Jodoh Tak Pernah Salah

Part 121 ~ Aku Ingin Berpisah Dengannya



Part 121 ~ Aku Ingin Berpisah Dengannya

0Dila dan Bara sudah sampai di rumah Bara di danau teduh. Rumah mewah bergaya Eropa menanti mereka. Suasana dingin segera menyelimuti karena rumah dekat danau dan pepohonan hijau tumbuh berjejeran. Dian dan para ART sudah menunggu mereka. Bara memerintahkan Dian untuk membereskan rumah sebelum mereka datang. Para ART membawakan koper Bara dan Dila.     

"Biar aku saja," kata Dila menolak.     

"Tidak apa-apa Buk. Sudah tugas kami," kata Tuti, kepala ART. Bara menyediakan tiga orang ART untuk membantu mereka di rumah. Ada yang bertugas membersihkan rumah, tukang kebun dan koki.     

Dila menyerah dan membiarkan Tuti membawa barang-barangnya ke kamar.     

"Mari Buk saya tunjukkan kamarnya," kata Tuti ramah.     

Dila mengikuti kemana Tuti melangkah. Rumah bertema Eropa membuat Dila takjub. Design interior sangat bagus dan ia sangat mengaguminya.     

"Ini kamar Ibuk dan Bapak," kata Tuti memperlihatkan kamar seluas 8 x 5. Dekorasinya sangat disukai Dila. Simple dan tak banyak perintilan.     

"Terima kasih ya Buk. Aku panggil tante, etek atau gimana?"     

"Panggil mbak aja ya Buk," kata Tuti pamit undur diri.     

"Kamu suka dengan dekorasi kamarnya? Aku sendiri yang mendekornya untuk kamu," kata Dian muncul di kamar.     

"Not Bad. Bagus," kata Dila.     

"Syukurlah kalo kamu suka."     

"Dian."     

"Ya."     

"Aku ingin bicara empat mata denganmu."     

"Bicara apa Dila?"     

"Bara mana?"     

"Ada. Bos sedang teleponan dengan rekan bisnis. Apa yang ingin kamu bicarakan?"     

"Aku tidak perlu berbasa-basi lagi. Langsung ke intinya saja. Selama ini apa kamu tidak berusaha membuat Bara straight?"     

"Kenapa bertanya seperti itu?" Dian bingung dengan pertanyaan Dila.     

"Tidak usah bingung. Jawab saja pertanyaanku."     

Dian ragu untuk bicara, bibirnya terkatup.     

"Tidak usah ragu. Aku tidak akan marah. Aku tidak mencintai Bara. Kau sudah tahu siapa yang aku cintai? Bukankah kau yang mencari tahu tentang Fatih?"     

"Dila…."     

"Kita terang-terangan saja. Aku tahu kau mencintai suamiku."     

Wajah Dian memucat dan ekspresi wajahnya berubah.     

"Kamu jujur saja padaku. Aku tidak akan marah. Mari kita bicara sesama wanita."     

"Dila apa yang terjadi padamu? Kamu baik-baik saja?"     

"Kamu tidak perlu khawatir tentang aku. Aku baik-baik saja. Kamu sudah lama bersama Bara. Dari matamu, aku tahu kau mencintai suamiku."     

"Dila apa maksudmu?" Dian salah tingkah.     

"Aku ingin bercerai dengan Bara."     

"Apa maksud kamu?"     

"Kamu sudah mengerti dengan jelas apa maksudku Dian. Jangan berlagak bodoh."     

"Tidak Dila. Kamu tidak boleh bercerai dengan bos."     

"Kamu melarangku karena ingin melindungi Bara bukan? Menjaga reputasi bosmu sebagai anggota DPRD?" Tebak Dila sekaligus.     

Dian tersenyum seraya meringis. Dila mengetahui alasannya kenapa melarang Dila menceraikan Bara.     

"Aku ingin pergi dari sini. Aku tidak mau terikat dengannya. Aku tidak mau punya suami gay. Aku ingin menjalani kehidupan normal. Aku tidak ingin hidup dengan lelaki yang menyimpang dan tak ada keinginan untuk sembuh."     

"Bukan tidak mau sembuh, tapi..."     

"Tapi apa?" Balas Dila ketus.     

"Selama ini kau membiarkannya dan memfasilitasinya untuk berkencan dengan Egi. Makanya dia tak akan sembuh. Jika dia masih ada di lingkaran LGBT, selamanya dia akan menyimpang. Seharusnya jika kamu mencintainya, kamu bantu dia kembali ke kodrat bukan membiarkannya. Sekarang imbasnya aku yang menanggung. Punya suami gay seperti dia."     

"Dila aku juga ingin,….ucapan Dian terhenti karena Bara tiba-tiba muncul di kamar.     

"Dian, aku pergi duluan. Ada hal yang harus aku urus."     

"Aku ikut bos?" tanyanya.     

"Tidak usah. Temani saja Dila," kata Bara. Ia mendekati Dila dan spontan mencium bibir Dila sekilas. Mata Dian membola melihat Bara mengecup bibir Dila. Dian bahkan mengucek mata memastikan penglihatannya.     

"Aku pergi dulu, kamu bersama Dian dulu," kata Bara berpamitan.     

"Dila apa yang aku lihat tadi?" Tanya Dian tercengang.     

"Kamu tanyakan saja pada si gila itu."     

"Dila jika bos bisa mencium kamu seperti itu, ada kemungkinan bos akan straight. Bantulah dia untuk kembali ke kodrat. Aku mohon."     

"Aku tidak bisa Dian. Jika kamu mencintainya, kamu yang berusaha kembalikan dia ke kodrat."     

"Jika Bara memperkosa kamu malam itu berarti ada yang special dalam dirimu. Aku saja yang dari dulu mencoba membuatnya straight dengan merayu dan menggodanya tak pernah berhasil. Kamu yang baru sebentar menikah dengannya berhasil membuat dia berhasrat padamu. Bos bahkan berani mencium kamu di depanku berarti ada kemungkinan kamu untuk membuat Bara straight."     

"Aku tidak ingin menjadi istrinya. Kamu saja yang menjadi istrinya."     

"Jika aku bisa membuat dia kembali ke kodrat sejak dulu sudah aku lakukan Dila. Aku memang mencintai dia, makanya aku selalu ada di sisinya. Aku lebih rela Bara jatuh ke pelukan kamu daripada Egi. Aku ingin dia kembali normal," kata Dian memohon.     

Dila menyentuh pipi Dian. Terbersit rasa iba pada Dian. Ia mencintai Bara dalam diam dan bahkan menahan hati melihat pria yang dicintainya jatuh ke pelukan pria lain. Wanita mana yang tak sedih dan terluka jika pria yang ia sukai menyukai pria lain. Jika menyukai wanita lain masih masuk akal, tapi pria menyukai pria?     

"Kalian lebih cocok bersama. Kalian sama-sama merasakan sakit karena peristiwa lima belas tahun yang lalu. Kalian bisa jadi pasangan yang saling menguatkan."     

"Dila apa maksudmu? Jangan bilang jika kamu….."     

"Aku tahu kalian diperkosa orang yang sama lima belas tahun yang lalu. Lelaki itu memiliki kelainan. Bara juga di perkosa saat kuliah di London."     

"Da-darimana kamu tahu?" tanya Dian dengan bibir gemetar.     

"Aku sudah tahu semuanya Dian dan inilah alasan aku ingin pergi dari sisi Bara. Aku tidak mau mempunyai suami menyimpang. Dalam impianku menikah dengan lelaki soleh yang mana pernikahan sebagai ladang ibadah sementara bersama Bara, aku tak akan menemukan semua itu."     

"Dila, Bara akan berubah jika kamu membantunya. Aku percaya dia akan straight. Tuhan akan memberikan hidayah pada Bara melalui kamu."     

"Nothing Dian. Aku tak sanggup. Aku ingin hidup normal. Jika aku sibuk membahagiakan orang lain kapan aku bahagia?"     

"Kamu akan bahagia bersama Bara."     

"Aku tidak menginginkannya. Aku pergi ke kantor dulu," kata Dila berpamitan.     

Dila menuju kantor cabang utama. Ia menemui Pak Irwan, selaku kepala cabang. Dila minta ijin untuk mengambil cuti gajah selama tiga bulan. Dila membuat alasan untuk menemani perjalanan dinas sang suami. Berhubung Bara seorang ketua DPRD mau tidak mau Pak Irwan memberi ijin Dila untuk melakukan cuti gajah.     

Dila lega memegang surat ijin cuti. Setelah ijinnya disetujui bagian SDM segera membuat surat cuti Dila.     

"Mungkin ini yang terbaik," kata Dila beranjak pergi dari cabang utama.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.