Part 326 ~ Mencegah Bara
Part 326 ~ Mencegah Bara
"Papa sangat bahagia Dila, akhirnya kamu datang ke rumah ini. Papa sudah lama menantikan saat ini," ucap Herman dengan linangan air mata.
"Sudahlah papa jangan menangis. Tidak baik buat kesehatan papa. Mulai dari sekarang papa makan ya. Jangan tidak makan lagi. Papa terlihat sangat kurus. Aku khawatir sama papa."
"Semenjak mama meninggal papa kehilangan separuh jiwa papa. Dulu ketika mama masih hidup beliaulah tempat papa berkeluh kesah mencurahkan semua isi hati. Beliau juga menyemangati papa, menyambut dan menunggu papa. Sekarang tidak ada lagi yang melakukannya. Papa benar-benar rapuh dan terombang-ambing. Andai saja kalian sudah punya anak pasti papa bisa mengusir sepi ini. Papa bisa bermain bersama anak kalian. Papa berdoa semoga kalian segera dikaruniai anak, kalau perlu punya anak yang banyak. Soalnya Bara hanya anak tunggal. Jangan seperti kami yang hanya punya satu orang anak dan ketika anak itu telah menikah kami merasa kesepian."
"Doakan saja papa, semoga kami segera dikaruniai anak. Maafkan aku papa karena belakangan ini kami jarang ke sini dan aku sempat marah pada papa."
"Kamu berhak marah sama papa Dila. Papa maklumi kemarahan kamu. Mungkin jika istri Bara bukan kamu bisa jadi istrinya akan memisahkan papa dan Bara. Tak adakah rasa sakit hati pada papa?"
Dila tersenyum menatap mertuanya.
"Sakit hati tentu saja ada papa, tapi sampai kapan aku harus memendam rasa sakit ini yang pada akhirnya hanya membuat aku terluka."
"Terima kasih nak. Terima kasih telah mencintai putraku."
"Darimana papa tahu jika aku mencintai Bara?"
"Jika bukan karena cinta kamu tidak akan kembali pada Bara. Jika bukan karena cinta kamu tak mungkin bertahan. Semenjak Bara menikah denganmu perubahannya sangat baik. Sesuai dengan harapan papa. Papa tidak ingin gagal sebagai orang tua nak."
"Papa tidak gagal buktinya suamiku menjadi pengusaha yang sukses. Dia bisa berdiri sendiri tanpa embel-embel papa. Bukankah papa sudah berhasil mendidik Bara? Terlepas dari orientasinya yang menyimpang dulunya. Bukan salah papa, itu karena pergaulannya yang salah dan trauma masa lalu."
"Kamu bijak sekali nak."
"Pa," panggil Dila pelan. Celingak-celinguk melihat sekeliling. Memastikan Bara tidak menguping pembicaraan mereka.
"Ada apa Dila?" Herman bingung dengan sikap menantunya.
"Pa ini soal Bara. Zico pelaku pemerkosanya ada di Padang."
"Apa?" Herman shock. Tubuhnya bergetar. Setelah ribuan purnama kenapa laki-laki itu muncul lagi.
"Dia pemilik baru rumah sakit Harapan."
"Apa?" Hanya itu reaksi Herman. Pria itu masih shock.
"Kenapa dia muncul di kota ini?"
"Itu yang tidak aku ketahui papa. Kita harus mencegah Bara dan Dian papa."
"Mencegah apa?"
"Mencegah mereka membalas dendam."
"Bajingan itu pantas mendapatkan hukuman," umpat Herman kasar.
"Dian dan Bara menderita namun dia bisa hidup dengan bebas sementara mereka mengalami trauma akut."
"Pa," lirih Dila. "Aku tidak mau Bara membalas dendam."
"Kenapa?"
"Jika Bara membalas dendam sama saja dengan Zico. Aku tidak mau suamiku menjadi orang jahat. Biarkan saja orang jahat kepada kita. Tuhan yang akan memberi mereka balasan atas semua perbuatan mereka. Kita manusia tak perlu membalas. Biarkan tangan Tuhan yang bekerja memberikan hukuman buat para pendosa. Kita hidup di masa depan bukan di masa lalu. Jadikan peristiwa di masa lalu sebagai pelajaran agar tak mengulangi kesalahan yang sama. Memaafkan lebih baik daripada balas dendam. Sama seperti aku memaafkan papa."
Pertahanan Herman runtuh membenarkan ucapan Dila.
"Salah satu kekurangan manusia suka berbuat salah dan dosa. Saat orang lain berbuat kesalahan dan dosa pada kita seharusnya kita memaafkan. Meminta maaf dan memaafkan juga menjadikan kita sebagai manusia yang penuh dengan kelapangan dan kerendahan hati," ucap Dila memberi pengertian.
"Memaafkan memang tidak mudah, butuh proses dan perjuangan untuk melakukannya. Adanya kebaikan bagi diri kita dan bagi orang lain akan menjadikan memaafkan menjadi sesuatu yang mungkin dilakukan. Memaafkan orang yang bersalah kepada kita bukan hanya membuat mereka terlepas dari rasa bersalah, tapi membuat kita semakin bersyukur karena masih diberi kelapangan hati untuk memaafkan orang lain."
Herman sangat kagum atas pemikiran menantunya. Andai saja Dila tak memaafkannya mungkin rumah tangga Bara berada di ujung tanduk dan Dila tak pernah menginjakkan kaki di rumah ini. Sikap menantunya sangat mulia. Herman bahagia sekaligus terharu.
"Apa rencana kamu Dila?" Herman memicingkan mata memikirkan rencana mencegah Bara balas dendam.
"Sampai detik ini aku belum bisa berpikir papa. Aku belum tahu apa rencana mereka berdua. Tapi setidaknya aku sudah ultimatum Bara jangan membalas dendam."
"Apa ultimatumnya?"
"Balas dendam atau aku."
Herman meringis seraya tersenyum. Melihat betapa anaknya mencintai Dila pasti Bara akan mengambil pilihan kedua. Bara pasti tak ingin menggadaikan pernikahannya demi balas dendam. Herman sangat tahu sifat anaknya. Dia akan berjuang mati-matian jika jatuh cinta pada seorang. Hal itu terbukti pada Egi. Bagaimana pun usahanya dan Dian memisahkan mereka tetap saja hubungan mereka terjalin.
Firasat orang tua tak pernah salah. Dila mampu memisahkan Bara dan Egi lalu membuat anaknya menjadi pria straight dan kembali ke kodrat. Jika Tuhan mengambil nyawanya sekarang Herman rela karena Bara sudah tak menyimpang. Herman yakin Dila akan mampu membimbing suaminya jadi orang yang lebih baik lagi.
"Tindakan kamu sudah benar. Papa mendukung kamu." Herman menepuk bahu Dila.
Bara, Dila dan Herman makan malam bersama. Wajah Herman berseri-seri dan makannya juga banyak. Malam ini ia makan bersama anak dan menantunya. Herman menatap foto Ranti yang terpajang di dinding seakan memberi tahu mendiang istrinya jika semuanya baik-baik saja.
"Apa yang kamu katakan pada papa hingga beliau banyak makan?" Tanya Bara ketika mereka berada di kamar. Mereka memutuskan menginap di rumah Herman.
"Aku hanya menasehati papa dan memberikan semangat. Aku tahu pria yang ditinggal mati oleh istrinya ibarat orang kehilangan satu kaki. Mereka akan pincang. Seusia papa sangat butuh seseorang untuk cerita berbagi suka dan duka. Menemani makan dan jalan-jalan pagi. Aku hanya menyemangati papa. Hidup harus terus berjalan walau mama sudah tiada."
"Aku sudah memberikan izin papa menikah lagi. Tidak mungkin di usia senja tak ada yang mengurus papa. Kasihan beliau."
"Apa reaksi papa ketika kamu mengatakannya?"
"Papa hanya tertawa dan bilang tidak akan menemukan orang seperti mama."
"Tidak mudah bagi papa untuk move on apalagi mama sudah mendampingi selama empat puluh tahun."
"Benar," ucap Bara nakal menggesekkan miliknya pada bokong Dila.
Dila merasakan sinyal bahaya. Nafsu suaminya sangat besar. Dila pura-pura tak merasakannya walau ia sendiri merasa gerah. Tak apalah mengerjai suaminya sesekali.
Bara mendelik kesal karena istrinya pura-pura tidak tahu keinginannya. Bara kesal membalikkan badan istrinya tangannya. Dengan lincah melepaskan satu persatu pakaian istrinya dan membuangnya ke sembarang tempat. Bara menindih tubuh istrinya dan kembali mereguk kenikmatan bersama. Dila tak kuasa melawan rangsangan suaminya. Dila pun terpancing dan melayani permainan panas suaminya.