Jodoh Tak Pernah Salah

Part 74 ~ Keterkejutan Anda ( 2 )



Part 74 ~ Keterkejutan Anda ( 2 )

1"Abang pikir abang tidak sama dengan dia? Abang pikir aku tidak tahu jika abang akan menggunakan jabatan abang untuk memperlancar proyek di pemerintahan dan memonopoli semua proyek di pemerintahan?"     

Bara tertohok mendengar ucapan sang istri. Analisis Dila sangat tepat dan benar. Ia jadi senyum-senyum sendiri. IQ istrinya sangat tinggi.     

"Percuma aku berbohong. Kamu benar," kata Bara tersenyum licik.     

Melihat ekspresi tak bersalah Bara membuat Dila semakin naik darah. Jika tak ingat dosa menimpuk Bara, mungkin ia akan melakukannya.     

"Itu sudah terjadi Dila. Kamu mau apa?" Tanya Bara menantang."Kebobrokan Hadi sudah diketahui orang satu Indonesia. Netizen juga memprotes dan meminta dia mundur. Jadi tak ada yang bisa diperbaiki atau di klarifikasi lagi. Aku menghancurkannya sampai ia tak bisa bangkit lagi."     

Dila memukul dada Bara, Ia benar-benar kesal.     

"Abang orang paling kejam yang pernah aku temui. Sebelum bertindak pikirkan dulu efek apa yang abang timbulkan di kemudian hari. Abang tidak hanya menghancurkan Pak Hadi, tapi juga keluarganya."     

"Apa maksud kamu?" Bara mendelik kesal menatap sang istri tak terima tuduhan Dila. Ia merasa tak menghancurkan keluarga Hadi.     

"Apa yang abang lakukan berdampak pada keluarga Hadi. Pertama hubungannya dengan sang istri memburuk mereka bisa berujung perceraian. Kedua anak-anak Hadi akan mendapatkan cibiran dan hinaan dari teman-temannya karena ayah mereka terlibat skandal. Tidak mungkin teman dari anak Hadi tidak membaca berita itu. Mereka akan kena bully. Mental anak-anak Hadi pasti down. Cyber bullying pembunuh nomor satu di zaman sekarang. Mereka bisa stress dan bunuh diri karena tak kuat menerima ejekan dan hinaan. Abang memang hanya menghancurkan Hadi, tapi imbas yang abang timbulkan melukai hati keluarganya. Tak seharusnya orang yang tak bersalah mendapat imbas dari perbuatan orang lain." Dila duduk seraya menundukkan kepala. Entah kenapa setelah marah-marah perasaannya lega.     

"Ingatkah orang-orang pernah bilang. Baik atau buruknya sikap anak atau sikap istri itu tergantung pada didikan orang tua dan sang suami. Seperti aku sekarang. Jika sikapku buruk, siapa yang disorot abang? Kamu...." Dila menunjuk Bara.     

"Jika aku buruk maka kamu yang akan dinilai buruk oleh orang lain karena tidak bisa mendidik istrimu. Sebelum aku menikah dosaku diberatkan kepada ayahku. Setelah menikah dengan maka kamu yang akan menanggung dosaku. Ijab Qabul memiliki makna yang dalam tak sesederhana yang kamu pikirkan. Saat proses ijab kabul telah berhasil terlaksana, maka segala dosa si perempuan yang seharusnya menjadi tanggung jawab sang ayah menjadi berpindah ke bahu sang suami. Belum cukup disitu, memberi nafkah, membimbing agama, memanjakan si perempuan, menjaga si perempuan baik di dunia maupun akhirat dan menjadi pelindung utama bagi si perempuan menjadi tugas si suami. Jadi suami tak sesederhana yang kamu pikirkan."     

Bara tak berkutik mendengar ocehan Dila. Ia memilih diam dan membiarkan Dila melepaskan unek-unek dalam hatinya.     

"Orang juga pernah bilang jodoh itu cerminan dari diri kita. Jika kita baik maka akan berjodoh dengan orang baik. Jika kamu kejam seperti ini orang lain akan menilai aku juga kejam. Orang menganggap aku seolah-olah tak mengingatkan suaminya ketika berbuat salah."     

"Sudah selesai bicaranya?" Bara memotong pembicaraan Dila karena telinganya sudah panas menerima ceramah sang istri.     

"Aku belum selesai," teriak Dila lantang. Untung saja mereka berada dalam ruangan VIP yang kedap suara sehingga tak ada yang mendengar pertengkaran mereka.     

"Jangan pernah berteriak padaku," kata Bara memperingatkan Dila.     

"Abang yang mulai berteriak duluan," balas Dila dengan suara pelan. Tiba-tiba nyalinya ciut. Napas Dila ngos-ngosan karena marah-marah.     

"Aku benci mendengar ocehan kamu. Aku peringatkan sekali lagi jangan pernah mencoba mengatur apa yang aku lakukan. Aku kepala keluarga dan kamu harus tunduk pada suamimu. Jangan menjadi istri durhaka!Jika kamu memahami ilmu agama kamu seharusnya tahu kewajiban seorang istri."     

"Seorang istri berkewajiban mengingatkan suaminya jika berbuat salah. Itu yang aku lakukan sekarang. Jangan pernah mengedepankan emosimu."     

"Aku Aldebaran tidak suka dihina. Hadi telah menghina orang yang salah. Aku akan lebih menghinakan orang yang menghina aku. Siapa dia berani merendahkan aku? Status kamu adalah istriku. Jika istri ibarat pakaian bagi suaminya, maka Hadi telah menelanjangi aku dengan menghina kamu. Dia pantas mendapatkan penghinaan seperti itu. Orang seperti itu harus dapat pelajaran baru sadar."     

"Tapi tak perlu seperti itu abang," balas Dila dengan suara pelan. Emosinya sudah merada.     

"Itulah cara aku untuk membalas dia. Sudahlah Dila kenapa kita bertengkar karena Hadi. Semuanya sudah berlalu. Hadi sudah di desak mundur dari posisinya."     

"Aku mohon ke depannya jangan berbuat seperti ini. Aku bisa mengatasi masalahku sendiri. Jangan pernah lagi ikut campur urusan pekerjaan aku."     

"Tergantung," potong Bara.     

"Tergantung apa?" Tanya Dila bingung.     

"Kalo dia melibatkan dan membawa aku seperti Hadi aku akan ikut campur."     

"Abang segala sesuatu yang jahat tidak perlu dibalas dengan kejahatan. Jika kita berbuat jahat seperti orang yang jahat dengan kita artinya kita sama dengan mereka."     

Dian mengetuk pintu mau ijin masuk. Dila menoleh pada Dian. Cantik sekali sekretaris suaminya. Yang jadi pikiran Dila kenapa mereka berdua tak terlibat cinta lokasi? Wajah Dian cantik, tubuh molek, agak kebule-bulean dengan wajah khas Indonesia, kulit mulus dan putih . Laki-laki mana yang tak tertarik pada Dian.     

"Hai Dila," sapa Dian ramah.     

"Hai Dian apa kabar?" Dila balas menyapa Dian.     

"Maaf mengganggu Dila. Aku mau bicara sebentar sama bos."     

"Silakan," balas Dila mengijinkan. Tak ada rasa cemburu dan curiga karena Dila tak punya perasaan pada suaminya.     

Bara dan Dian bicara agak jauh dari Dila dan berbisik-bisik.     

"Mereka semua sudah teller bos?" Dian melapor.     

"Bagus. Apa mereka mau menghabiskan malam dengan anak buah mami Dahlia?"     

"Mereka sangat ingin dan malah tak sabar melepaskan nafsunya."     

"Good." Bara tersenyum smrik. "Kamu atur semuanya Dian. Jangan lupa ingatkan mami Dahlia untuk mengingatkan anak-anaknya untuk merekam adegan asusila mereka. Itu akan jadi senjata untuk membungkam mereka nanti."     

Dian mengangguk dan memasang senyum kemenangan.     

"Tentu saja bos."     

"Jangan lupa berikan bonus untuk mami Dahlia jika pekerjaan anak-anaknya sudah selesai."     

Dila berusaha mencuri dengar pembicaraan Bara dan Dian, tapi karena suara mereka sangat pelan Dila tak mengetahui isi percakapan mereka.     

"Bos kalo begitu aku kembali dulu. Jangan lupa bahagiakan istrimu," kata Dian mengingatkan dan meninggalkan Bara dan Dila.     

"Sepertinya ada pembicaraan yang sangat serius," kata Dila mencoba mengorek informasi ketika melihat Dian sudah pergi.     

"Kenapa? Kamu kepo?"     

"Kalo kepo kenapa? Boleh bukan jika aku kepo dengan suami sendiri?"     

Bara tertawa terbahak-bahak. Dila bersikap seperti seorang istri yang sesungguhnya.     

"Sikapmu benar-benar layak seorang istri."     

"Aku memang istrimu. Aku sah dimata agama dan negara. Tak ada yang memungkirinya. Cuma kamu terlalu menakutkan untukku. Aku merasa duduk di kursi panas sejak menyandang status sebagai istri kamu, apalagi semenjak kamu jadi ketua DPRD Sumbar. Benar-benar posisi yang sulit."     

"Kamu harus belajar dari sekarang karena aku ingin ke Senayan."     

"Apa?" Tanya Dila kaget. "Abang ingin serius berpolitik?"     

"Aku selalu serius melakukan sesuatu Dila. Padang hanya batu loncatan untukku. Kedepan mungkin kita akan tinggal di Jakarta dan kamu akan pindah tugas. Istri harus ikut kemanapun suaminya pergi. Itu jika kamu ingin jadi istri solehah, kalo tidak mau ya aku tidak memaksa."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.