevi merana menangisi nasib. Ia merasa hancur dan sendirian.