Jodoh Tak Pernah Salah

Part 148 ~ Kekesalan Dila



Part 148 ~ Kekesalan Dila

1Dengan raut wajah malas dan tak semangat Dila mengekori Bara yang memimpin jalan menuju ke mobil. Dengan sok romantic Bara membukakan pintu untuk sang istri.     

"Silakan masuk sayang." Bara mengulas senyum. Ia bahagia bisa bertemu dengan sang istri dan kerinduannya terobati.     

Dengan ekspresi kesal Dila masuk ke dalam mobil. Bara menutup rapat pintu mobil setelah itu ia naik mobil dan membawa Dila berkeliling kota Perth. Satu jam berlalu, namun tak ada pembicaraan di antara mereka. Dila yang awalnya sabar menunggu agar Bara mulai bicara lama-lama kesal juga.     

"Katanya kau mau bicara? Cepatlah bicara! Jangan membuang-buang waktuku." Ujar Dila habis kesabaran. Ia tidak betah bersama Bara dan merasa harus mengakhirinya.     

Bara tak menjawab pertanyaan Dila. Laki-laki itu fokus mengendarai mobil.     

"Kita mau kemana sebenarnya? Jika tujuan kamu tidak jelas. Kita berhenti saja disini dan bicara."     

Bara melirik Dila yang mengakhiri omelannya. Istrinya tak lagi lembut seperti biasa, cenderung pemarah dan ketus, tapi entah bagaimana ia suka dengan perubahan Dila. Dimarahi Dila membuat rindunya terobati. Mungkin sikap ketus Dila yang membuatnya rindu.     

"Kamu semakin cantik jika marah sayang dan aku suka," kata Bara memuji.     

Dila memutar bola matanya malas. Dalam situasi seperti ini Bara masih sempat-sempatnya menggombalinya. Dila pun tak percaya dengan ucapan Bara, sekali gay tetap saja menyukai batangan bukan apem.     

"Kita sudah sampai." Bara memarkirkan kendaraannya di sebuah taman bunga. Kebetulan mereka datang bunga sedang bermekaran.     

"Aku sengaja ajak kamu berkeliling dulu tanpa bicara agar kita semakin lama bersama."     

"Peduli setan!" umpat Dila kesal. Ia membuang muka dan tak mau memandang wajah menyebalkan sang suami. Sekali lagi ia meratapi nasibnya kenapa bersuamikan orang seperti Bara.     

Bukannya marah mendengar Dila mengumpat, Bara malah tersenyum. Ketika marah Dila sangat menggemaskan. Bara mendekati Dila dan menyentuk pundaknya.     

"Mari kita duduk." Bara menunjuk kursi taman.     

"Tidak. Aku berdiri saja," kata Dila berpangku tangan.     

" Nanti kamu capek. Kamu pakai high heels. Akan sakit jika berdiri lama."     

"Tidak usah pedulikan aku. Langsung saja ke inti pembicaraannya."     

Bara memaksa Dila untuk duduk. Ia menarik tangan Dila hingga terduduk di pangkuannya. Dila memukul dada Bara karena telah berani memaksanya.     

"Jangan memaksaku Aldebaran. Aku tidak suka dipaksa."     

"Dan aku suka memaksa," jawab Bara dengan senyum mengembang.     

Lama-lama Dila jengah melihat kelakuan Bara. Ini bukan Bara yang ia kenal. Kemana sikap arogan dan pemarahnya? Tumben kali ini banyak mengalah?     

Dila jengah dan pergi memasuki area taman meninggalkan Bara. Ia semakin eneg dengan sikap sok manis laki-laki itu. Satu hal yang ia inginkan saat ini bercerai dari Bara. Sikap Bara yang seolah lupa akan problema besar yang sedang mereka alami.     

Bara menyusul Dila, mendekati Dila memberikan tangan untuk sebuah genggaman yang nyaman, namun sayangnya Dila menepisnya. Ia lebih berjalan sendirian tanpa tahu tujuan. Dila ingin pembicaraan ini cepat berakhir dan ia tak bertemu dengan Bara.     

"Kamu tinggal dimana selama di Perth?" tanya Bara memulai percakapan.     

"Buat apa kamu tahu? Kau ingin bicara masalah kita atau mewawancaraiku. Mengapa pergi ke Perth? Tinggal dimana? Apa kamu sehat? Apa kamu baik-baik saja? Apa itu yang ingin kau tanyakan?" Balas Dila ketus.     

Bara tersenyum mendengar celotehan Dila. Benar-benar menggemaskan dan ia ingin mengecup bibir Dila memberikan ketenangan.     

"Kenapa kau tersenyum? Ada yang lucu?"     

"Sayang jangan marah-marah nanti kau darah tinggi," sarkas Bara mengejek Dila.     

"Aku ingatkan sekali lagi. Jangan panggil aku sayang. Telingaku hampir tuli mendengar kau memanggilku sayang." Dila memegang kedua telinganya.     

"Aku suka memanggilmu sayang."     

"Brengsek," umpat Dila kesal. Ia melengos dan semakin dongkol dengan ulah Bara yang terus menerus menggodanya, mempermainkan perasaannya dan membuang-buang waktunya.     

"Sekarang kamu memanggilku brengsek besok panggilan itu akan berubah menjadi sayang," kata Bara memuji sekaligus menyindir Dila.     

"Kau menyebalkan," cebik Dila ingin meremas wajah Bara.     

"Terserah kau mau bilang aku menyebalkan aku tidak apa-apa. Asal aku bersamamu."     

"Jangan menggodaku terus Aldebaran. Cepatlah bicara. Aku beri kau kesempatan untuk bicara jika kau tak segera bicara aku akan pergi dari sini."     

"Memangnya kau tahu kita berada dimana?" goda Bara sekali lagi. Ia yakin jika Dila belum begitu hafal kota Perth.     

"Walau pun aku tidak tahu aku bisa share lokasi pada Zyan dan minta dia menjemputku," balas Dila sekenanya.     

Bara terbakar cemburu ketika Dila menyebut nama Zyan di depannya. Bara mengerucutkan bibirnya kesal. Ia menunduk memandangi kakinya yang sedari tadi bergerak gelisah, menjejak tanah dengan kesal.     

"Istri yang baik tidak akan kabur dari suaminya dan jalan dengan pria lain. Apalagi bule tidak jelas seperti dia."     

"Suami yang baik tidak akan berhubungan dengan sesama pria," balas Dila menohok.     

"Dila," panggil Bara ragu-ragu.     

"Apa?" kata Dila dengan suara cempreng.     

"Aku dan Egi sudah berakhir dan kami sudah tidak punya hubungan."     

"Apa peduliku? Mau kamu putus atau tidak bukan urusanku."     

"Harus peduli dong. Aku ini suamimu."     

"Tapi aku akan membatalkan pernikahan kita di pengadilan."     

"Aku akan gunakan kekuasaanku sebagai ketua DPRD menggugurkan gugatan kamu."     

"Kau." Geram Dila menghentakkan kakinya ke tanah. Ia berjalan memasuki taman lebih jauh. Bara dengan setia mengekori dari belakang.     

"Bisakah kita duduk untuk membicarakan tentang kita?"     

"Aku tidak mau. Aku muak melihat wajahmu," balas Dila membuang muka.     

"Ada apa dengan wajahku?" Bara mengelus wajahnya.     

" Tampan seperti Reza Rahadian kok dibilang muak?" Tanya Bara narsis.     

"Kau benar-benar membuat aku naik darah Bara," pekik Dila. Suaranya serak.     

"Dila," panggil Bara lembut.     

"Hmmmm" jawab Dila malas.     

Dila dan Bara berkeliling taman menikmati bunga bermekaran dan lampu-lampu taman yang indah. Taka da pembicaraan di antara mereka. Sibuk dengan pikiran dan ego masing-masing. Bara berhenti di sebuah kafe dan membelikan minuman untuk Dila.     

"Minumlah, pasti kamu haus karena habis marah-marah." Bara mengulurkan sebotol minuman kaleng.     

Dila menatap minuman Bara, sebenarnya ia haus tapi ia ragu untuk meminumnya. Ia tak mau kejadian di danau teduh terjadi lagi. Bara menaruh obat perangsang dalam minumannya dan mereka berakhir di ranjang.     

"Tenanglah. Minuman ini aman tidak aku beri obat," kata Bara mengerti akan keraguan Dila.     

Dila mengambil minuman dari tangan Bara dan membukanya.     

"Kau minum duluan." Dila menyodori balik minuman pada Bara."Jika kau baik-baik saja baru aku percaya jika minuman itu tidak dicampur obat.     

Bara tergelak tawa. Benar juga kata pepatah sekali berbohong seumur hidup orang tak akan percaya. Istrinya sendiri meragukan dirinya. Bara mengambil minuman dari Dila dan meminumnya. Bara meminumnya dan meninggalkannya setengah. Bara memberikan sisa minuman pada Dila.     

Dila mengambil minuman dari tangan Bara dan meminumnya.     

"Minuman itu bertambah manis karena bekas bibirku menempel di botolnya." Kata Bara menggoda.     

Dila tersedak mendengar rayuan Bara dan menyemburkan minuman itu. Apesnya minuman dari mulut Dila menyembur ke wajah Bara.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.