Part 263 ~ Kegelisahan Bara
Part 263 ~ Kegelisahan Bara
Bara berharap kejadian yang menimpa Egi membuatnya sadar dan kembali ke kodrat. Normal, menikah dan punya anak. Berharap mantan kekasihnya itu bisa menjadi pribadi yang lebih baik, tak terjerumus pergaulan gay dan tak lagi menyukai sejenis. Memang sulit bagi Egi untuk straight namun asal ada kemauan dalam hatinya pasti semua bisa dilalui Egi.
Bara melihat pemandangan langit dari jendela kamarnya. Awan putih sangat indah dan menari-nari di atas langit. Bara berdoa semoga cintanya pada sang istri putih dan suci seperti awan. Ada kegelisahan dan kerisauan yang dirasakan Bara. Dila berubah semenjak mamanya meninggal. Sikapnya dingin dan tak bersahabat. Bara kewalahan menghadapi sang istri. Ketika diajak bicara Dila hanya bilang ingin sendiri dan tak ingin diganggu.
Satu jam empat puluh menit pesawat dari Jakarta lepas landas di bandara Internasional Minangkabau. Bara segera turun dari pesawat seraya menjinjing sebuah tas ransel. Sesampainya di pintu kedatangan Bara menghidupkan smartphone dan menghubungi sopir pribadinya.
"Abi dimana?"
"Sudah di parkiran bos."
"Aku sudah sampai."
"Baik bos. Aku akan putar balik agar bos tidak jauh jalan," balas Abi.
Bara menunggu Abi di depan gerai makanan cepat saji. Tak lama kemudian Abi menghidupkan klakson memberi tanda jika dia sudah datang. Bara naik ke atas mobil dan pulang ke rumah orang tuanya.
"Dila ada di rumah?" Tanya Bara pada Abi.
"Sudah bos. Bu bos juga pergi kemarin bos."
"Pergi kemana?" Bara memicingkan mata.
"Pagi-pagi sekali jam empat pagi bu bos dan teteh Dian minta di antar ke bandara cuma saya enggak tahu pergi ke kota mana. Namun malamnya jam sebelas malam bu bos minta dijemput lagi ke bandara."
"Pergi kemana mereka?" Bara berpikir keras.
"Enggak tahu bos. Bu bos enggak bilang emangnya bos?"
"Kalo Dila bilang enggak mungkin aku kaget Abi."
"Iya juga ya bos." Abi nyengir dan menggaruk kepalanya.
"Saya menemui Egi."
Abi mengerem mendadak sehingga kepala Bara terbentur. Bara duduk di belakang sehingga saat Abi mengerem mendadak Bara terhuyung dan kepalanya membentur jok.
"Abi hati-hati. Kenapa ngerem mendadak?" Bara mengomeli sang sopir.
"Abis kaget bos. Kok bos temui Egi bukannya bos udah lurus?" Abi kebingungan tanpa disadari menanyakan pertanyaan yang sangat privasi.
"Saya tidak pacaran dengan Egi. Saya hanya memberikan dia peringatan karena telah membongkar rahasia saya pada mama dan membuat mama meninggal. Karma dibayar kontan Bi."
"Maksudnya bos?"
"Egi juga ketahuan sama keluarganya jika dia gay. Tantenya malah usir dan enggak anggap dia ada. Dia akan diterima lagi asal udah straight dan taubat."
"Dia pantas mendapatkannya bos, enggak tahu apa perbuatan dia dilaknat Tuhan dan hina." Abi mengucapkan sumpah serapah. Ia melihat tatapan tajam Bara dari kaca mobil. Abi jadi salah tingkah. "Maaf bos kelepasan."
"Berarti kamu sering nyumpahin saya ketika masih gay ya?"
"A-anu bos." Abi tergagap tak mampu melanjutkan ucapannya.
Bara tersenyum manis, "Anu apa? Kalo bilang anu saya malah jadi ingin anu," kata Bara ambigu.
"Ah si bos. Siang udah bicara anu. Istri saya diluar kota lagi, kalo kayak gini terpaksa solo jadinya." Ucapan Abi dapat cemoohan dan kekehan dari Bara.
"Yang mulai bicara anu kamu bukan saya."
"Anu maksud saya bukan itu bos."
"Sudahlah jangan bahas anu lagi. Cepat saja bawa mobil. Saya sudah kangen dengan Dila."
"Baru semalam tidak ketemu bos." Abi mencibir sang majikan.
"Kamu enggak tahu rasanya jadi saya."
"Sudah bos. Malah fase bos sudah saya lalui. Bos lagi bucin-bucinnya sama bu bos."
"Apa itu bucin?" Bara memicingkan mata dan mencoba berpikir.
"Budak cinta bos. Kalo orang lagi cinta mati sama seseroang istilah gaulnya bucin bos."
Bara melambaikan tangannya ke udara. "Alay kamu."
"Bukan alay. Emang itu istilah kekinian."
Mobil yang dikemudikan Abi telah sampai di rumah orang tua Bara. Abi menghidupkan klakson tak lama kemudian Pak Bowo membukakan pintu pagar.
Bara masuk ke dalam rumah. Sepi. Tak melihat keberadaan Dila. Bara berpikiran positif mungkin Dila ada di kamarnya.
Saat sampai ruang keluarga langkah Bara terhenti. Ia melihat Dila dan Herman sedang berbicara. Wajah keduanya tegang. Bara diam dan menguping pembicaraan mereka. Bara bersembunyi dibalik partisi kayu jati.
"Pa. Janjiku pada papa sudah aku tepati. Aku akan pergi dari sisi Bara." Dila bicara dengan beruraian air mata.
"Jangan lakukan itu Dila. Papa mohon." Herman memelas. Wajahnya di tekuk karena merasa malu.
"Ingat perjanjian kita waktu itu Pa? Aku akan pergi ketika Bara sudah straight. Sekarang dia sudah kembali ke kodrat."
"Jangan Dila. Papa mohon. Dia baru saja kehilangan mama Ranti masa dia harus kehilangan kamu. Bara sangat mencintai kamu. Papa pikir setelah kalian bersama akan tumbuh benih-benih cinta di antara kalian. Tapi papa salah. Hanya Bara yang cinta sama kamu. Kamunya tidak mencintainya."
"Cinta?" Dila mencibir sang mertua. "Bagaimana akan ada cinta jika semuanya dimulai dengan kebohongan."
"Kebohongan apa maksud kamu Dil?" Herman kebingungan.
"Papa membohongiku."
"Kapan papa membohongi kamu?"
"Papa jangan pura-pura lagi." Dila geram tapi masih menjaga batasannya. Herman adalah orang tua yang harus ia hormati.
"Papa sudah tahu Bara gay sebelum aku datang mengatakannya pada papa."
Brug….Pertahanan Herman runtuh. Ia menangis sesenggukan.
"Malam pertama kematian mama aku mendengar percakapan papa dan Bara. Aku kecewa merasa dibohongi dan dicurangi. Papa menjebakku menikah dengan anak papa yang sakit itu. Papa menghancurkan perasaan seorang gadis. Sakit disini pa." Dila terisak-isak menunjuk dadanya.
"Setelah papa membohongi aku masih berharap aku akan bertahan di sisi Bara? Papa egois. Hanya memikirkan ego papa. Papa punya feeling jika Bara akan straight jika menikah dengan aku. Sementara aku dapat apa? Hanya ada air mata dan kesedihan selama aku menikah dengan anak papa. Dia bahkan memperkosaku ketika aku tahu rahasia dia? Apa yang lebih menyedihkan untukku papa? Tak ada rasa cinta, hanya ada kesakitan dan air mata. Aku menjadi korban disini dan hidupku hancur. Aku bahkan tak punya masa depan. Apa aku tidak layak bahagia? Aku tidak layak untuk memilih dengan siapa aku menikah dan memilih laki-laki yang aku cintai? Jawab pa." Dila emosional. Matanya bengkak karena menangis.