Jodoh Tak Pernah Salah

Part 189 ~ Kesepakatan Bara dan Dila



Part 189 ~ Kesepakatan Bara dan Dila

1 "Saat kejadian itu aku berusia dua puluh tahun dan berkuliah di ITB. Kami dulu tinggal di Bandung. Adik si pelaku yang bernama Sisil menyukaiku namun aku mengolok-olok Sisil. Dia mengirimi aku surat cinta, karena tak menyukainya aku malah mengolok Sisil dan memberi tahu teman-teman. Pada masa itu belum ada istilah bully seperti sekarang. Sisil di bully teman-teman karena mengatakan cinta padaku. Masa itu masih langka perempuan lempar bola, dianggap wanita murahan jika katakan cinta duluan sama cowok. Sisil tak tahan mendapatkan bullyan dan cibiran dari teman-teman satu kampus. Sisil bunuh diri karena perbuatanku."     

"Apa?" Dada Dila terasa sesak mendengar cerita Bara.     

"Ya Tuhan Bara." Dila menyesali perbuatan suaminya.     

"Ketika itu aku masih belum dewasa dan pemikiranku layaknya anak remaja. Aku tak tahu jika perbuatanku membuat efek buruk bagi Sisil, padahal ketika itu aku bergurau. Kamu tahulah bagaimana kenakalan remaja. Jika aku tahu akan mendapatkan balasan yang begitu buruk hingga menyeret Dian, aku tak akan melakukannya Dila. Aku menyesal setelah semuanya terjadi."     

"Penyesalan selalu datang belakangan Bara. Jika diawal pendaftaran namanya. Aku kasihan pada Dian."     

"Kasian kenapa?"     

"Apa yang dia alami sangat berat. Jika peristiwa itu terjadi padaku belum tentu aku bisa bangkit seperti Dian."     

"Bisa kok, buktinya kamu enggak trauma ketika aku perkosa tiga kali malam itu," goda Bara tersenyum genit seraya mengerlingkan mata.     

Dila meninju perut sang suami karena kesal.     

"Jelas berbeda kondisinya Bara. Kamu melakukan itu status kita sudah suami istri. Beda dengan Dian." Gigi Dila bergemeletuk. Ingin sekali menjitak kepala Bara namun ia tak mau jadi istri yang durhaka.     

"Sini aku perkosa lagi." Bara mendekatkan diri pada Dila berusaha mengangkat baju Dila.     

"Jangan bercanda Bara. Kamu belum selesai cerita." Dila menimpuk wajah Bara dengan buah apel.     

"Ini KDRT namanya," kata Bara merajuk manja. "Jika kamu KDRT terus aku akan bikin undang-undang perlindungan suami."     

"Coba saja cetuskan undang-undang itu. Cepatlah cerita Bara aku masih penasaran!"     

"Satu kecupan dulu." Bara mengerling nakal.     

"Sekali lagi kamu mesum aku tendang dari sini." Ancam Dila memasang wajah beringas.     

"Baiklah aku akan cerita." Bara mengalah tak mau mendapat amukan dari istrinya.     

"Bara sebelumnya aku ingin mengatakan jika Dian....."     

"Jika Dian apa?"     

"Dian...." Bibir Dila berat untuk mengatakannya.     

"Dian mencintaiku," sambung Bara.     

"Kamu tahu jika Dian mencintaimu?"     

"Tahu bahkan dia yang bilang sendiri padaku."     

"Lalu kenapa kamu tidak menerima cintanya?"     

"Kamu lupa jika aku gay? Punya kekasih bernama Egi."     

"Sekarang kamu sudah normal."     

"Belum sepenuhnya normal Dila aku masih terombang-ambing. Jika ada gay yang menggodaku saat ini, mungkin aku masih tergoda. Aku sudah menyetubuhi kamu waktu itu dan Egi mengirimi aku video gay bercinta. Aku masih terangsang dan horny. Aku masih butuh bimbingan kamu Kep Dila," panggil Dila dengan sebutannya di kantor.     

Kep adalah singkatan dari kepala atau seorang pimpinan. Apa pun jabatan di kantor Dila akan di panggil kep kecuali pimpinan yang sudah tua baru dipanggil Bapak atau Ibu. Jika anggota dan pimpinan sebaya biasanya memanggil kep untuk menghormati.     

"Iya Bapak ketua DPRD Sumbar," ledek Dila tak kalah sengit.     

Bara dan Dila tertawa terbahak-bahak. Mereka menyadari sikapnya bak anak-anak remaja alias anak alay.     

"Bara sebelumnya aku harus jujur padamu."     

"Jujur kenapa?"     

"Aku bisa membantu kamu kembali ke kodrat dan melayani kamu seperti istri sesungguhnya tapi kamu tidak bisa memiliki hatiku," kata Dila hati-hati.     

"Aku pun juga belum bisa mengatakan jika aku mencintaimu Dila," balas Bara dengan wajah menunduk. "Hubungan kita terjadi karena perjodohan. Kita hanya menjalani apa yang telah takdir tuliskan untuk kita. Aku pun tidak tahu perasaanku padamu. Jika sayang aku menyayangimu sama seperti aku menyayangi Dian."     

"Aku paham dan aku tidak akan marah. Aku tidak bisa memberikan kamu harapan palsu. Aku belum bisa memberikan hatiku padamu. Aku ingin membuat kesepakatan denganmu."     

"Kesepakatan apa?"     

"Kamu dan aku tidak saling mencintai tapi kita sudah menikah. Aku disini sebagai istri kamu hanya untuk membimbing kamu kembali ke kodrat. Setelah kamu menjadi pria normal bisakah kamu melepaskan aku?" Pinta Dila memelas.     

"Apa?" Mata Bara berkaca-kaca, kecewa dengan permintaan Dila.     

"Aku disini mencoba menerima kamu apa adanya. Dengan masa lalumu yang begitu buruk. Aku berdamai karena ingin kamu cepat kembali ke kodrat. Aku pun layak untuk bahagia Bara. Aku pun layak mencintai orang lain."     

"Apakah kamu akan kembali pada Fatih?"     

"Mimpi jika aku kembali padanya. Orang seperti dia sudah tak pantas untukku. Level Fatih adalah wanita-wanita sholehah bukan wanita sepertiku. Aku masih banyak kekurangan contohnya saja aku belum bisa mengenakan hijab walau ibadahku tidak pernah bolong."     

"Lantas kenapa ingin berpisah denganku ketika aku benar-benar normal?"     

"Kamu juga tak mencintaiku, aku pun juga tak mencintai kamu. Kita berdua layak untuk bahagia dengan menemukan cinta masing-masing. Kamu bisa kembali pada Dian, karena dia sangat tulus mencintaimu. Dian wanita hebat yang merelakan lelaki yang dicintainya kencan dengan laki-laki lain dan bahkan menikah dengan wanita lain."     

"Aku sudah menganggap Dian seperti adikku sendiri.��     

"Lebih baik dicintai daripada mencintai Bara. Apakah kau bisa berjanji?"     

"Berjanji apa?" Bara tidak mudeng dengan permintaan Dila karena begitu takut kehilangan. Namun Bara tak juga menyadari perasaan yang ia rasakan pada Dila.     

Dila menggenggam erat tangan Bara dan menatapnya dengan penuh harapan.     

"Berjanjilah akan melepaskan aku ketika kamu sudah normal dan dekat pada Tuhan."     

"Dila aku belum bisa..." Bara keberatan.     

"Jika kamu tidak mau berjanji maka aku tidak akan mau membimbing kamu kembali ke kodrat." Dila mengancam balik.     

Merasa tak punya pilihan Bara menerimanya, " Namun aku ada syarat."     

"Syaratnya apa?"     

"Besok kamu harus pulang denganku ke Padang."     

"Apa?"     

"Pulang atau tidak sama sekali." Bara balik mengancam Dila.     

"Baiklah." Dila menyerah.     

Dila mengangguk-anggukkan kepala. Dia mencoba memahami maksud dari Bara. Dila tahu Bara orang yang tak bisa ditekan. Walau sifat pemaksanya sedikit demi sedikit mulai hilang, namun jika Bara emosi sikap kasar dan pemaksanya akan muncul lagi. Dila pun mengalah untuk memenangkan kesepakatannya dengan Bara.     

Dila berjanji pada dirinya sendiri akan menjadi istri yang baik selama membimbing Bara. Akan jadi istri penurut yang mematuhi suami. Ia tak akan memberontak selama Bara tak melenceng dan menyakitinya.     

Tak mudah bagi Bara untuk menyetujui kesepakatan Dila, namun jika ia tak mau mengiyakan permintaan sang istri, takutnya Dila akan kabur meninggalkan dirinya lagi.     

"Bara sebelum aku pulang, aku ingin ke rumah Mira berpamitan dan mengambil barang-barangku."     

"Baiklah kita akan pergi kesana."     

Sore harinya dokter datang melakukan visit. Melihat luka Dila tak serius dokter mengijinkannya pulang. Malam itu Dila dan Bara pergi ke rumah Mira dan bahkan malam itu mereka tidur disana.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.