Jodoh Tak Pernah Salah

Part 110 ~ Pulang ke Indonesia ( 1 )



Part 110 ~ Pulang ke Indonesia ( 1 )

0Siang hari kota Cairo seakan membara. Matahari berpijar di atas cakrawala. Panasnya matahari seakan-akan membakar makhluk hidup yang diteranginya. Bak lidah api yang menjalar-jalar. Tanah dan abu gurun pasir menambah panas udara semakin tinggi dari waktu ke waktu. Saat cuaca Cairo seperti ini tinggal di dalam rumah memang pilihan tepat. Kondisi seperti ini memang tidak nyaman untuk keluar rumah, apalagi perkiraan cuaca memperkirakan empat puluh derajat celcius. Apa tidak gila? Di Indonesia saja panasnya kurang dari empat puluh derajat, sudah banyak yang mengeluh dan tak tahan untuk keluar rumah. Orang Asia yang tinggal di Cairo dengan cuaca panas seperti kebanyakan mimisan, hidungnya mengeluarkan darah.     

Panasnya kota Cairo tak menyurutkan langkah Fatih untuk keluar rumah. Siang ini Fatih akan bertolak pulang ke Indonesia. Hampir sepuluh tahun lebih ia berada di kota para Nabi, menuntut ilmu, merangkai impian, meraih masa depan dan memulai usaha. Fatih sudah menjelma sebagai pria mapan. Dalam berkuliah ia merintis bisnis perkebunan bawang, sawah dan universitas. Ia dan teman-temannya juga sedang merancang aplikasi belajar untuk pelajar Indonesia agar pembelajaran semakin mudah dan gampang.     

Apa yang diraih Fatih saat ini tak lepas dari hasil usahanya, doa ayah dan ibu dan Dila. Hati Fatih gerimis mengingat Dila. Disaat semua mimpinya terwujud, gadis pujaan hati telah menikah dengan orang lain. Entah nasib tak berpihak padanya atau memang dalam lahul mahfud ia dan Dila tak di takdirkan bersama.     

Sebelum berangkat menuju bandara Fatih menyempatkan diri berpamitan dengan orang tua angkatnya. Abi Usman dan Umi Farida. Selama berada di Cairo pasangan suami istri inilah yang selalu membantu Fatih, menganggapnya seperti anak kandung, merawatnya penuh kasih sayang ketika sakit. Sikap sopan dan santun Fatih membuat kedua orang tua angkatnya sangat menyayanginya. Memang Abi Usman dan Umi Farida tidak memiliki anak laki-laki sehingga kasih sayang mereka tercurah padanya. Anak-anak Abi Usman dan Umi Farida ketiganya perempuan. Mereka sudah menikah dan tinggal di rumah masing-masing.     

Umi Farida menangis haru karena Fatih akan pulang ke Indonesia. Ia masih berat melepaskan kepergian anaknya.     

"Umi jangan menangis," kata Fatih berbicara dalam Bahasa Arab. Tinggal lebih satu dekade di Cairo membuat Bahasa Arabnya sangat fasih dan logat bicaranya seperti orang Arab pada umumnya.     

"Bagaimana tidak sedih kamu pulang hari ini ke Indonesia. Umi kehilangan anak laki-laki Fatih. Umi sedih," kata Umi Farida terisak tangis.     

"Umi jangan sedih, kita pasti akan berjumpa lagi. Ada saatnya aku kembali ke Mesir. Jika Umi berkunjung ke Indonesia aku akan membawa Umi jalan-jalan."     

"Jangan coba menghibur Umi. Kapan Umi akan kesana? Indonesia jauh dari sini. Jaraknya sangat jauh."     

"Dekat kok Umi. Kita naik pesawat bukan jalan kaki," seloroh Fatih menghibur Umi Farida. Wanita tua yang sudah ringkih itu terlihat berat melepaskan kepulangannya ke Indonesia.     

"Aku rindu dengan Indonesia apalagi dengan ayah dan ibu. Mereka juga sudah lama menunggu kepulanganku. Rindu masakan ibu dan belaian tangannya. Aku sudah selesai sekolah disini, saat aku mengabdi pada kampung halaman. Aku juga mendapatkan tawaran dari sebuah universitas islam swasta untuk menjadi rektor. Aku ingin pendidikan islam di Padang bisa semaju kota Cairo. Bismillah Umi."     

"Tawaran yang bagus Fatih. Abi bangga padamu. Pesan Abi jangan lupakan kami yang disini. Jangan lupakan kami, kami juga orang tua kamu," kata Abi Usman.     

Fatih menggenggam tangan Abi Usman dan menciumnya.     

"Sampai kapan pun aku tak akan lupa dengan Abi dan Umi. Kalian juga orang tuaku, tapi yang namanya pertemuan pasti ada perpisahan. Aku pamit pulang Abi, Umi. Jangan sedih kita masih bisa bertemu meski dalam media sosial. Bukankah Umi sudah bisa video call pakai WA?" kelakar Fatih mencairkan suasana.     

"Umi belum sepintar itu menggunakannya," kilah Umi Farida."Kamu masih harus tinggal disini mengajari Umi sampai bisa."     

"Umi. Pasti bisa," kata Fatih memberikan senyum terbaiknya pada Umi Farida.     

"Umi aku permisi sebentar. Aku ingin bicara empat mata dengan Abi, masalah laki-laki," ujar Fatih memberi kode.     

Fatih dan Abi Usman duduk di pojokan rumah. Fatih memberikan sepucuk surat cinta yang diberikan Naima padanya.     

"Ini apa?" Tanya Abi Usman bingung.     

"Ini surat dari Naima."     

"Naima, anak Kyai Abdul Jawa Timur?" Tanya Abi Usman. Ia sangat mengenal Kyai Abdul karena mereka satu kuliah di Al-Azhar.     

"Kenapa memberikannya pada Abi? Apa isinya? Apa surat cinta lagi seperti sebelumnya?"Tebak Abi Usman terkekeh.     

Fatih terkekeh, lucu mengingat jika ia sering mendapatkan surat cinta dari wanita. Harusnya ia memberikan surat cinta pada wanita ini malah kebalikan.     

"Apa katanya?"     

"Abi baca sendiri saja," balas Fatih menyodorkan surat Naima.     

"Tidak usah Abi baca, nanti Abi berasa muda lagi merasa Abi yang menerima surat cinta itu," ujar Abi Usman tergelak tawa.     

"Apa isinya?"     

"Seperti biasa. Naima mencurahkan isi hati dan ingin halal denganku."     

"Naima melamar kamu? Gadis pendiam seperti dia bisa melamar kamu?" Kening Abi Usman berkerut karena tak menyangka gadis sekalem Naima bisa menulis surat cinta pada Fatih. Entah berapa banyak anak Kyai yang melamarnya, tapi semuanya ditolak.     

"Inti dari suratnya begitu Abi. Aku mau minta nasehat pada Abi. Aku harus membalas suratnya atau tidak?"     

"Kamu sendiri punya perasaan tidak pada Naima?" Fatih menggeleng.     

"Saran Abi balas saja surat dari Naima. Memberi jawaban lebih baik daripada kamu diam seperti itu."     

"Tapi aku takut mengecewakan dia setelah membaca surat dariku."     

"Membalasnya lebih baik daripada kamu tidak membalasnya sama sekali. Ia harus diberi jawaban agar ia bisa menentukan nasibnya. Naima sendiri banyak dilamar anak Kyai besar, namun ia menolaknya. Kyai Abdul saja sampai malu karena terus menerus menolak lamaran anak Kyai besar. Berarti Naima menolak banyak lamaran karena ia tertarik padamu?"     

Fatih diam tak menjawab pertanyaan Abi Usman, ia malah bengong bagaimana membalas surat dari Naima. Ia tak mau menyakiti hati Naima karena menolak cintanya.     

Abi Usman menepuk bahu Fatih karena ia melamun.     

"Kamu melamunkan apa?"     

"Tidak ada Abi."     

"Jika tidak ada kenapa kamu diam?"     

"Banyak yang aku pikirkan Abi. Abi bagaimana aku membalas surat Naima? Aku sudah tak sempat menulis surat dan aku sudah tak punya waktu menitipkan surat."     

"Fatih kenapa kamu tiba-tiba tidak bisa berpikir? Tidak perlu pakai surat juga membalasnya. Jaman sudah modern kenapa harus pakai surat. Kamu punya nomor WA Naima tidak?"     

"Ada Abi."     

"Langsung saja balas melalui pesan WA. Kamu tak perlu memikirkan kata-kata indah membalas suratnya dan tak perlu menitip surat lagi. Langsung saja kamu beritahu dia apa jawaban kamu."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.