Jodoh Tak Pernah Salah

Part 123 ~ Rencana Bara ( 1 )



Part 123 ~ Rencana Bara ( 1 )

3"Orang tua dan adik uni digerebek polisi dan mereka sudah ditahan di lapas. Ayah malu karena rekan bisnis ayah mencibirnya karena memiliki besan penjudi. Ayah meminta uda Iqbal menceraikan uni."     

"Tidak. Aku tidak mau bercerai dengan Iqbal. Aku tidak ingin berpisah dengan Iqbal. Aku mencintainya."     

"Siapkan mental uni. Ayah mendesak uda Iqbal menceraikan uni, tapi uda belum ambil keputusan apa-apa, makanya uda belum menengok uni kesini. Aku juga sudah mencabut laporan atas kasus pemukulan dan ancaman pembunuhan uni Naura. Semoga uni bisa belajar dari semua kejadian ini."     

Dada Ria sesak, Defri meminta Iqbal untuk menceraikannya. Orang tua dan adiknya sudah di penjara. Jika ia diceraikan Iqbal bagaimana dengan nasibnya? Iqbal pasti akan mengambil hak asuh anak dan ia akan tinggal sendiri. Ria tak bisa membayangkan nasibnya jika Iqbal menceraikannya. Ia tak bekerja siapa yang akan memberinya tempat tinggal dan makan. Ria bukan Naura yang bisa mandiri tanpa uang dari Iqbal. Sementara ia menggantungkan hidupnya pada Iqbal. Ria menangis terisak-isak tak mau diceraikan Iqbal.     

"Semoga uda memberi keputusan yang terbaik. Aku sudah mengingatkan uda jangan mengambil keputusan dalam keadaan emosi. Semoga uda mendengar ucapanku. Luruskan lagi niat uni menikah dengan uda. Harta tidak akan dibawa mati dan uda kecewa ternyata uni seorang penjudi. Uda kemarin naik darah karena menerima tagihan uni bermain judi online."     

Ria semakin pucat dan wajahnya pias. Selama ini Ria menghabiskan uang Iqbal untuk berjudi online. Jika rajin ke rumah orang tuanya kemungkinan ketahuannya sangat besar. Selama ini Ria membohongi Iqbal. Ia mengatakan uang yang Iqbal berikan untuk membantu panti asuhan. Uang yang ia berikan pada panti asuhan hanya sepuluh persen dari uang yang diberikan Iqbal. Sisanya ia gunakan untuk berjudi online.     

"Uda sangat kecewa dan tertipu. Uni menipunya. Di depannya uni bersikap seperti istri yang baik-baik tapi ternyata di belakang kelakuan uni memalukan."     

"Aku salah Dila, aku memang salah. Aku berjanji akan berubah dan tak melakukannya lagi."     

"Jangan katakan itu padaku uni. Katakan pada uda Iqbal. Aku pamit dan sebentar lagi polisi akan melepaskan uni."     

"Aku harus kemana Dila?"     

"Pulang saja ke rumah dan temui uda."     

"Aku akan pulang ke rumah temui Iqbal dan anak-anak. Aku sudah kangen mereka," kata Ria benar-benar menyesal.     

"Sejak kapan orang tuaku masuk penjara?"     

"Sudah seminggu yang lalu kasus mereka segera dilimpahan ke pengadilan dan diadili. Mereka sudah berada di lapas."     

"Terima kasih infonya."     

"Uni aku pamit dulu."     

*****     

Dila kembali ke rumah di danau teduh. Para ART sudah menyambut kedatangannya.     

"Mau disiapkan makan apa buk?" Tanya Tuti pada Dila.     

"Bapak ada pesan pulang cepat apa tidak?"     

"Tidak ada buk."     

"Aku mandi dulu mbak. Siapkan saja apa yang ingin mbak masak. Aku enggak punya request khusus. Aku bebas mau makan apa saja."     

"Saya bingung atuh buk. Ibuk suruh bikin apa aja nanti saya bikinkan."     

"Tuna ada? Cakalang?"     

"Ada semua buk."     

"Bikinkan saja aku oseng-oseng cakalang. Mbak bisa bikin?"     

"Bisa buk."     

"Ya udah bikin itu saja mbak Tuti. Sekalian bikinkan aku mie rebus. Aku sudah lama tidak memakannya."     

"Baik buk."     

"Oke mbak. Aku mandi dulu," kata Dila berpamitan.     

Tiga orang ART berdecak kagum dengan Dila. Tak seperti istri pengusaha dan ketua DPRD yang sombong dan banyak gaya.     

"Keliatan baik ya istri Bapak," kata Diah.     

"Benar. Pembawaannya teduh dan tenang. Cantik dan anggun. Dengar cerita dari teteh Dian, buk Dila kerja di bank dan seorang pemimpin di kantor cabang," ujar Via tersenyum manis.     

"Mereka cocok dan berasal dari kalangan yang sama. Anehnya kenapa buk Dila kerja di bank dan enggak jadi pengusaha saja seperti keluarganya?" Tuti berpikir keras.     

"Bisa jadi buk Dila enggak punya passion disana. Maunya jadi banker."     

"Bisa jadi kali ya."     

"Aku masak makanan buk Dila dulu ya,�� kata Diah pamit dan bergegas ke dapur. Urusan masak memasak di serahkan kepadanya.     

Diah menyiapkan oseng-oseng cakalang. Untung saja di rumah besar ini punya stok makanan yang lengkap. Walau Bara jarang ke rumah ini, tetapi persediaan makanan di rumah ini tidak boleh kosong.     

Ketiga ART tinggal di paviliun belakang rumah. Ketika sudah malam mereka kembali ke paviliun. Selama ini rumah ini kosong, para ART-lah yang menghuni rumah ini. Rumah danau teduh ini hasil dari rancangan Bara. Dia merancang rumah ini bak anak sendiri. Semua printilan rumah ini dibuat sedetail mungkin dan harus mirip dengan rumah di Eropa sana.     

Para ART bersyukur bos mereka akhirnya menikah dan membawa istrinya ke rumah ini. Rumah ini memang butuh sentuhan sang nyonya agar bercahaya dan berwarna.     

Dila datang ke meja makan dan makanannya sudah tersedia. Wangi mie rebus begitu menggugah selera. Perut Dila keroncongan minta diisi. Diah, Tuti dan Via berdiri di dekat Dila, mereka bersiaga jangan-jangan Dila membutuhkan hal lain.     

"Kalian kenapa berdiri saja?" Dila menatap ketiganya.     

"Maksud ibuk?" Tuti bertanya.     

"Jangan berdiri. Ayo kalian makan bersamaku."     

"Tidak buk," tolak ketiganya.     

"Kami bisa makan di dapur," tolak Tuti halus.     

"Jadi aku makan sendiri makanan sebanyak ini?" Dila menatap horror makanan di atas meja.     

"Aku tidak bisa menghabiskannya sendiri, ini terlalu banyak. Kalian duduklah temani aku makan. Aku biasa makan ramai-ramai bersama keluargaku. Makan sendiri canggung rasanya."     

"Tapi buk," kata Tuti lagi.     

"Tidak ada tapi- tapian. Kalian bagian dari keluargaku sekarang. Cepat duduk!" Dila memasang wajah horror.     

Terpaksa Diah, Via dan Tuti duduk di meja makan bersama nyonya mereka.     

"Ini mie rebus yang paling enak yang pernah aku makan," kata Dila makan dengan lahap.     

"Masa sich buk?" Diah tersenyum senang karena masakannya dipuji enak.     

"Serius ini enak," kata Dila asik melahap mie rebus dan cakalang.     

"Kalian bisa tidak panggil aku enggak ibuk? Aku ketuaan rasanya."     

"Enggak enak buk. Trus kami harus panggil apa?" tanya Diah lagi.     

"Panggil Dila aja."     

"Enggak mau ah buk," tolak ketiganya.     

"Pokoknya aku tidak mau dipanggil ibuk."     

"Lantas dipanggil apa?"     

"Panggil mbak boleh?" Via memberi usul.     

"Gapapa daripada kalian panggil ibuk. Ketuaan. Kalian sudah lama kerja disini?"     

"Sudah buk. Sejak rumah ini dibangun kami udah kerja disini. Pak Bara cuma sesekali pulang ke rumah ini. Kalo kemalaman dari luar kota biasanya pulang kesini enggak ke rumah orang tuanya." Tuti mulai bercerita.     

"Kok buk lagi?" protes Dila.     

"Maaf mbak Dila belum kebiasa," ujar Tuti menutup mulutnya.     

"Dian sering kesini bersama Bara?"     

"Jarang juga buk. Teteh kesini memantau keadaan rumah saja, tapi jarang bareng Bapak. Sering datang sendiri. Teteh sangat memperhatikan rumah ini karena dia tahu Bapak mencintai rumah ini bak anak sendiri."     

Dila manggut-manggut."Jadi begitu. Perutku kenyang sekali. Terima kasih masakannya enak."     

"Sama-sama mbak. Sudah tugas kami," balas Diah.     

"Ngomong-ngomong disini ada tukang pijat on call ga?" tanya Dila.     

"Kenapa mbak?"     

"Aku mau pijit. Badanku sakit semua."     

"Kebetulan aku bisa pijat mbak. Aku saja," kata Via menawarkan diri.     

"Benarkah?" Dila tersenyum sumringah. "Aku senang sekali."     

"Tapi nanti ya mbak pijitnya. Mbak Dila habis makan enggak boleh pijit dulu. Dua jam lagi kita pijit ya mbak." Via menimpali.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.