Jodoh Tak Pernah Salah

Part 115 ~ Bara Pulang



Part 115 ~ Bara Pulang

0"Beraninya kamu bilang ayah egois?" muka Defri memerah menahan amarah.     

"Kami sudah dewasa, tak seharusnya ayah mengatur kami. Uda sudah cukup dewasa untuk menyelesaikan masalahnya. Biarkan uda menyelesaikannya dan jangan ayah desak untuk menceraikan Ria."     

"Tahu apa kamu masalah dewasa? Jika kamu dewasa maka kamu sendiri bisa cari pasangan bukan dijodohkan," balas Defri sengit.     

"Ayah aku bukannya tidak bisa cari sendiri tapi...."     

"Sudahlah kalian jangan bertengkar karena aku," hardik Iqbal muak. Ia mengamuk dan melampiaskan amarahnya. Iqbal bahkan membanting meja.     

"Iqbal kamu berani bicara keras sama ayah….." Dada Defri sesak. Untuk pertama kalinya Iqbal menghardiknya karena Ria. Hatinya sangat terluka.     

"Aku akan membereskan masalah dengan Ria. Jangan pernah mendesakku. Aku akan menyelesaikan masalah rumah tanggaku sendiri. Aku akan menyelesaikan secepatnya. Beri aku waktu. Maafkan aku telah menghardik ayah," kata Iqbal menatap Defri. Setelah itu ia pergi meninggalkan ruang keluarga.     

"Dila," panggil Etek Emi, salah satu ART. Setelah menyaksikan perdebatan keluarga Defri. Etek Emi baru berani memanggil Dila.     

"Iya etek. Ada apa?" tanya Dila menoleh pada Etek Emi. Etek adalah panggilan tante bagi orang Minangkabau.     

"Bara pulang," katanya.     

Kening Dila berkerut. Berani juga si brengsek itu pulang setelah memperkosanya.     

"Suamiku pulang. Permisi," pamit Dila ketus. Ia masih marah pada ayahnya. Ucapan Defri sangat menyakiti hatinya.     

"Ayah. Kenapa bawa-bawa Dila? Dia jadi marah sama ayah," kata Lusi setelah kepergian Dila.     

"Biarkan saja. Kenapa dia ikut-ikutan bela Iqbal."     

"Tapi tak seharusnya ayah membahas masalah dia yang perawan tua. Dia sangat marah. Bunda enggak pernah liat dia marah seperti itu."     

"Biarkan saja."     

"Tidak bisa dibiarkan ayah. Ayah mau semuanya memburuk?"     

"Tentu saja tidak bunda. Ayah hanya ingin yang terbaik untuk keluarga."     

"Ayah ingin yang terbaik, tapi caranya tidak seperti ini ayah. Kita enggak boleh emosi harus dengan kepala dingin. Masalah Iqbal dan Ria tak seharusnya kita memaksa dia untuk menceraikan Ria. Bagaimana pun Ria tetap ibunya anak-anak."     

"Ayah malu bunda," balas Defri memegang dadanya.     

"Malu itu sudah pasti, tapi ayah enggak usah pikirkan omongan orang. Kalo kita dengarkan kata orang hidup kita enggak bakal bahagia. Biarkan mereka berkata apa pun, kita santuy saja. Mereka mentertawai kita karena Allah belum membukakan aib mereka. Kayak mereka tidak punya aib saja."     

"Tapi bunda…."     

"Tapi apa?"     

"Dari dulu ayah tidak suka dengan Ria. Liat gayanya saja ayah tak suka, apalagi dia OKB. Menikah dengan Iqbal membuat dia jumawa. Apalagi liat keluarga dia yang serakah. Jangan bunda pikir ayah tidah tahu jika kedua orang tua dan adik Ria sering datang ke kantor mencari Iqbal meminta uang."     

"Ayah sudah. Jangan emosi, ingat jantung ayah."     

*****     

Dila segera menuju ke kamar ketika Etek Emi mengatakan Bara pulang ke rumah. Emosi Dila sedang berada di atas puncak. Ibarat orang mau melahirkan ini sudah pembukaan ke sepuluh. Sakitnya begitu luar biasa, apalagi perdebatan sengit dengan Defri turut memantik emosinya. Dila menbuka pintu kamar dengan keras terkesan membanting.     

"Pelan-pelan buka pintu," tegur Bara yang hanya menggunakan celana dalam, tidak memakai celan boxer seperti biasanya.     

Dila semakin emosi liat Bara hanya bercelana dalam. Bayangan pemerkosaan malam itu turut menghantuinya. Bagaimana Bara melepaskan semua pakaiannya dan memasukkan miliknya ke milik Dila. Dila Terbayang rasa sakit yang mendera pusat intinya.     

"Pakai bajunya," teriak Dila melengking.     

"Tidak mau. Aku mau mandi. Gerah."     

"KALO MAU MANDI BUKA BAJU DI KAMAR MANDI BUKAN DISINI!!!!"     

"Suka-suka aku. Lagian kenapa malu? Kita suami istri bukan? Bukankah sudah melihat semuanya bahkan sudah merasakan Jojo?" Goda Bara menaik turunkan alisnya.     

Dila mengambil bantal dan menimpuk Bara membabi buta. Melampiaskan kemarahan malam itu dan melampiaskan kemarahan pada Defri. Dila mengeluarkan seluruh tenaga dalamnya. Ia mencakar wajah Bara, kebetulan kukunya panjang dan belum sempat memotong. Satu goresan timbul di pipi kanan Bara. Dila mencakar Bara seperti kucing, tajam dan runcing.     

"Dila sakit," rintih Bara.     

"Ini belum seberapa dengan sakit yang kamu berikan malam itu. Kau nyaris membunuhku malam itu Bara. Kau tidak punya hati dan perasaan. Kau iblis, binatang. Kau bukan memperkosa aku tapi lebih terlihat membunuh aku. Kau mencabik-cabik tubuhku. Gara-gara kamu, aku pingsandan pendarahan. Berjalan pun sakit. Milikku sakit," maki Dila dengan suara serak.     

Bara diam memberi kesempatan pada Dila untuk melampiaskan kemarahan. Wajar saja Dila marah, malam itu Bara memperkosanya membabi buta. Entah keajaiban dunia keberapa hingga Bara bisa konak dan memperkosa Dila. Entah emosi atau apa, Bara bisa melakukan hubungan suami istri bahkan ia ketagihan, memperkosa Dila sampai tiga kali.     

Bara tergelak tawa, ini bukan pemerkosaan. Mereka suami istri, jadi wajar saja jika melakukan hubungan suami istri. Sayangnya pada malam itu ia memaksa Dila padahal sang istri belum siap.     

Dila terus-terusan menghajar Bara hingga menjambak rambut sang suami. Bara jatuh dan Dila menindihnya. Dalam satu gerakan cepat, Dila mencabut bulu kaki Bara.     

"Aw....sakit," pekik Bara melengking. Untung saja kamar Dila kedap suara, jika tidak keluarganya akan datang ke kamar. Bisa jadi Iqbal akan mentertawainya lagi.     

Pekikan Bara membuat Dila bahagia. Ia kembali mencabut bulu kaki Bara. Kebetulan Bara memiliki bulu tangan, kaki dan dada yang tebal seperti Reza Rahadian ( Author senyum-senyum sendiri membayangkan Reza Rahadian dan Raline Shah)     

"Sudah marahnya?" Tanya Bara menatap manik mata Dila.     

Tubuh mereka menempel satu sama lain. Bara dibawah dan Dila diatas. Tangan Dila bahkan leluasa untuk menjelajahi dada bidang Bara yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Tak ada jarak, namun anehnya kejantanan Bara tak bereaksi. Biasa saja. Kening Bara berkerut, ia sangka dengan kejadian malam itu akan memberikan efek pada seksualitasnya. Malam itu ia sangat menikmati tubuh Dila, entah kenapa keadaan tiba- tiba berubah. Apakah yang percintaan mereka malam itu karena emosi sesaat? Takut Dila akan membongkar identitasnya?     

"Sudah marahnya?" Tanya Bara sekali lagi karena Dila melamun.     

Dila bangkit dari tubuh Bara. Ia gemetar dan tubuhnya panas. Kenapa ia bisa melamum ketika menindih tubuh Bara. Bulu roma Dila merinding.     

"Aku harus bersuci dengan air tujuh muara," cibir Dila menuju kamar mandi.     

Bara menghentikan langkah Dila, ia menarik tubuh Dila hingga tubuh mereka beradu. Jantung Dila berdebar-debar, takut akan perlakuan Bara malam itu.     

"Apa maksud perkataan kamu?" Sorot mata Bara tajam menatap sang istri.     

"Jika kamu tidak menjawab pertanyaanku, aku tak segan melepaskan pakaian kamu," ancam Bara bak vonis di telinga Dila.     

"Jangan mengancamku Bara. Kalau sekedar mengancamku buka baju buka saja. Lagian kejantananmu tidak bangun. Kalau kau normal ketika aku menindihmu sesuatu dibawah sana sudah bangkit," bisik Dila tajam di telinga Bara.     

"Kau!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.