Jodoh Tak Pernah Salah

Part 193 ~ Tangisan Baradila



Part 193 ~ Tangisan Baradila

0"Kecelakaan yang dialami Zyan membuatnya hilang ingatan. Zyan tidak ingat jika Vani telah meninggal dunia bersama anak mereka," kata Tuan Smith berkaca-kaca menceritakan masa lalu Zyan pada Bara, Dian, Mira dan Mark.     

Tuan Smith mendekati Bara dan menggenggam tangannya, "Maafkan anakku Aldebaran telah melukai istrimu. Dia menganggap Dila adalah Vani, kekasihnya yang lama menghilang. Kami tidak sanggup menceritakan kenyataannya pada Zyan, takut penyakitnya kumat lagi. Aku akui jika istrimu dan Vani sangat mirip. Perbedaan mereka hanya di tahi lalat, warna mata dan warna rambut."     

"Mungkin ini sudah takdir istriku Tuan," jawab Bara pasrah. Baginya yang terpenting keselamatan Dila. Keduanya sedang ditangani oleh dokter.     

Tuan Smith memelas, rasa bersalah mendominasinya. Gara-gara perbuatan Zyan, Dila mengalami kecelakaan dan tak bisa kembali ke Indonesia hari ini.     

"Sebagai orang tuanya Zyan aku meminta maaf Aldebaran. Anakku berusaha menculik istrimu." Tuan Smith berlutut pada Bara.     

"Tuan apa yang anda lakukan?" Bara merunduk agar posisinya sejajar dengan Tuan Smith. Tak etis jika Tuan Smith berlutut padanya.     

"Tuan tidak perlu seperti ini. Asal istriku selamat, aku akan memaafkan anakku."     

Senyum terbit di wajahg Tuan Smith, "Aldebaran terima kasih. Terima kasih telah memaafkan Zyan.     

"Berapa lama lagi dokter memeriksa istriku. Ini sudah tiga jam lebih tapi dokter belum memberikan keterangan," kata Bara diliputi rasa takut dan cemas. Tanpa disadari ia menangis. Berharap sang istri segera sembuh dan memarahinya.     

"Bos." Dian memberikan tisu pada Bara. Ia tahu jika Bara sangat takut kehilangan Dila. Cinta pada sang istri telah tumbuh dengan subur walau ia tak menyadarinya.     

"Terima kasih Dian." Bara menghapus air matanya.     

Dokter keluar dari ruangan perawatan bersama seorang perawat.     

"Keluarga Fadila Elvarette," panggil seorang perawat.     

Bara mendekati dokter dan perawat diikuti yang lainnya. Senyum mengembang di wajahnya. Semoga Dila baik-baik saja.     

"Ya, aku suaminya," jawab Bara.     

Dokter pun berkata, "Tuan anda harus menanda tangani persetujuan operasi dan kuretase."     

"Ku-kuretase. Maksudnya?" Bara kebingungan.     

"Kuretase artinya kami harus mengeluarkan bayi anda dan membersihkan rahim istri anda."     

Deg!!! Bara terhuyung ke belakang. Ia tak tahu jika Dila sedang mengandung anaknya bahkan Dila tak pernah memberi tahu. Ia telah kehilangan anak sebelum sempat memilikinya. Padahal Bara sangat mengharapkan anak untuk mempertahankan pernikahan mereka. Kini harapan untuk memilikinya telah pupus.     

Bara tersenyum ironi. Mira menepuk pundak Bara memberikan kekuatan. Mira dapat melihat jika Bara amat terpukul kehilangan bayinya. Dian pun ikut bersedih melihat keadaan sang bos.     

"Apa tidak ada cara lain untuk menyelamatkan istri dan anakku?" Bara menatap dokter penuh pengharapan.     

"Mohon maaf Tuan. Kami tidak bisa menyelamatkan bayi anda," kata dokter prihatin. "Jika dipertahankan janinnya tidak akan berkembang dan akan membahayakan kesehatan ibunya jika tidak cepat ditangani."     

"Jika boleh tahu berapa usia kehamilan istriku?"     

"Baru tujuh minggu," jawab dokter.     

Bara menangis pilu. Mengusap wajahnya kasar. Bayinya masih kecil dan mereka telah kehilangan. Lutut Bara lemas tak kuat menghadapi kenyataan. Ia bagaikan orang lemah dan tak berdaya menghadapi kenyataan pahit ini.     

Perawat memberikan surat persetujuan operasi untuk di tanda tangani Bara. Dengan tangan gemetar Bara menandatanganinya. Dokter pun undur diri dan mempersiapkan operasi kuretase untuk Dila.     

"Bara maafkan anakku." Tangis Nyonya Smith pecah mengetahui Bara dan Dila kehilangan anak mereka.     

Zyan sudah dua kali menghilangkan nyawa seorang anak. Pertama anaknya sendiri kedua anak Bara. Tuan dan Nyonya Smith semakin merasa bersalah. Tangisan seorang ayah kehilangan anaknya membuat keduanya merasa sesak, tak bisa bernapas.     

"Permintaan maaf anda tidak akan bisa mengembalikan anakku Nyonya. Aku kehilangan dia sebelum aku sempat memilikinya. Aku tahu memilikinya setelah aku kehilangannya. Tak ada yang lebih pedih dari pada ini Nyonya. Entah apa yang dirasakan istriku ketika dia tahu telah keguguran."     

Semua yang ada di rumah sakit ikut menangis merasakan kesedihan yang dirasakan Bara. Tak ada yang lebih memilukan kehilangan anak yang sangat dinantikan. Bagi keluarga Bara, anak ini merupakan cucu pertama yang sangat di idamkan papa dan mama Bara.     

Bara pergi ke kamar mandi. Ia menangis terisak-isak disana. Bara tak mau memperlihatkan kelemahannya di depan orang lain. Bara sangat mengharapkan anak itu. Setiap bercinta dengan Dila, ia berharap benih yang telah ditabur menjadi seorang bayi, tumbuh dan berkembang dalam Rahim Dila.     

Harapannya sudah kandas bayi itu tidak sempat lahir ke dunia. Zyan telah memupuskan harapannya. Andai Zyan tak membawa Dila pagi itu, andai Bara tak pergi pagi itu, mungkin Dila tak akan pergi dengan Zyan. Kecelakaan itu tak akan terjadi. Mereka akan pulang ke Padang dan Dila tak akan keguguran. Dalam waktu sembilan bulan mereka akan menggendong dan melihat wajah si bayi.     

Bara menangis sekencang-kencangnya melepaskan sesak di dadanya. Mark menyusul Bara ke kamar mandi. Mark ikut menangis melihat kondisi Bara yang sangat down. Sebagai seorang ayah Mark memahami apa yang ia rasakan. Entah apa yang ia lakukan jika ada di posisi Bara saat ini.     

"Nak kenapa kamu harus pergi secepat ini? Papa bahkan belum sempat melihat wajahmu, tapi kamu sudah pergi meninggalkan kami," ratap Bara mengguyur kepalanya dengan air.     

"Apa yang harus papa katakan pada mama jika dia menanyakan keberadaan kamu. Papa enggak bisa jawab nak. Papa sangat kehilangan kamu, apalagi mama. Entah apa yang terjadi dengan mama jika dia sadar nanti. Ya Tuhan kenapa sakit sekali...."     

Bara kehilangan semangat dan gairah hidup. Ia harus menguatkan dirinya untuk menyampaikan berita buruk pada Dila. Bara tahu walau Dila tak mencintainya namun Dila mencintai anak mereka. Bara mengumpulkan keberanian untuk mengatakan kebenaran tentang anak mereka pada Dila.     

******     

Bara duduk di tepi ranjang sambil menggenggam tangan Dila. Sudah dua hari berlalu namun sang istri belum sadarkan diri. Kondisi Zyan sangat kritis. Dokter memberikan perawatan intensif padanya.     

Bara berdoa siang dan malam, mendoakan Dila cepat sadar dan mereka bisa kembali ke kota Padang. Keluarga mereka telah mengetahui peristiwa yang dialami Dila. Defri sedikit melunak mengetahui kondisi mereka. Defri bahkan meminta mereka kembali tinggal di rumah jika sudah balik dari Perth. Bara pun mengiyakan permintaan Defri. Ia memanfaatkan moment ini untuk memperbaiki hubungan mereka yang telah memburuk.     

Senyum terkembang di wajah Bara ketika melihat Dila membuka mata. Dila berusaha untuk duduk. Bara membantu sang istri untuk duduk.     

"Bagaimana keadaan anak kita Bara? Apa dia baik-baik saja?" Dila langsung menanyakan kondisi anaknya pada sang suami.     

Bara miris melihat keadaan sang istri. Dila mengelus perutnya yang masih rata seolah-olah masih ada anak mereka disana. Aura keibuan Dila muncul.     

"Kamu belum sehat Dila. Lebih naik istirahat," balas Bara mengalihkan topik pembicaraan.     

"Bara jawab pertanyaanku. Jangan menghindar. Aku tahu jika aku sedang hamil. Ketika kecelakaan itu terjadi dan aku melihat darah di selangkanganku. Aku baru sadar jika aku sedang hamil. Jangan bohong padaku. Bagaimana keadaan anakku? Dia baik-baik saja bukan?"     

Bara tak kuasa membendung air matanya. Dila masih berharap jika anak mereka selamat dari kecelakaan itu.     

Ya Tuhan bagaimana aku menjelaskannya? Batin Bara bergejolak.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.