Jodoh Tak Pernah Salah

Part 316 ~ Tangisan Lona



Part 316 ~ Tangisan Lona

1 "Apa persyaratan yang harus saya siapkan kyai untuk mengurus kepindahan Alvin?" Dian kembali ke topik pembicaraan.     

Kyai Saleh memberikan persyaratan yang harus dilengkapi. Dian mengurus kepindahan Alvin ke bagian administrasi.     

Lona menatap Dian dan Alvin sendu. Sedih rasanya akan berpisah dengan cucunya. Tidak ada lagi alasan Lona untuk datang ke pesantren. Lona datang ke pesantren hanya ingin melihat Alvin.     

Lona memperhatikan penampilan Dian dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dian semakin cantik dan terawat. Wajahnya berbentuk oval, kulitnya putih, wajahnya seperti orang bule. Gamis dan hijab yang digunakan Dian serasi. Penampilan Dian mirip dengan selebgram.     

"Ibu Lona kenapa diam saja dari tadi?" Nyai Saleh menyapa Lona karena kebanyakan melamun.     

Mereka hanya bertiga dalam ruangan itu. Dian dan Alvin keluar karena mengurus administrasi kepindahan Alvin. Sebenarnya Kyai Saleh menyayangkan Alvin pindah karena sebentar lagi akan mengikuti ujian nasional untuk kelulusan SMP.     

"Tidak apa-apa nyai," jawab Lona berusaha tersenyum walau pun hatinya remuk.     

"Sepertinya ada yang mengganjal di hati Ibu? Apa ada sesuatu?" Nyai Saleh tak percaya begitu saja dengan penjelasan Lona.     

"Tidak ada." Lona masih berbohong dan tak mau bicara.     

Mereka asik mengobrol hingga tak sadar jika Dian dan Alvin telah kembali. Alvin bahkan telah mendorong kopernya.     

"Kyai, nyai kami mohon pamit. Terima kasih telah memberikan pengajaran agama yang baik untuk Alvin selama ini. Kalian telah mengajarkan kebaikan pada Alvin sehingga dia menjadi anak yang baik. Harapanku sebagai Ibu, dia jadi pria yang bertanggung jawab dan tak pernah menyakiti wanita." Dian berpamitan dengan kyai dan nyai Saleh     

"Pasti Alvin akan menjadi laki-laki yang bertanggung jawab. Dia memiliki ibu yang hebat." Nyai Saleh memuji Dian.     

"Apa sudah berpamitan dengan teman-teman Alvin?"Kyai Saleh menatap Alvin.     

"Sudah kyai."     

Nyai Saleh mendekati Dian dan memeluknya dengan erat.     

"Semoga kita bisa bertemu di lain waktu Dian. Senang bertemu dengan wanita hebat seperti kamu. Semoga kamu segera menemukan jodohmu Dian. Wanita baik akan bertemu dengan pria baik pula." Nyai Saleh mendoakan.     

"Terima kasih doanya nyai." Dian terharu tak sadar meneteskan air mata.     

Kyai Saleh memeluk dan mengelus kepala Alvin.     

"Jaga mami baik-baik Alvin. Jadilah anak yang baik. Berbakti pada orang tua. Apa yang kami ajarkan disini tolong dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari."     

"Insya Allah kyai." Alvin menangis terharu tak rela berpisah dengan gurunya.     

"Aku pamit nyai." Alvin mendekati Nyai Saleh dan menyalaminya.     

"Kami pamit Kyai." Dian tak bisa membendung tangisannya. Pesantren Al Jadid memberikan sejuta kenangan untuknya. Dalam ruangan ini Dian menyadari jika Alvin sangat berharga untuknya. Disini juga ia sadar jika perbuatannya pada Alvin sangat jahat dan tak manusiawi.     

Dian dan Alvin melambaikan tangan sebelum berpamitan. Kyai dan Nyai sangat sedih kehilangan salah satu murid terbaik mereka.     

Lona terjatuh di sofa, menangis tersedu-sedu. Wanita paruh baya itu tak bisa menahan perasaannya. Badannya menggigil dan gemetar. Wajahnya pucat dan tangannya dingin.     

"Kenapa Ibu Lona? Anda menangis?" Nyai Saleh kaget dengan perubahan wajah Lona.     

"Apa terjadi sesuatu terjadi Ibu?" Kyai Saleh ikut khawatir.     

"Aku kehilangan cucuku," ucapnya terbata-bata dengan napas terengah. Tangisan Lona semakin keras. Perasaan ingin memiliki Alvin semakin besar dan menggebu.     

"Bukankah Ibu belum punya cucu?" Nyai Saleh keheranan. Lona sangat misterius dan membuatnya penasaran.     

"Sebenarnya punya," ucapnya pelan.     

"Kok sebenarnya?" Kyai Saleh memicingkan mata.     

"Sakit rasanya kyai, nyai. Aku baru menemukannya dan sekarang dia sudah pergi." Dada Lona terasa sakit dan tenggorokannya pahit.     

"Apa yang sebenarnya terjadi Ibu?" Nyai Saleh prihatin melihat keadaan Lona.     

"Alvin cucuku," ucap Lona dengan air mata bercucuran.     

Kyai dan Nyai Saleh shock. Mereka seperti tersambar petir di siang bolong. Kenyataan macam apa ini? Lona, nenek dari Alvin. Apakah Lona waras mengatakannya?     

"Maksud Ibu apa?" Nyai Saleh mencoba mempelajari keadaan.     

"Kami tidak mengerti dengan maksud Ibu." Kyai Saleh menimpali.     

"Sebenarnya saya adalah nenek Alvin dari ayahnya. Ayah biologis Alvin adalah anak saya," ucapnya dengan bibir gemetar.     

Tubuh Kyai dan Nyai Saleh gemetar. Mereka terhenyak mengetahui fakta yang sebenarnya.     

"Jangan bercanda Ibu." Nyai Saleh masih belum mempercayai apa yang didengarnya.     

"Saya tidak bercanda nyai. Memang itu kenyataannya." Lona tak dapat menahan beban berat di dadanya. Mungkin mengatakan rahasia ini membuat hatinya tenang.     

"Jangan bilang jika anak anda yang telah memperkosa Dian hingga melahirkan Alvin?" Kyai Saleh mencoba mengorek informasi.     

Lona mengangguk membuat Kyai Saleh tertunduk lemas.     

"Lalu apa tujuan Ibu datang dalam kehidupan mereka? Jangan menyusahkan mereka lagi. Dian dan Alvin sudah cukup menderita selama ini." Nyai Saleh mengintervensi.     

"Saya tidak ingin mengusik mereka nyai, kyai. Darah lebih kental daripada air. Bagaimana pun usaha saya ingin jauh dari Alvin tidak bisa. Ada magnet yang menarik saya untuk menemui Alvin. Saya tidak bisa mengabaikan dia jika dia keturunan kami. Darah keluarga kami mengalir pada tubuhnya."     

"Jangan bilang laki-laki yang datang bersama Ibu beberapa waktu yang lalu ayah biologis Alvin?" Nyai Saleh mendelik.     

"Nyai benar. Dia Zico, ayah Alvin."     

"Kenapa kalian baru muncul sekarang? Kenapa tidak dari dulu mempertanggung jawabkan perbuatan putra anda?" Nyai Saleh jadi emosi. Nada bicara sangat tinggi dan cenderung menghakimi.     

"Kami pun baru tahu belakangan ini. Kami tidak tahu jika Dian hamil karena peristiwa itu." Tangis Lona memecah keheningan. Ia menangis terisak-isak sampai ingusan.     

"Anda tidak berbohong?" Kyai Saleh tidak dapat mempercayai Lona.     

"Apa saya harus bersumpah di atas Alquran agar kalian percaya?��     

Kyai dan nyai Saleh terdiam. Reaksi dari Lona menunjukkan jika ia berkata jujur.     

"Saya tahu anak saya membuat kesalahan yang sangat besar dan tak bisa dimaafkan. Lima belas tahun yang lalu Zico menculik Dian dan Bara. Dia memperkosa Dian karena balas dendam pada Bara. Saat itu Zico baru saja kehilangan adiknya. Anak saya Sisil meninggal karena bunuh diri pemicunya bunuh diri karena Bara. Zico mengalami gangguang emosi. Jika dia emosi akan bertindak diluar kendali dan diluar batas. Rasa sayang Bara pada Dian dimanfaatkan Zico untuk membalas dendam agar Bara merasakan sakit seperti yang dia rasakan. Saya tahu Zico salah dan perbuatannya terkutuk. Dian jadi korban dari kebiadaban Zico. Dia menyesal telah melakukan semua itu pada Dian."     

"Kenapa keluarga kalian tidak datang bertanggung jawab kala itu?" Nyai Saleh bersikap seolah-olah ibunya Dian.     

"Bagaimana kami datang jika Zico mengalami depresi dan harus mendapatkan perawatan medis?"     

"Lalu apa yang Ibu inginkan?"     

"Saya ingin memperbaiki semuanya. Saya ingin berlutut di kaki Dian meminta maaf. Saya ibu yang tidak becus sehingga tak bisa mendidik Zico dengan baik. Saya telah gagal mendidik anak. Saya hanya ingin Alvin tahu jika saya neneknya. Bagaimana pun hubungan darah tidak bisa putus. Apakah tidak ada kesempatan kami untuk memperbaiki kesalahan kyai, nyai?"     

"Allah akan mengampuni hambanya yang benar-benar bertaubat." Kyai Saleh menimpali.     

"Zico pun sudah mendapatkan balasan atas perbuatannya. Dia dihantui rasa bersalah. Pernikahannya dengan sang istri gagal, berujung perceraian dan tak punya anak. Mungkin ini hukuman Zico karena mengabaikan anaknya dengan Dian sehingga dia tak punya anak dengan istrinya hingga bercerai."     

"Ibu tidak boleh berkata seperti itu." Nyai Saleh mengingatkan.     

"Apa Zico sudah menemui Dian?" Kyai Saleh menghapus bulir air matanya. Entah kenapa hatinya merasa tersayat mengetahui hubungan Zico, Dian dan Alvin.     

"Kami tak minta apa-apa. Kami tidak akan merebut Alvin. Kami hanya ingin memperbaiki hubungan yang buruk di masa lalu. Setidaknya Alvin tahu siapa kami."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.