Jodoh Tak Pernah Salah

Part 118 ~ Pindah Rumah



Part 118 ~ Pindah Rumah

0Suasana sarapan kali ini terasa sangat kaku. Pertengkaran antara Dila, Iqbal, dan Defri masih terasa. Hawa panas menyelimuti keluarga besar Defri. Semuanya diam tak mengeluarkan suara. Dila dan Bara juga terlihat canggung. Suami istri itu tak bertegur sapa sejak kejadian semalam. Dila merasa malu tak berani menatap sang suami.     

Naura sibuk mengurus anak-anak. Attar dan Allea sudah besar bisa makan sendiri sementara si kecil Aina masih perlu dibantu untuk sarapan.     

"Mama, mami mana?" tanya Aina sendu menanyakan keberadaan Ria.     

Naura menatap Iqbal. Mereka berdiskusi melalui bahasa kalbu. Iqbal menggelengkan kepalanya.     

"Adek kangen sama mami     

"Iya ma. Adek kangen mami. Mami mana?"     

"Mami lagi kerja ya nak. Cari duit buat Aina."     

"Bukannya ada papa?" tanya Aina polos."Kata mami, papa pulang malam cari duit buat adek, abang dan kakak. Kenapa mami kerja?"     

"Mami mau cari tambahan duit buat adek," bujuk Naura lagi.     

"Enggak perlu mama. Tabungan adek ada. Kalo mami mau, ambil aja," kata Aina lagi.     

Seluruh anggota keluarga tertawa mendengar celotehan Aina. Antara lucu dan sedih melihat si kecil Aina.     

"Nanti adek akan bertemu dengan mami ya nak. Sekarang makan dulu ya," bujuk Naura.     

Aina bersedekap, melipat kedua tangannya.     

"Tidak mau mama."     

"Samo om Bara mau dek?" bujuk Bara mendekati Aina.     

"Mau," kata Aina salah tingkah. Dasar anak centil, jika diganggu laki-laki langsung nurut.     

"Sini makananan Aina, Uni," kata Bara pada Naura.     

Dengan berat hati Naura memberikan makanan Aina pada Bara. Ia cemberut tak suka melihat Bara.     

Bara menyuapi Aina makan. Gadis kecil itu memakan makanannya dengan lahap. Tak butuh waktu lama, makanan dalam piring habis dilahap si kecil Aina.     

"Wah Bara sudah cocok jadi ayah ini," kata Lusi tersenyum sumringah.     

"Iya benar. Sudah cocok sekali." Defri ikut berkomentar.     

"Dila gimana? Udah ada tanda-tanda mau isi?" tanya Lusi membuat Dila dan Naura tersedak.     

Sementara Iqbal senyum-senyum sendiri mengingat sang adik baru melakukan malam pertama. Ajaib gitu bisa langsung hamil?     

"Doakan saja ya bunda," balas Bara memasang senyum manis. Ia menggenggam tangan Dila.     

Dila jengah dan mempelototi Bara. Beraninya Bara menyentuhnya di depan keluarga.     

"Dila sudah berumur menikah daripada telat punya anak mending program bayi tabung saja. Kalo dah berumur kesuburan berkurang," kata Defri keceplosan, tak sadar memancing amarah Dila.     

"Maksud ayah apa? Dila mandul?" Dila menggebrak meja. Emosinya berada di puncak. Pagi-pagi Defri sudah memancing keributan.     

"Dila sudah," kata Naura menyabarkan Dila.     

"Dari kemaren ayah selalu memojokkan Dila. Masalah apa tapi Dila dibawa-bawa. Sekarang seakan-akan ayah bilang Dila mandul. Dila tahu nikah udah telat dan dicap perawan tua, tapi tak seharusnya ayah mengatakan ini semua sama. Enggak tahu apa Dila sakit hati. Siapa juga yang mau jadi perawan tua dan siapa juga enggak mau punya anak, tapi itu rejeki. Kita enggak tahu rejeki kita."     

"Dila sudah nak," bujuk Lusi. Ia mengerti bagaimana perasaan Dila.     

"Dila enggak bisa diam bunda. Ayah udah keterlaluan. Dila enggak bisa diam dan sabar. Sudah cukup ayah mendikte kehidupan Dila. Dila sudah dewasa dan menentukan pilihan sendiri."     

"Bara tolong ajari istri kamu. Malah menikah dia tidak punya akhlak," kata Defri geram. Dila semakin berani melawan padanya.     

"Ayah jangan bilang aku tidak bisa mendidik istri. Dila bicara seperti itu karena ada pemicunya ayah. Aku tahu istriku orang yang sopan dan patuh," kata Bara membela sang istri.     

Naura memicingkan mata karena Bara membela Dila. Kesambet apa Bara hingga membela istrinya mati-matian? Membela Dila atau menjaga harga dirinya karena tak bisa mendidik istri.     

"Kalian semua durhaka ya. Berani melawan ayah?" suara bariton Defri membahana di ruang makan.     

Naura mengode para pengasuh untuk membawa anak-anak dari meja makan. Naura tak ingin anak-anak melihat pertengkaran kakek dan tante mereka.     

���Dila tidak akan melawan jika ayah tak memancing," balas Dila menangis sendu.     

"Ayah boleh kecewa sama Ria, tapi tak seharusnya melampiaskannya pada Dila."     

"Dila. Kau," kata Defri murka. Ia melayangkan tangan untuk menampar Dila, tapi tangannya ditahan oleh Bara.     

"Jangan pernah memukul istriku, ayah."     

"Lepaskan tanganmu. Dia anakku," geram Defri.     

"Dila memang anak ayah, tapi sejak melakukan akad nikah dia menjadi tanggung jawabku. Tak akan aku biarkan siapa pun menyakitinya termasuk ayah," ucap Bara tegas.     

"Bara kau," sengit Defri ketus.     

"Apa yang aku katakan benar. Dila sudah menjadi tanggung jawabku. Tanya saja pada Iqbal jika aku sudah melakukan hal benar."     

"Menantu kurang ajar," maki Defri geram.     

"Beraninya kamu mengajari aku? Aku sudah makan asam garam kehidupan dan kamu mengajari aku kewajiban dan tanggung jawab suami."     

Bara menggenggam erat tangan Dila. Sang istri pasrah saja. Dila menangis mendengar perkataan sang ayah.     

"Aku sudah membelikan Dila rumah di danau teduh sebagai hadiah pernikahan. Sepertinya kondisi rumah ini sudah tak kondusif. Walau adat di Minangkabau, laki-laki tinggal di rumah keluarga perempuan, aku memutuskan membawa istriku tinggal di rumah kami. Dila istriku, dia harus ikut kemana pun aku pergi. Aku akan membawa istriku pergi dari rumah ini," kata Bara tegas. Dila mendelik melihat sikap Bara.     

"Bara, jangan keluar dari rumah ini. Dila anak perempuan kami satu-satunya," kata Lusi memohon, ia menangis tak rela jika Dila keluar dari rumah.     

"Tidak bisa bunda. Aku sudah putuskan membawa Dila keluar dari rumah."     

"Bara," kata Iqbal memanggil Bara.     

"Jangan ikut campur Iqbal. Adikmu adalah istriku. Aku lebih berhak atas dia daripada kalian. Dia sudah tanggung jawabku."     

"Harus kepala dingin Bara," kata Iqbal mengingatkan.     

"Daripada istriku menangis mendengar kata-kata ayah lebih baik dia menjauh. Aku tak akan melarang Dila kemari. Aku tidak merebut dia dari kalian, tapi lebih baik kami tinggal di rumah sendiri. Kami ingin mandiri. Jaman sudah modern, tak perlu terlalu mengikuti adat. Aku tidak melanggar ajaran agama."     

"Tapi Bara," kata Dila menenangkan Bara.     

"Diam Dila. Kamu harus mendengarkan aku. Aku imam kamu," kata Bara tegas menatap lekat sang istri.     

"Jangan membantah ucapanku! Kamu telat menikah makanya ayah bilang kamu tidak subur, secara tidak langsung ayahmu juga mengatakan aku tidak subur karena aku juga telat menikah."     

"Bara bukan begitu maksud ayah." Lusi menengahi.     

"Silakan pergi dari rumah ini," usir Defri tak terima.     

"Ayah," kata Naura, Lusi dan Iqbal. Mereka menyayangkan sikap keras Defri. Ia berdebat sang menantu. Mereka tidak tahu saja siapa Bara.     

"Tanpa ayah usir kami akan angkat kaki dari rumah ini," kata Bara merangkul Dila meninggalkan keluarganya.     

"Dila jangan pergi," kata Lusi menangis pilu.     

"Bunda jangan khawatir. Bunda tetap bisa menemui Dila. Aku tak akan menghalangi kalian bertemu," ujar Bara memberi pengertian.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.