Part 336 ~ Kegalauan Dila
Part 336 ~ Kegalauan Dila
Dila termenung di dalam ruangannya. Para karyawan telah pulang sedari tadi. Dila belum pulang karena menunggu dijemput Bara. Suaminya sedang ada rapat dan minta ditunggu. Dering smartphone mengalihkan Dila.
Naura Calling...….
:telephone_receiver:"Hallo uni. Apa kabar?" Sapanya ramah.
:telephone_receiver:"Kamu ada dimana?"
:telephone_receiver:"Aku ada di kantor menunggu suamiku."
:telephone_receiver:"Uni kesana ya. Ada yang ingin uni bicarakan."
:telephone_receiver:"Baiklah. Aku tunggu uni."
Lima belas menit kemudian Naura sampai di kantor Dila. Satpam mengantarkan Naura menuju ruangan Renata. Dila duduk di ruangan Renata menunggu. Dila tak berani seorang diri di ruangan di lantai dua.
"Sudah datang uni?" Sapa Dila ramah.
"Ini sudah datang. Makasih," kata Naura pada satpam yang telah mengantarnya.
"Ada apa uni?" Dila tak sabar ingin tahu maksud Naura menemuinya.
"Tadi uni melihat kamu ke rumah sakit. Apa kamu menemui Zico?"
"Ya."
"Kenapa kamu datang Dila?" Mata Naura memerah.
"Aku datang sebagai rekan bisnis bukan secara pribadi."
"Apa dia mengatakan sesuatu padamu?"
"Sesuatu apa?" Dila pura-pura tidak mengerti.
"Apa dia jujur padamu?"
"Jujur tentang apa uni?"
"Jujur tentang perbuatannya di masa lalu pada Bara dan Dian."
"Iya, dia mengakui semua kejahatannya padaku.Aku melihat ada penyesalan di matanya. Dia telah menyesali semua perbuatannya.Dia bahkan memintaku untuk menjadi mediator antara dia, Dian dan Bara.Bahkan dia bilang akan berlutut dan bersujud di kaki Bara atau Dian karena telah menzolimi mereka."
"Apa yang akan kamu lakukan Dila?"
"Lakukan apa?"
"Zico meminta kamu untuk menjadi mediator bagi mereka. Apakah kamu bersedia melakukannya?"
"Entahlah uni aku bingung harus berbuat apa. Satu sisi sebagai istrinya Bara, tak ingin suamiku membalas dendam, tapi di sisi lain aku mengerti bagaimana dendamnya Bara dan Dian pada Zico. Laki-laki itu malah menceritakan peristiwa kelam itu padaku. Hatiku hancur dan sangat terluka mengetahui kejahatannya. Aku akui jika Zico telah menyesal dengan perbuatannya. Dia merasakan tangan Tuhan sedang bekerja untuknya membalas semua kejahatannya. Dia juga menceritakan masalah rumah tangganya padaku."
"Aku juga bingung harus berada di pihak siapa. Zico memang salah, perbuatannya sangat terkutuk dan sangat menjijikkan, tapi itu terjadi lima belas tahun yang lalu. Sekarang dia benar-benar menyesal dan ingin meminta maaf pada mereka. Aku dilema Dila bagaimana harus bersikap. Satu sisi Zico adalah atasanku. Di sisi lain Bara adalah adik iparku. Dian, aku telah menganggap dia seperti adikku sendiri."
Dila menggenggam erat tangan Naura.
"Aku juga bingung harus berbuat apa. Lebih baik kita tidak ikut campur urusan mereka. Sebagai istri aku telah mengingatkan Bara untuk tidak membalas dendam karena dendam hanya akan membuang-buang waktu dan merusak hati, tapi kembali lagi pada Bara dan Dian. Mungkin jika kita berada di posisi mereka tidak akan mudah untuk memaafkan Zico. Kita bisa meminta mereka mengikhlaskan apa yang telah terjadi, tapi kita tidak merasakan derita yang mereka rasakan setelah peristiwa itu terjadi."
"Kamu benar Dila. Sikap kita lebih baik tidak ikut campur. Namun melihat kenekatan Dian dan dendam di matanya uni tidak jamin, mereka tidak akan melakukan tindakan kriminal. Apalagi dengan latar belakang Bara dan Dian dengan kejam menyingkirkan lawan bisnis mereka, tanpa belas kasihan. Uni melihat api dendam terlalu membara di mata mereka. Kita tidak bisa menyalahkan mereka kenapa bersikap seperti itu."
"Memaafkan lebih baik." Dila mengambil napas yang mulai sesak.
"Akhir-akhir ini aku tidak enak badan, sering meriang dan masuk angin."
"Apa kamu kurang istirahat akhir-akhir ini?"
"Iya uni. Terlalu banyak pikiran. Bagaimana hubungan uda dan Ria?" Dila mengalihkan pembicaraan.
"Tidak ada kemajuan." Naura jengah dan prihatin.
"Kenapa uni tidak senang? Bukannya bahagia madu uni tersingkir."
Naura mengulas senyum seraya memainkan jemari di rambutnya.
"Tidak. Uni malah prihatin."
"Kenapa?"
"Ria sudah berubah semenjak Iqbal mengusirnya tinggal di paviliun. Dia lebih baik tak seperti dulu. Iqbal sudah tak menganggap dia sebagai istri. Statusnya tidak jelas. Iqbal hanya memandang Ria sebagai ibu dari anak-anaknya."
"Pernahkah mereka bertengkar?"
"Pernah. Uda bawa Aina dan Ria bawa Attar. Kenapa kamu tanya semua ini?" Naura merasa curiga. Pasti ada sesuatu yang diketahui Dila.
"Uda datang ke rumahku dan dia meminta pendapat soal hubungannya dengan Ria. Aku sebagai adik sudah memberikan jawaban yang bijak. Ria adalah pilihannya. Uda harus bertanggung jawab atas pilihannya dan aku juga memarahinya karena dulu aku sudah memperingatkannya. Jangan pernah menikah dengan Ria karena uda menduakan cinta uni. Ria bukan wanita yang baik, sekarang uda harus menerima konsekuensi atas pilihannya."
"Dila bisa kita skip pembahasan tentang Ria dan Iqbal. Sepertinya sekarang bukan itu yang kita bicarakan."
"Kenapa?" Dila tersenyum miris.
"Kita tidak bisa ikut campur masalah Ria dan Iqbal. Uni sebagai istri pertama tidak didengar apalagi kamu.Iqbal keras kepala tidak mau mendengar ucapan orang."
"Bukankah dia suami uni?" Dila tertawa menggoda Naura.
"Bukankah dia kakak kamu?" Naura balik menggoda.
Dering smartphone mengalihkan perhatian Dila. Ia segera mengangkatnya.
:telephone_receiver:"Assalamualaikum sayang," sapa Dila ramah dan mesra. Ternyata dari Bara.
:telephone_receiver:"Walaikumsalam istriku yang paling cantik dan manis. Masih di kantor?"
:telephone_receiver:"Masih. Bukankah kamu meminta aku menunggu?"
:telephone_receiver:"Setengah jam lagi aku jemput ya."
:telephone_receiver:"Baik Pak ketua," jawab Dila semangat.
"Apa kamu sudah mencintai Bara?" Tanya Naura ketika Dila sudah selesai telepon.
Dila mengulas senyum manis di bibirnya. Naura pun ikut bahagia atas kebahagiaan Dila.
"Syukurlah.Kamu mengembalikan dia ke kodrat. Dua jempol untuk kamu. Tak banyak istri yang bisa membuat suaminya kembali normal."
"Bukan hanya karena aku tapi juga keinginan dari Bara. Jika Bara tak punya niat, mustahil akan normal uni."
"Masalah Zico jangan lupa nasehati Bara. Jangan sampai dia melakukan kejahatan demi balas dendam. Jangan biarkan suamimu mengotori tangannya. Walau nanti Bara bisa mempermainkan hukum karena jabatannya namun tetap saja dia sudah zalim dan tak ada bedanya dengan Zico di masa lalu.
"Uni benar. Aku akan menasehati suamiku. Mudah-mudahan dia tidak membalaskan dendamnya pada Zico, tapi uni kita juga harus menasehati Dian agar dia tidak akan balas dendam. Dian dan Bara harus disadarkan. Dendam Dian lebih besar karena dia punya anak dengan Zico. Masalahnya sekarang bukan masalah pemerkosaan saja tapi masalah anak."
"Ya kamu benar. Zico ingin bertanggung jawab pada Alvin."
Setelah berbincang panjang Naura pun pamit pulang karena hari sudah sore. Anak-anak sudah menunggunya di rumah. Tidak lama setelah Naura pergi Bara pun datang menjemput Dila.
Dila menatap suaminya penuh cinta, berusaha bersikap tenang tanpa ada kejadian apa-apa. Semoga suaminya bisa berubah pikiran dan mengurungkan niatnya membalas dendam.