Jodoh Tak Pernah Salah

Part 162 ~ Honeymoon Kedua ( 11 )



Part 162 ~ Honeymoon Kedua ( 11 )

1 Dian membawa kedua penguntit ke sebuah tempat sepi. Tepatnya sebuah rumah tua yang sudah tak terpakai. Tempat itu terkenal dengan keangkerannya dan sejarah kelamnya. Rumah itu bekas tempat pembantaian sebuah keluarga. Sejak pembantaian itu pihak keluarga enggan menghuni rumah tersebut. Dian mengikat keduanya di sebuah kursi. Mereka berdua masih pingsan.     

Dian membersihkan luka si pria botak dan membalut lukanya di kepalanya dengan perban. Totokan pada si pria berambut cepak dilepaskan juga, tapi hanya totokan pada suaranya. Totokan pada tubuh si pria cepak tak lepas sehingga tubuhnya masih kaku tak bisa bergerak.     

"Katakan siapa yang membayar kalian menghabisi aku?" Dian berteriak di telinga si cepak yang sudah sadar.     

"Lepasin gue," pekik si cepak pada Dian.     

"Aku akan lepasin kalian jika bisa diajak kerja sama."     

"Lo ajak gue negosiasi?"     

"Bukan. Tepatnya aku mengancam kalian sekarang,��� kata Dian memainkan belati ke wajah si cepak.     

"A-apa yang akan lo lakukan?" tanya si cepak ketakutan.     

"Siapa nama kamu?"     

"Anto," jawab si cepak ketakutan dan gemetar.     

"Nama teman kamu?" Dian menatap si botak yang masih pingsan. Luka di kepalanya cukup serius, mungkin si botak gegar otak.     

"Randi."     

"Baiklah Anto. Aku mau kerja sama kalian. Siapa yang mengirimkan kalian kesini untuk memburuku?" Dian bermain-main dengan belati seakan siap untuk menikam Anto dan Randi.     

Anto menggelengkan kepala tak mau menjawab pertanyaan Dian. Ia harus menjaga rahasia klien dan tak boleh membocorkan identitas klien.     

"Jika kamu enggak mau bicara mungkin tempat ini akan jadi kuburan untuk kalian berdua." Kata Dian memberi ancaman.     

"Apa maksud lo?"     

"Jika kalian tak mau membocorkan siapa bos kalian. Aku akan menghabisi kalian dan menguburkan kalian disini. Good bye untuk keluarga kalian. Keluarga kalian tak akan pernah bertemu dengan kalian dan tak tahu kuburan kalian."     

"Kau benar-benar psikopat. Pembunuh berdarah dingin," maki Anto dengan amarah.     

"Situasi akan berbalik jika aku tidak meringkus kalian. Bukankah kalian berniat membunuhku?" Balas Dian menohok.     

Anto diam seribu bahasa tak bicara. Tebakan Dian benar, jika mereka berhasil meringkus Dian maka mereka akan membunuh Dian sesuai perintah.     

"Kenapa kau diam saja? Lebih sayang bos daripada nyawa sendiri," sarkas Dian menekankan belati di leher Anto hingga berdarah.     

"Aku bisa saja menyembelih kamu seperti sapi jika kau tidak bicara?"     

Anto meringis kesakitan menahan pedih di lehernya. Wanita yang ia hadapi bukan wanita sembarangan. Anto menggolongkan Dian sebagai psikopat. Ia melihat Dian memperlihatkan kekosongan emosi, tanpa ada rasa takut atau cemas. Menggorok lehernya bak menggorok seekor binatang.     

"Kau salah mencari lawan Anto. Sebelum terjun ke lapangan memburu mangsa. Kau harus kenali dulu buruan kamu seperti apa. Sekarang keadaan berbalik bukan?"     

Dian meremas pipi Anto seraya memainkan belati di pipi Anto seperti menulis.     

"Kau susah diajak kerja sama. Kamu buka mulut saja demi keselamatan kalian. Aku hanya memberi kesempatan satu kali Anto. Seorang Dian tak pernah memberi orang kesempatan kedua." Kata Dian mengintimidasi.     

"Tidak. Gue tidak akan mengatakan siapa yang membayar gue." Anto masih bersikeras tak mau mengatakan siapa orang yang membayarnya.     

"Kau benar-benar membuat aku marah," ujar Dian menusukkan belati ke paha kanan Anto.     

"Awwwwwww…sakit," teriak Anto memilukan. Siapa pun yang mendengarkan teriakan Anto pasti akan merinding. Jeritan Anto menyayat hati dan membuat iba siapa yang mendengarnya. Dasar segar mengucur dari paha Anto.     

"Masih tidak mau bilang? Atau kau mau melihat aku memutilasi tubuh temanmu?" Ancam Dian melihat Randi yang masih tergolek lemas.     

"Jangan…..jangan..." Kata Anto gemetar.     

"Gue tidak sanggup melihat lo membunuh teman gue."     

"Bicaralah sebelum kesabaran aku habis kesabaran. Jika tidak….." Dian melayangkan belati ke arah Anto.     

Anto menggelengkan kepala, matanya memerah karena ketakutan. Tubuhnya kaku tak bisa bergerak karena ditotok Dian. Andai Dian melepaskan totokannya ia akan menghabisi Dian. Anto bukanlah pembunuh bayaran kelas teri. Ia sudah malang melintang membunuh orang. Baru kali ini ia dibuat tak berdaya oleh korbannya. Lebih memalukan korbannya wanita. Harga diri sebagai pembunuh bayaran kelas kakap ternoda karena ia berhasil dilumpuhkan Dian.     

"Baiklah gue bicara." Anto menyerah dan buka suara. Tak mau mati konyol di negara orang. Ia terpaksa buka mulut.     

"Siapa yang bayar kalian?"     

"Mas Agung."     

Dian berpikir sejenak mengingat Agung. Siapa Agung kenapa membayar orang untuk membunuhnya? Setahu Dian ia tak memiliki musuh bernama Agung. Dian mencekik leher Anto.     

"Jangan membohongi aku," teriak Dian dengan suara parau.     

"Gue udah jujur. Yang bayar gue bernama Agung," balas Anto berteriak.     

Dering ponsel Anto mengalihkan perhatian mereka. Dian mengambil ponsel dari saku celana Anto. Nama penelpon yang tertera di layar memang bernama Agung.     

"Kau angkat telponnya, jika kau berbuat macam-macam. Belati ini akan menggorok lehermu. Tanyakan kenapa dia ingin membunuhku!" Dian memencet tombol 'ya' pada layar ponsel dan mengarahkan belati ke leher Anto. Tak lupa Dian mengaktifkan speaker ponsel.     

"Kalian sudah berhasil menemukan Dian?" Tanya Agung menggebu-gebu.     

"Be-belum," jawab Anto terbata-bata. "Kami masih mematai dia."     

"Kalian harus cepat membunuhnya."     

"Se-be-lum kami membunuhnya kenapa anda ingin aku membunuhnya? Aku melihat dia seperti gadis lugu tak bersalah."     

"Kau jangan banyak tanya. Bunuh dia dan sisa bayarannya akan aku transfer!"     

"Kami tidak tega membunuh wanita cantik seperti dia."     

"Anto jangan buat aku naik darah. Jika kalian tak segera membunuh dia nasibku berada di ujung tanduk." Balas Agung berteriak.     

"Kenapa?" Dian merebut ponsel dan bicara pada Agung.     

"Kau siapa?" Agung curiga.     

"Aku orang yang ingin kau bunuh. Aku telah menciduk orang-orang bayaranmu. Kau salah mencari lawan Agung. Aku tidak punya masalah denganmu. Jangan salahkan aku jika aku sudah sampai di Indonesia aku memburu kamu, ayah, ibu , istri atau anakmu. Aku tak segan melampiaskan sakit hatiku pada keluargamu," kata Dian mengintimidasi.     

"Katakan siapa yang meminta kamu menghabisi aku?" Tanya Dian dingin dengan wajah gelap."Jika tak bicara siap-siap saja aku menghabisi mereka berdua dan menyeret kamu dalam pembunuhan Anto dan Randi.     

"Kau benar-benar wanita ular," kata Agung memaki Dian.     

"Bicara atau mereka mati? Aku hanya memberi dua pilihan Agung. Jika kau bicara aku akan membunuh mereka setelah itu aku akan membunuhmu."     

"Kau tidak akan bisa melakukannya."     

"Jangan meremehkan aku Agung. Anto dan Randi adalah pembunuh bayaran kelas kakap. Mereka saja bisa aku ciduk apalagi tikus kecil seperti kamu. Dalam satu jam aku bisa mendapatkan informasi tentang kamu. Besoknya aku bisa membunuh kamu."     

Agung gemetar dan ponselnya terlepas dari tangannya. Dian berteriak memanggil nama Agung namun tak ada jawaban.     

Agung mengambil ponsel yang terjatuh di lantai dan melanjutkan percakapannya.     

"Siapa yang menyuruhmu?!"     

"Bosku."     

"Siapa bos kamu?"     

"Clara."     

"Sudah aku duga wanita ular itu." Dian mematikan ponsel.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.