Part 225 ~ Tangisan Dian ( 2 )
Part 225 ~ Tangisan Dian ( 2 )
"Ibu." Dian mendelik kesal. Matanya menyiratkan kemarahan.
"Sudahlah Dian. Tak usah ditutupi lagi." Rahman membela Asti.
"Ini sebenarnya aib di keluarga kami, tapi demi kebaikan Alvin kami akan cerita." Rahman mengambil napas lalu mulai bercerita.
"Selama ini Dian sangat membenci Alvin. Dian selalu marah tanpa sebab. Kami juga sering melihat dia menangis diam-diam menerima perlakuan Dian. Dia tidak pernah berusaha melawan atau membalas kata-kata Dian. Kami memberikan pengertian pada Alvin jika tetehnya gampang marah dan emosian. Jika teteh marah enggak boleh masukin dalam hati anggap saja angin lalu. Teteh sayang kok sama Alvin buktinya teteh yang biayai sekolah dan keperluan Alvin. Mungkin teteh capek kerja atau bagaimana. Selalu kami berikan pengertian seperti itu sama Alvin. Setelah itu dia tersenyum dan ceria lagi."
"Itu kamuflase saja Pak. Dia hanya pura-pura bahagia demi ayah dan ibu. Selama ini Alvin memendam rasa sakit dan kecewanya melalui tulisan dan gambar. Untung saja Alvin melampiaskan kekecewaannya dengan hal yang positif jika tidak dia akan jadi anak yang anti sosial dan bisa cenderung psikopat jika Dian terus-terusan bersikap seperti itu." Fatih menatap tajam pada Dian.
Dian tercengang dan menundukkan kepalanya tak berani menatap Fatih. Dian tak menyangka jika sikap berdampak buruk pada psikis Alvin. Psikopat? Tidak. Alvin tidak boleh jadi psikopat
"Alvin tumbuh menjadi pribadi yang mudah stres dan kurang bahagia. Ia pun cenderung lebih tertutup kepada orang lain. Ini disebabkan karena kurangnya kasih sayang, bedanya perlakuam dan perhatian dari Dian. Selama ini Alvin berkecil hati mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Bukan tidak mungkin jika pada akhirnya Alvin akan mengalami salah pergaulan jika terus-terusan menerima sikap tak bersahabat dari Dian."
"Ketidak harmonisan dalam keluarga memberikan pengaruh yang sangat besar pada anak. Anak stres, anak akan bersikap agresif dan kasar. Sudah menjadi sifat alami anak untuk meniru apa yang dilakukan orang tuanya. Oleh karena itu, selalu memberikan contoh yang baik dan hindari kekerasan di dalam rumah. Kondisi keluarga yang tidak harmonis akan membuat anak cenderung bersikap agresif dan kasar kepada orang lain. Bahkan, ia tak segan memukul siapa saja yang tak disukainya tanpa alasan yang jelas. Anak juga akan mudah emosi dalam menghadapi segala permasalahan nantinya."
"Anak akan lebih pendiam dan menjadi antisosial. Berada di dalam kondisi keluarga yang tidak harmonis menjadi beban tersendiri bagi anak. Pastinya, ia tidak ingin orang lain mengetahui bagaimana keadaan keluarganya. Inilah yang membuat anak jadi lebih pendiam dan cenderung antisosial. Ia tidak ingin bergaul dengan siapa pun dan lebih memilih menyendiri."
"Anak kehilangan figur teladan. Ia pun akan berpikir bahwa tidak ada orang dewasa yang bisa dipercaya dan dicontoh. Jika dibiarkan, anak akan merasa kesepian dan rentan terserang depresi. Anak akan kehilangan rasa percaya diri. Rasa percaya diri yang kuat pada diri anak timbul karena dukungan dari kedua orang tuanya. Adanya motivasi dan pujian dari ibu, ayah, kakaknya akan membuat anak lebih bersemangat untuk menjalani segala aktivitasnya. Sebaliknya, anak yang berada di lingkungan keluarga yang tidak harmonis akan kehilangan motivasi dan semangatnya. Tak mengherankan jika ia akan tumbuh menjadi anak yang pasif dan tidak percaya diri."
"Pendidikan anak akan terganggu. Anak yang mengalami stres tidak akan pernah bertumbuh dan berkembang dengan sempurna. Termasuk dari segi akademis atau pendidikannya. Ini disebabkan karena adanya perubahan kondisi dan gaya hidupnya. Hilangnya semangat akan membuat anak malas beraktivitas dan cenderung bertingkah semaunya. Ia akan merasa pendidikan tak lagi menjadi hal yang penting. Dampak terakhir keluarga tidak harmonis anak akan berisiko memiliki masalah mental ketika dewasa. Anak yang melihat kedua orang tuanya bertengkar berisiko memiliki masalah mental ketika ia beranjak dewasa. Bahkan, pada kasus perceraian yang tergolong ekstrem, bukan tidak mungkin anak yang berada dalam lingkungan keluarga tak harmonis memiliki risiko tinggi untuk lebih cepat mengakhiri hidup."
"Dari apa yang saya jelaskan dampak ketidak harmonisan tadi adakah yang sudah melihatnya pada Alvin?" Fatih menatap Asti, Rahman dan Dian.
"Sudah ustad," jawab Asti dengan mata berkaca-kaca. "Alvin jadi pribadi yang tertutup dan tak mau berbagi kesedihannya dengan keluarga. Saya pribadi sering melihat dia menangis diam-diam tapi ketika ditanya dia bilang tidak apa-apa dan terlihat tersenyum."
"Jika Alvin seperti ini terus tidak baik untuknya dewasa nanti. Boleh jadi dia pintar, berprestasi dan akademis bagus tapi tidak ada gunanya jika mentalnya sakit. Yang saya takutkan Alvin akan jadi anti sosial tak memiliki rasa empati cenderung meniru apa yang Dian lakukan selama ini." Fatih menatap Dian dengan sorot mata yang tajam.
"Untuk diketahui Alvin pribadi yang anti sosial. Dia suka menyendiri dan tak punya teman. Tidak suka didekati. Jika ada teman yang mengganggunya Alvin tak segan untuk memukul temannya." Kyai Saleh menambahkan.
"Kenapa kami tidak diberi tahu ustad jika Alvin memukul temannya?" Rahman tak bisa menyembunyikan rasa kaget. Satu persatu fakta tentang Alvin mulai terungkap.
"Alvin menangis dan bersujud pada saya agar tidak memberi tahu keluarganya. Alasannya dia takut membuat ayah dan ibu kecewa dan membuat kakaknya marah. Saat itu Alvin terlihat seperti orang depresi. Makanya kami menyarankan pada Alvin jika marah lampiaskan dengan menulis atau memukul samsak meluapkan emosinya. Berkat ustad Fatih kami jadi tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Alvin." Kyai Saleh memberi penjelasan.
"Tapi Alvin selama ini berprestasi ustad. Nilainya bagus-bagus." Rahman masih sanksi dengan apa yang ia dengar.
"Iya ustad. Nilainya bagus-bagus." Dian mengambil smartphone memperlihatkan foto nilai Alvin yang dikirim Dona via pesan WA. Dian masih menyimpannya. Dan memperlihat pada Fatih dan Kyai Saleh.
Kyai Saleh bangkit dan berjalan ke depan komputer. Kyai Saleh memprintkan nilai Alvin yang ia download melalui portal pesantren.
Dian, Asti dan Rahman kaget ternyata nilai Alvin tidak bagus. Berbeda dengan foto yang ada di smartphone Dian. Nilainya jelek. Nilainya paling tinggi hanya tujuh dan lainnya di dominasi angka enam dan lima.
"Fix. Alvin memalsukan nilainya," kata Fatih berkomentar.
"Tapi kenapa kami tidak dipanggil Kyai jika nilai Alvin bermasalah?" Asti kebingungan.
"Kami sudah memanggil keluarganya dan kakaknya yang bernama Dona yang datang kesini," jawab Kyai Saleh.
Dian tak puas dan membutuhkan kepastian. Ia menghubungi Dona dan mengklarifikasi apakah Dona datang ke pesantren apa tidak. Ternyata Dona tak pernah datang ke pesantren. Lalu siapa yang datang sebagai Dona?