Jodoh Tak Pernah Salah

Part 89 ~ Menemui Papa Mertua



Part 89 ~ Menemui Papa Mertua

1Dila membulatkan tekad menemui papa mertuanya. Ia tak bisa memendam rahasia Bara. Kenyataan ini sangat menyesakkan dadanya. Herman berhak tahu penyimpangan sang putra. Siang itu Dila janjian makan siang dengan sang mertua di sebuah restoran. Mereka sengaja duduk di ruangan VIP agar privasi mereka terjaga.     

Dila sudah berada di restoran sejak jam setengah dua belas. Ia sengaja datang lebih awal agar tak keduluan Herman. Tidak enak jika mertuanya yang menunggu.     

Dila menyambut kedatangan mertuanya dengan tangan terbuka. Menu makan siang sudah tersaji di atas meja. Dila memesan iga sapi bakar, tomyam, bakwan jagung. Tak lupa menyediakan buah untuk pencuci mulut seperti buah naga,kiwi dan melon.     

"Sudah lama menunggu Dila?" sapa Herman ramah. Ia sudah menganggap Dila seperti anaknya sendiri.     

"Tidak papa. Aku baru juga sampai. Cuma makanan sudah pesan via telepon. Ketika kita sudah datang makanan sudah terhidang."     

Dila menyalami tangan sang mertua dan tak lupa mengecupnya. Herman semakin terkesan dengan menantunya. Herman tak salah cari menantu. Idenya tepat mencarikan istri untuk Bara.     

"Tumben kamu mengajak papa makan siang, malah tidak boleh ada mama Ranti."     

"Apa tidak boleh mengajak papa makan siang? Kalo tidak sekarang kapan lagi?" Kelakar Dila menuangkan minuman pada Herman.     

"Tentu saja boleh. Suatu kebanggaan diajak makan siang menantu tersayang."     

"Papa kesini bersama siapa?"     

"Ada asisten papa di bawah. Dia makan di lantai bawah. Sepertinya kamu ingin bicara penting sama papa hingga harus booking ruang VIP seperti ini."     

"Bagaimana kita makan dulu papa? Aku yakin papa pasti lapar. Ini aku pesan iga sapi bakar kesukaan papa."     

"Darimana kamu tahu jika papa suka iga sapi bakar?"     

"Aku punya detektif papa," jawab Dila dengan nada bercanda. Dila menuangkan nasi pada piring Herman.     

Sang mertua sangat terkesan dan tersanjung atas perlakuan Dila. Mereka menikmati makan siang tanpa suara. Herman sampai nambah karena iga sapi bakar yang disajikan sangat empuk dan menggugah selera makannya.     

Dila mengintruksikan pelayan restoran untuk merapikan meja mereka. Dengan cekatan sang pelayan merapikan meja dan mereka mulai mengobrol.     

"Bagaimana papa apa makanannya enak?"     

"Enak sekali. Papa sampai nambah makannya. Jika tahu iga sapi bakarnya seenak ini pasti hampir tiap hari papa kesini."     

"Tidak baik juga buat kesehatan papa. Kolesterol. Papa harus jaga kesehatan. Bagaimana kabar mama? Apa beliau sehat pa?"     

"Alhamdulilah sehat. Sesekali datanglah ke rumah menengok keadaan mama. Pasti beliau akan senang jika menantu kesayangannya datang ke rumah. Sudah lama mama pengen punya anak perempuan, baru sekarang cita-citanya terkabul. Punya menantu secantik dan sebaik kamu."     

"Papa terlalu memujiku. Nanti aku besar kepala. Gimana bisnis papa apa lancar? Aku dengar papa bakal buka SPBU baru lagi?"     

"Iya benar. Ini tim papa sedang meninjau lokasi, apakah strategis."     

"Semoga semuanya berjalan lancar ya Pa."     

"Amin..... Bagaimana hubungan kamu dengan Bara? Apakah kalian sudah saling mengenal dan semakin dekat? Papa paham kalian berdua menikah karena perjodohan sehingga kalian butuh waktu lama untuk adaptasi."     

Dila menahan napas, Herman sudah membahas Bara. Dila menyusun kata-kata untuk memberi tahu Herman tentang kondisi Bara. Wajah Dila yang semula ceria berubah kelam. Herman melihat perubahan di wajah Dila.     

"Ada apa sebenarnya Dila? Papa yakin kamu tidak hanya sekedar mengajak makan siang. Apa ada sesuatu yang terjadi di antara kalian?"     

"Pa," panggil Dila lembut.     

"Aku sebenarnya bingung mau mulai dari mana."     

"Bicaralah perlahan-lahan," ujar Herman. Entah perasaannya saja atau apa Herman merasakan firasat buruk.     

"Bagaimana kelakuan Bara sebelum menikah Pa? Aku merasa tidak banyak tahu tentang Bara. Jika ada yang tanya apa yang dia suka, apa yang dia benci aku tidak bisa mengatakannya. Mungkin Dian yang lebih memahami suamiku."     

Herman tergelak tawa, ia menangkap ada kecemburuan. Dila cemburu dengan Dian.     

"Dari arah pembicaraan kamu sepertinya kamu cemburu dengan Dian karena sangat dekat dengan Bara. Dila jangan cemburu dengan Dian. Dia hanya sekretaris bagi Bara dan sudah menganggap Dian seperti adiknya sendiri."     

"Bukan hanya itu papa," kata Dila memotong pembicaraan Herman.     

"Lalu apa?" Kening Herman berkerut.     

Dila mengambil smartphone dan mulai memutarkan video ciuman Bara. Herman yang sedang minum tersedak dan gelas yang ia pegang jatuh. Gelas itu pecah hingga bercerai berai. Herman shock melihat video dari smartphone Dila. Tatapan mata Herman kosong tak tahu harus berbuat apa. Ulu hatinya sangat sakit, menantunya tahu jika Bara menyimpang.     

"Papa maafkan aku harus memberi tahu papa," kata Dila pelan menahan tangis.     

"Aku sendiri kaget mengetahui kenyataan ini papa. Sebagai istri aku benar-benar terpukul mengetahui suamiku seorang gay. Aku hanya bicara dengan papa tanpa membawa mama karena aku tahu mama memiliki riwayat jantung. Aku tak ingin jantung mama kumat mengetahui jati diri Bara. Sebagai istrinya Bara aku berkewajiban memberi tahu ini sama papa."     

Herman melonggarkan dasi bajunya, agar bisa leluasa bernapas. Ia tak menyangka jika Dila akan mengetahui orientasi Bara secepat ini. Herman pun sudah menduga langkah apa yang akan ditempuh Dila. Disatu sisi Herman mengapresiasi sikap Dila. Tak memberi tahu Ranti masalah ini. Bisa dibayangkan jika Ranti ikut makan siang, baru saja melihat video Bara jantungnya sudah kumat.     

Dila menangis sesenggukan bak anak kecil.     

"Walau aku belum mencintai dia papa, cuma aku merasa malang karena mendapatkan suami gay. Apa salah dan dosaku papa hingga mendapatkan suami seperti Bara? Kenapa Tuhan mengujiku begitu berat. Aku menikah di usia yang cukup matang, menikah karena perjodohan, tapi suamiku seorang gay. Hati mana yang tak sakit papa mengetahui semua ini. Aku saja tidak bisa memprediksi ke depannya bagaimana dengan Bara. Mau bercerai pernikahan kami baru seumur jagung."     

"Jangan ceraikan anakku Dila," kata Herman terisak tangis. Ia bahkan berlutut di depan Dila.     

"Papa, apa yang papa lakukan?" Dila kaget dengan tindakan Herman. Ia membantu Herman kembali duduk di kursi.     

"Papa tidak pantas melakukan semua ini."     

"Dila papa mohon jangan pernah ceraikan Bara. Papa selama ini tidak pernah memohon pada orang lain, tapi demi Bara papa rela bersimpuh sama kamu, tolong jangan ceraikan dia. Papa sangat kecewa mengetahui semua ini. Papa kaget dan tidak menduga jika Bara menyimpang. Papa baru mengerti sekarang kenapa dia tidak menikah padahal usianya sudah tiga puluh lima tahun."     

"Sebagai orang tua, papa merasa gagal mendidik anak dan malu bertemu dengan kamu. Tapi Dila sekali lagi jangan ceraikan Bara. Tolong rahasiakan ini pada keluarga kamu. Jika mereka sampai tahu, hubungan baik kami akan hancur. Papa tidak mau kehilangan sahabat baik seperti Defri. Beliau pasti marah besar mengetahui semua ini dan mendesak kalian berpisah."     

"Lantas jika papa tak mau persahabatan papa rusak dengan ayah, lalu bagaimana dengan perasaan aku sebagai istri Bara? Aku merasa sial dan menjadi wanita paling malang di dunia ini." Dila menumpahkan semua isi hatinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.