Part 98 ~ Pencarian Naura
Part 98 ~ Pencarian Naura
Dalam hiruk pikuk pesta, Naura mencoba mencari keberadaan Dila. Sosok Dila tak nampak semenjak Naura melihat Dila berbicara dengan seorang wanita. Naura tak mengenal sang wanita. Dari penglihatannya mereka terlibat pembicaraan serius dan menegangkan.
Naura mendekati Iqbal yang sedang beristirahat. Tubuh Iqbal bermandikan keringat karena ia menari dengan enerjik. Ria mendampingi Iqbal.
"Uda. Apa melihat Dila?" Tanyanya diliputi perasaan khawatir.
"Dila?" Naura mengangguk.
"Tadi Bara mengirimkan aku pesan. Dia dan Dila pergi honeymoon kedua. Melihat pesta Hari, membuatnya teringat pesta pernikahannya dengan Dila. Bara mengajak Dila menghabiskan waktu di sebuah resort. Dasar pengantin baru tidak tahu waktu. Enggak mau kalah dia sama Hari karena dulu pernikahan mereka tidak ada malam sangeet."
Bugggggg.... Jantung Naura berdetak lebih cepat. Ia semakin khawatir dan gugup. Dila bukannya pergi honeymoon. Firasatnya mengatakan Dila berada dalam bahaya. Naura berpikir keras kemana Bara membawa Dila.
Naura panik meninggalkan Iqbal dan Ria. Sejuta tanya meliputi pikiran Ria. Kenapa dengan Naura? Bertanya pun percuma, Naura tak akan menjawab pertanyaannya.
Naura panik bak orang kesetanan. Firasatnya tidak baik. Walau Dila hanya adik iparnya, tapi rasa sayangnya melebihi adik kandung. Pikiran Naura berkecamuk, berlari tak tentu arah. Ia harus menemukan Dila.
Naura mengambil ponsel, berulang kali menghubungi nomor ponsel Dila. Aktif tapi tidak dijawab. Naura juga menghubungi Dila melalui panggilan video. Nihil tak ada respon. Tubuhnya semakin gemetar dan menggigil membayang jika Bara membunuh Dila seperti Mira.
Naura bertarung dengan dirinya sendiri. Ia mencoba mencari ke sekeliling resort. Ia berjalan tergopoh-gopoh. Sapaan dari para tamu undangan tak digubris, melewati mereka begitu saja. Satu hal yang ada dalam pikiran Naura. Ia harus menemukan Dila.
"Ada yang melihat Dila?" Tanya Naura satu persatu pada tamu undangan.
Mereka semua menggeleng, tak melihat keberadaan Dila.
Naura berlari ke tempat Iqbal dan Ria duduk.
"Uda mana kunci mobil?"
Iqbal mengangkat sebelah alisnya, merasa aneh karena sang istri bersikap aneh.
"Uda mana kuncinya?" Desak Naura sekali lagi.
"Buat apa?" Iqbal memicingkan mata.
"Aku ada panggilan darurat dari rumah sakit. Pasienku," kata Naura berbohong.
"Tapi kenapa kamu begitu panik? Bukannya sudah biasa?" Cecar Iqbal, belum rela memberikan kunci mobil.
"Aku mengenalnya karena dia temanku. Cepatlah sebelum semuanya terlambat."
Iqbal memberikan kunci mobil, dengan cepat Naura meraihnya dan langsung kabur tanpa mengucapkan salam.
Naura membanting stir mobil keluar dari area resort. Baru saja Naura keluar dari area resort ia berselisih dengan Dian, asisten Bara.
Naura mengenali Dian sebagai asisten Bara. Dian tak sendiri ia membawa seorang wanita. Mata Naura memicing karena ia mengenal wanita yang duduk disamping Dian. Wanita itu adalah Bella, dokter residence di rumah sakit tempatnya bekerja.
Degg..... jantung Naura mau copot.
Kenapa Dian membawa Bella kesini? Pada acara sangeet Hari? Siapa yang sakit? Naura melihat Bella membawa peralatan medis.
Otak Naura berpikir keras. Jika Dian ada disini berarti ada hubungannya dengan Bara. Naura memutar balik mobilnya mengikuti mobil Dian. Tanpa membuat curiga, Naura mengikuti mereka.
Mobilnya parkir tak jauh dari mobil Dian. Perlahan-lahan ia mengendap-endap mengikuti Dian dan Bella
Dian dan Bella berjalan tergesa-gesa. Mereka harus cepat sampai di paviliun. Bak detektif Naura mengikuti mereka.
"Apa yang terjadi bos?" Dian menatap Bara curiga.
Bara menggigit jarinya merasa bersalah.
"Pergilah ke kamar! Kamu lihat sendiri. Aku tak sengaja melakukannya."
Dian masih tak mengerti arah pembicaraan Bara. Saat ditelpon Bara hanya memintanya datang dan membawa dokter. Jadi ia masih tak mengerti kenapa harus ada dokter disini.
Bara menunjukkan kamar pada Dian dan Bella. Dian meloncat kaget sampai mulutnya menganga. Ia melihat Dila di atas ranjang, wajah pucat tak berdara, baju compang camping, darah berceceran di atas sprei. Dian seperti dejavu, ia pernah di posisi seperti ini lima belas tahun yang lalu. Menjadi korban pemerkosaan pria jahanam itu.
Jangan bilang pelakunya....
Dian menoleh tak percaya pada Bara. Apa benar Bara pelakunya? Antara bergidik ngeri sekaligus takjub.
Ngeri karena Dila diperkosa secara brutal, dibuat tak berdaya dan mengalami pendarahan. Takjub, Bara bisa melakukan hubungan intim dengan istrinya, walau sang istri harus mengalami luka dan berdarah-darah.
"Serius bos?"
"Sudahlah, jangan banyak bertanya. Minta dokter itu mengobati istriku."
Dian memerintahkan Bella melalui gerakan matanya. Dengan cepat Bella segera memeriksa kondisi Dila. Bulu roma Bella merinding melihat keadaan Dila. Dalam hati menyumpahi Bara, suami yang tak tahu aturan dan tak punya otak. Malam pertama ia menghajar sang istri tanpa belas kasihan. Bukan selaput dara Dila yang robek, tapi dinding rahimnya juga robek.
"Pak anda gila?" Bella kelepasan bicara, lupa dengan posisi Bara seorang pejabat daerah.
"Anda bisa membunuh istri anda. Berapa kali ia pingsan?"
"Aku tidak ingat," kata Bara gemetar.
"Kita harus bawa ke rumah sakit. Jika tidak nyawanya dalam bahaya," ujar Bella menjelaskan.
Naura yang mengintip dari pintu kamar, menyelonong masuk. Ia mendorong tubuh Bara kasar hingga membentur dinding.
Bara dan Dian terpekik, berpandangan dalam diam. Bagaimana Naura bisa berada disini?
Dian memicingkan mata, menyadari telah di buntuti.
Naura membulatkan mata melihat wajah Dila pucat, tak berdarah, tubuhnya dingin. Dengan emosi, Naura menendang selangkangan Bara hingga lelaki itu terkapar tak berdaya. Bara meringis kesakitan karena kejantanannya ngilu, sakitnya... tak bisa ia gambarkan dengan kata-kata. Bara benar-benar sakit dan hampir menangis. Jika tak ingat ia seorang lelaki mungkin ia akan merengek dan merintih seperti Dila.
"Kau binatang, beraninya kau menyakiti adikku. Dia istrimu, tapi kau tega menggagahi seperti ini. Suami macam apa kau?" Maki Naura dengan kasar.
"Dokter Naura," panggil Bella.
"Jangan banyak bicara. Bantu aku memberi pertolongan pertama." Emosi, membuat Naura memarahi Bella.
"Baik dokter," balas Bella tergesa-gesa mengeluarkan peralatan medis dari tas.
Naura mengukur tensi darah Dila, tekanan darahnya rendah. Ia memasangkan infus dan lalu membersihkan bercak darah yang sudah mengering di selangkangan Dila.
Naura membungkus tubuh Dila dengan bedcover. Ia melirik Dian.
"Bantu aku bawa Dila ke mobil. Dia harus dibawa ke rumah sakit."
Dian dan Bella bak orang terhipnotis menuruti perintah Naura. Mereka bertiga mengangkat tubuh Dila dan membawanya ke mobil. Dengan tergopoh-gopoh Bara mengikuti mereka.
"Bella ikut aku," titah Naura bak senioritas.
"Baik dokter," ujar Bella mengangguk. Ia segera masuk mobil
Sebelum masuk mobil, Naura mendekati Bara dan Dian. Ia menunjuk Bara.
"Urusan kita belum selesai. Kau hutang penjelasan padaku." Manik mata Naura tajam menatap Bara.
Naura meninggalkan Bara dan Dian. Ia menyetir mobil dengan kecepatan tinggi. Dila harus segera diselamatkan jika tidak nyawanya dalam bahaya.
"Cepat ikuti Naura," titah Bara panik. Terseok-seok Bara naik ke atas mobil Dian. Kejantanannya masih perih akibat tendangan Naura.
"Bos. pelan - pelan." Dian mengingatkan sebelum naik mobil.