Part 325 ~ Larangan Dila
Part 325 ~ Larangan Dila
"Akhhhhhhh." Akhirnya Bara melepaskan apa yang patut ia lepaskan dalam rahim sang istri.
Bara ambruk di atas tubuh istrinya yang lebih dulu mendapatkan pelepasan. Bara mencium kening istrinya. Lalu tidur di samping Dila. Bara menutupi tubuh telanjang mereka dengan selimut. Keringat membanjiri pelipis dan tubuh Bara. Malam ini ia bekerja dengan keras.
Bara menggenggam tangan istrinya dan menciumnya.
"Terima kasih sayang telah membagi kenikmatan tubuhmu denganku," bisik Bara dengan suara serak.
"Sama-sama. Sudah seharusnya bukan?" Balas Dila masih memejamkan mata. Menikmati sisa-sisa pelepasannya. Permainan mereka malam ini benar-benar panas membuat tubuhnya remuk. Entah kenapa malam ini Dila begitu agresif memimpin permainan.
"Tapi kamu curang sayang," ucap Bara pada akhirnya. Tak ada lagi emosi. Bicara lembut dan pelan.
"Aku curang demi kebaikanmu sayang. Aku tidak ingin suami dan calon ayah anak-anakku mengotori tangannya dengan darah orang lain. Cukup di masa lalu kamu membunuh orang bak membunuh binatang. Ingat umur sayang. Kamu tak muda lagi. Apakah sampai mati akan hidup dalam dendam?Jika kamu bilang pemerkosa itu layak mendapatkan hukuman kamu juga harus mendapatkannya."
"Kenapa aku juga harus mendapatkan hukuman?" Bara tak terima pernyataan Dila.
"Sayang kamu lupa? Kamu memperkosaku pada malam sangeet Hari. Kamu bahkan membuat aku pendarahan hingga vaginaku robek," balas Dila telak.
Bara tersenyum manis, menundukkan kepala dan merasa malu dengan perbuatannya. Kenapa malam itu bisa melakukannya bahkan sampai tiga kali.
"Kenapa diam?"
"Aku malu sayang jika mengingatnya," lirih Bara tersipu malu.
"Makanya sebelum menjudge orang lain ingat diri kita dulu. Apakah diri kita lebih baik apa tidak?"
"Setidaknya aku suamimu sayang."
"Tapi walaupun begitu suami tak boleh menyakiti istrinya." Cibir Dila bangkit dari tidurnya. Selimut yang menutupi tubuhnya melotot hingga menampakkan dadanya. Dada Dila memerah akibat ulah Bara terlalu banyak membuat cupang dimana-mana. Bara sangat bangga atas karyanya itu.
"Maafkan aku sayang," ucap Bara tulus.
"Aku akan maafkan dengan syarat."
" Apa syaratnya?"
"Lupakan balas dendammu."
Bara tertegun dan tenggorokannya pahit. Syarat Dila sangat berat untuknya.
"Jika kamu menyibukkan dirinya dengan balas dendam, mulai menyusun rencana yang akan ditempuh untuk membalas dendam maka pada hakikatnya kamu telah menyia-nyiakan, membuang waktu dan umurnya dari kesibukan yang lebih bermanfaat dari hal tersebut. Kesenangan yang kita dapatkan dari membalaskan dendam tidak akan sebanding dengan waktu telah kita habiskan dan tidak dapat digunakan kembali untuk menggapai faedah dunia ataupun akhirat yang luput akibatnya sibuk membalas dendam," ucap Dila menjelaskan.
"Pilihan yang sulit sayang," mata Bara berkelana melihat tubuh istrinya apalagi gundukan ranum dada Dila.
Tahu diperhatikan Dila menutup tubuhnya dengan selimut.
"Dasar mesum," cibir Dila pada suaminya.
"Siapa yang mesum? Kamu yang mengundangku untuk melihatnya. Mau lagi sayang?" Goda Bara mengedipkan mata.
" Jangan mengalihkan pembicaraan sayang," balas Dila tegas.
"Jika masih tetap pada pendirianmu maka lupakan aku sebagai istrimu," ucap Dila tegas.
"Seorang Dila tidak pernah main-main dengan ucapannya," ujar Dila sebelum pergi ke kamar mandi membersihkan diri. Badannya lengket akibat pertempurannya dengan Bara barusan.
Bara tertunduk lesu diatas ranjang. Ancaman Dila tidak main-main. Bara tak mau mengulangi kesalahan yang sama. Jika dia tak mendengarkan permintaan istrinya maka Dila akan meninggalkannya seperti kemarin.
Bara mengalami dilema. Satu sisi dia ingin membalas dendam pada Zico yang telah menghancurkan kehidupannya dan Dian. Disisi lain istrinya melarang balas dendam karena menurut Dila balas dendam hanya akan membuang waktu dan menambah luka di dalam hati. Tak akan ada kebahagiaan jika balas dendam. Bara bingung apakah yang harus dia lakukan?
Bara mengalami pergolakan batin jika ia mundur dari rencana, maka Dian yang akan marah padanya. Korban yang paling menderita disini adalah Dian. Dia tidak pernah mengenal Zico dan tak menjahati Sisil, tapi dialah yang paling menderita. Bahkan traumanya masih ada sampai sekarang.
Mendadak kepala Bara pusing dan mau pecah. Ia kebingungan. Langkah apakah yang harus diperbuat. Jika dia tak mendengarkan Dila maka pernikahannya akan tergadai. Andaikan dia tak menjalankan rencananya dengan Dian, maka Dian akan membencinya. Menyalahkannya atas semua penderitaan yang dialami Dian.
*****
Keesokan harinya seperti yang mereka rencanakan semalam. Bara dan Dila datang ke rumah orang tuanya Bara. Herman sangat senang dan tersenyum sumringah melihat kedatangan anak dan menantunya. Sudah lama Herman merindukan kedatangan mereka semenjak Ranti meninggal.
Herman merasakan kesepian dan merasa sedih. Dia merasa hidup sebatang kara tak ada anak, menantu atau cucu disampingnya. Herman berusaha tegar menghadapi hari-harinya. Ranti sebagai penyemangat hidupnya telah pergi. Tubuh Herman agak kurusan karena kurang makan semenjak Ranti meninggal. Ia kehilangan selera makan dan semangat hidup. Perempuan yang sangat dicintainya tempatnya berbagi suka dan duka telah pergi untuk selamanya.
"Papa," sapa Dila menyalami dan mencium tangan mertuanya.
"I-iya Dila," balas Herman gugup. Pria tua itu terharu akhirnya Dila mau menginjakkan kakinya di rumah ini. Kehadiran Dila bak penyejuk di hatinya.
"Bagaimana kabar papa?" Bara menyalami Herman dan memeluk ayahnya dengan erat.
"Kabar papa baik," jawabnya lirih masih tak melepaskan penglihatannya pada Dila.
Bara melihat arah tatapan Herman.
"Dila sudah memaafkan papa."
"Benarkah?" Herman terharu hingga ada bulir air mata di sudut pipinya.
Dila mengangguk seraya tersenyum pada mertuanya. Dila merasa sedih melihat keadaan mertuanya. Herman kurusan dan kantong matanya menghitam. Keliatannya Herman kurang tidur dan banyak begadang.
"Aku akan meninggalkan kalian. Silakan bicara," ucap Bara meninggalkan istri dan papanya di ruang tamu. Bara pergi ke kamar mamanya. Datang ke kamar Ranti caranya melepaskan rindu.
"Papa sehat?" Tanya Dila mendekati Herman.
"Sehat Dila. Terima kasih telah datang lagi ke rumah ini."
"Papa tidak perlu berterima kasih. Sudah seharusnya aku datang kesini mengunjungi papa. Aku melihat papa agak kurusan pasti makan papa sedikit."
Herman tersenyum dan terharu atas perhatian menantunya. Bersyukur memiliki menantu sebaik Dila. Herman merasa beruntung tak salah mencarikan anaknya seorang istri.
"Apa kamu sudah memaafkan papa?" Tanya Herman hati-hati. Tak ingin menyinggung perasaan Dila.
Dila tersenyum seraya menyentuh tangan Herman.
"Jika aku menerima Bara tentu saja aku memaafkan papa.
"Alhamdulilah," ucap Herman penuh rasa syukur.
"Sebagai orang tua papa tidak salah. Orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya. Pernikahan ini jika tidak ada campur tangan Tuhan tak akan pernah terjadi. Aku menerima takdirku papa jika Bara adalah jodoh yang dikirimkan Tuhan untukku. JODOH TAK PERNAH SALAH."
Herman menyentuh puncak kepala menantunys seraya menangis haru.
"Terima kasih untuk semuanya Dila. Kamu anak baik dan Defri sangat pintar mendidik anak."
"Tidak perlu berterima kasih papa. Sudah seharusnya."