Part 132 ~ Pertemuan Tak Terduga ( 3 )
Part 132 ~ Pertemuan Tak Terduga ( 3 )
"Aku sudah berusaha menerima kenyataan ini, tapi aku terlanjur mencintai kamu. Ini sulit untukku Dila. Perjuanganku begitu berat. Aku harus meninggalkan kedua orang tua dan adikku hanya untuk mencapai impianku. Memantaskan diri untukmu. Setelah beberapa tahun tujuanku akan sampai kamu malah dinikahkan dengan orang lain. Tidak mudah untukku untukmenerima kenyataan kamu telah menikah. Penyesalan selalu datang belakangan. Andai Aku tidak bodoh, andai aku tidak pengecut dan berani memproklamirkan hubungan kita pada keluargamu, mungkin ceritanya tidak akan seperti ini," kata Fatih meratapi nasib.
"Sudah abang. Dalam Lauhul Mahfudz kamu tidak ditakdirkan untukku. Jodoh, kematian dan kelahiran sudah dituliskan di Lauhul Mahfudz. Mungkin kau dan aku aku hanya ditakdirkan untuk menjadi adik kakak."
"Dila dari matamu aku bisa melihat kalau tidak bahagia menikah dengan Aldebaran."
"Kenapa abang tahu tentang suamiku?" Tanya Dila kaget.
"Setelah aku tahu dari ayah dan ibu jika kamu telah menikah, aku mencari tahu tentang suamimu melalui temanku. Dia mencari tahu tentang suami kamu. Aldebaran seorang pengusaha dan calon Legislatif dan dia bahkan terpilih menjadi anggota DPRD. Kabarnya dia juga terpilih menjadi ketua DPRD. Selamat Dila kamu mendapatkan suami yang selevel denganmu."
"Fatih sudah," kata Dila memanggil Fatih tanpa embel-embel abang.
"Jangan pernah membahas level denganku. Aku tidak pernah melihat orang dari kekayaannya dan kamu tahu itu dengan pasti. Semua tidak mudah untukku, ini juga tidak mudah untukmu. Kita sama-sama tersakiti, tetapi mau bagaimana lagi? Sekarang aku adalah istri dari seorang pria dan aku pun harus bisa menjaga sikapku. Walaupun aku tidak mencintainya, tapi aku harus menghargai sucinya ikatan pernikahan. Aku menikah di hadapan Tuhan. Apa yang telah disatukan oleh Tuhan tidak mungkin aku mengolok-ngoloknya."
"Betapa beruntungnya suami kamu Dila. Walaupun kamu tidak mencintainya tapi kamu menghargainya."
"Tentu aku harus menghargainya. Ini juga tidak mudah untukku, tapi aku tidak ingin mempermainkan pernikahan. Aku tidak ingin dilaknat oleh Tuhan."
"Berapa lama kamu di Australia?"
" Mungkin aku akan lama berada di sana. Aku sengaja mengambil cuti selama tiga bulan."
"Kenapa begitu lama dan bagaimana dengan suamimu? Apa yang telah terjadi Dila?" Fatih diliputi kekhawatiran.
"Apa kau baik-baik saja?" tanyanya sekali lagi karena Dila tak memberi jawaban.
"Secara fisik aku memang baik-baik saja, tapi tidak dengan hatiku."
"Dila ini sama-sama tidak mudah untuk kita. Apakah baik meninggalkan suamimu dalam jangka waktu lama?"
"Aku pergi untuk menata hati dan perasaanku."
"Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu Dila."
"Aku juga berharap abang juga bahagia dan menemukan pasangan yang lebih baik dariku."
"Entahlah Dila. Memikirkannya saja aku tidak bisa. Entah aku yang terlalu mencintaimu atau aku sudah menjadi budak cinta. Mungkin sulit untuk melupakan kamu karena kamulah yang pertama untukku. Kau cinta pertama dalam hidupku. Perempuan yang selama ini aku anggap adik ternyata aku mencintainya."
"Cukup abang. Jangan katakana lagi," titah Dila menutup kedua telinganya. Ungkapan perasaan Fatih menambah rasa bersalah dihatinya dan semakin sulit untuknya melupakan Fatih.
"Aku tahu kau mencintaiku dan sangat mencintaiku. Memperjuangkan cinta kita tapi, sayangnya takdir tak mengharuskan kita untuk bersama. Maafkan aku Fatih, aku telah menyakitimu, aku telah mengecewakanmu. Setidaknya aku turut bahagia kamu telah mencapai impianmu dan sukses. Kamu akan menjadi guru besar dan juga seorang ulama. Melihat dirimu yang sekarang jujur aku minder, merasa tak pantas."
"Kita sama-sama memantaskan diri Dila."
"Oh ya, apa saja kegiatan abang selama di Jakarta?" Dila mengalihkan topik pembicaraan.
"Aku sibuk mengisi kuliah umum di beberapa universitas. Aku berkeliling Jawa dan kemudian aku memberi kajian."
"Kajian?" Kening Dila berkerut."Kajian dimana?'
"Kebetulan nanti habis ba'da isya aku akan mengisi kajian musyawarah."
"Kajian musyawarah yang diikuti para selebriti yang berhijrah?"
"Benar sekali. Kebetulan mereka mengundang kami untuk datang mengisi kajian disana. Tidak hanya mengisi kajian kami juga berbagi pengalaman bagaimana mendapatkan beasiswa S1 sampai S3 di Mesir.
"Hebat. Aku bangga padamu."
"Aku juga bangga denganmu Dila. Kamu berada di puncak kariermu. Walau bisa aku bilang kerja di bank riba, tapi jangan marah ya."
"Kami kerja di bank selalu dikatakan riba. Sekarang sudut pandang kita sajalah yang memandangnya seperti apa. Bank adalah jantung perekonomian suatu negara. Belum ada kegiatan ekonomi di dunia ini yang tidak ada unsur ribanya. Aku bekerja di bank karena aku seorang ahli ekonomi. Aku tidak punya bakat berbisnis seperti uda dan ayah."
"Bisnis juga ekonomi Dila, Ahli ekonomi pasti juga ahli dalam berbisnis. Dila kamu sangat pintar, matematikamu selalu nilainya paling tinggi di sekolah. Bahkan rumus-rumus yang kamu gunakan saat itu rumus seorang master."
"Abang terlalu berlebihan. Aku tidak sehebat yang abang kira."
"Oh ya Dila nanti malam kamu mau ikut kajian? Sekalian buat menenangkan hatimu." Fatih menawarkan Dila untuk datang di kajiannya.
"Pergi?" tanya Dila dan Fatih mengangguk.
"Pergi berdua dengan abang?" Dila tertawa terbahak-bahak.
"Ada yang lucu?" Fatih kebingungan.
"Seorang ustad datang berduaan dengan seorang perempuan yang bukan mahramnya? Pasti akan terjadi kehebohan."
"Dila kamu benar-benar menyindirku? Sekarang kau adalah adikku."
"Ya , adik dapat besar," sarkas Dila. "Aku rasanya tidak Pede nanti ikut kajian."
"Kenapa?"
"Ya, aku tidak mau mendengar orang-orang bilang ustad Fatih datang membawa wanita yang merupakan calon istrinya."
"Tidak mungkin mereka akan mengatakan itu. Aku akan mengatakan pada mereka kalau kamu adalah adik sepupuku."
"Wowww ustad Fatih sekarang sudah pintar berbohong," kata Dila tertawa terbahak-bahak.
Lagi-lagi Dila mengoloknya. Jika tak ingat Dila sudah jadi istri orang mungkin Fatih sudah mencubit hidung Dila sampai merah. Ia biasa mencubit hidung Dila ketika gadis itu mengusilinya.
"Ya sedikit berbohong. Lagian tujuannya baik. Aku tidak memaksamu, kalau mau ikut, ya ikut. Kalau tidak juga tidak apa- apa. Kapan kamu berangkat ke Australia?"
"Aku berangkat berapa besok malam."
"Jangan lupa sampaikan salamku kepada Mira. Bilang aku kangen dengan MITING alias Mira Keriting," kata Fatih mengulas senyum.
Dila tak dapat menyembunyikan tawanya. Andai Mira ada disini pasti dia sudah mengamuk dan memukul Fatih seperti dulu. Dila ingat ketika Fatih menertawai Mira lalu Mira marah. Dia memukul Fatih menggunakan sapu. Mengingat kejadian kejadian itu membuat keduanya tertawa gterbahak-bahak. Kenakalan dan keisengan Fatih membuat Mira marah. Fatih semakin suka mengerjai Mira karena ia gampang marah. Fatih dan Mira ibarat anjing dan kucing ketika kecil.
Dila menerima ajakan Fatih ikut kajian. Disana ia dikenalkan sebagai adik sepupu Fatih. Ia sangat cantik dalam balutan pakaian muslimah dan berjilbab. Fatih sempat tertegun melihat kecantikan Dila. Namun ia segera istigfar, tak boleh memandang wanita yang bukan mahramnya