Ciuman Brutal (1)
Ciuman Brutal (1)
Dari sudut inilah Leng Xiaomo hanya melihat sinar matahari terbit menerpa wajahnya, menutupi sebagian sosoknya dengan lingkaran emas, seolah-olah ia adalah Dewa Agung yang begitu dingin.
Dan ia bertanya, "Kenapa kamu menciumku tadi malam."
Satu kalimat itu.
Penuh dengan tanda tanya besar.
Seperti membuatnya tidak bisa tidur sepanjang malam, berpikir tanpa henti, menunggu jawabannya, menunggunya sepanjang malam.
Ekspresi di wajahnya pun tanpa menegang, seolah menciptakan jarak yang membentang.
Untungnya, ia tidak menatap langsung ke arah Leng Xiaomo. Kalau tidak, pasti ia akan dihadapkan dengan keterkejutan dan kepanikan yang jelas di mata adiknya saat pertanyaan itu ia lontarkan.
Sementara di lain sisi, Leng Xiaomo hanya mampu duduk tak bergerak di tempat tidur, dengan tangan menggenggam seprai erat-erat.
Sinar matahari tampaknya terhalang oleh tubuh Leng Yunchen yang tinggi, jadi yang tersisa untuknya hanyalah bayangan gelap.
Ya, ia berada dalam bayangan.
Ia tidak berani menatap kakaknya lagi karena pikirannya kacau balau.
Leng Yunchen, kakaknya, bagaimana ia bisa tahu…?!
Bukankah pria itu sudah tertidur semalam?
"Xiaomo, aku sedang bertanya padamu."
Tiba-tiba saja Leng Yunchen berbalik sambil kembali bertanya dengan suara dingin.
Membuat tubuh Leng Xiaomo yang kecil menggigil sembari menundukkan kepalanya, takut memandangnya seperti ini.
Tapi lipatan bibirnya tampak bergerak gelisah, lalu dengan perlahan dan lembut bibir itu terbuka dan keluarlah sebuah kalimat, "Kakak, apa kamu marah..."
Leng Yunchen hanya terdiam, "..."
Tapi setelahnya, dagu Leng Xiaomo tiba-tiba diangkat dan mau tak mau ia harus menatap mata kakaknya.
Mata itu begitu gelap, dalam dan rumit.
"Apa yang kamu katakan?" Di antara bibir dan gigi Leng Yunchen, kata demi kata keluar dengan sangat tegas.
Tentu Leng Xiaomo hanya mampu menatapnya dengan terkejut, tidak percaya, dan bahkan merasakan semua reaksi yang dibawa oleh ketidakjelasan... Saat melihatnya... kepanikan yang selama ini bersarang di hatinya berangsur-angsur lenyap…
Dan ketika melihatnya tidak bergerak, hati Leng Xiaomo menjadi lebih tenang.
Mungkinkah…
Ini benar-benar sama dengan apa yang ia bayangkan?
Setelah Leng Yunchen mengetahui isi hatinya, ia akan merasa konyol, dan bahkan mungkin menganggap bahwa psikologinya sedang tidak normal. Ini yang sudah lama ia bayangkan... bukankah begitu…
Tetapi…
Ia tidak sanggup. Ia tidak bisa menerima semua konsekuensinya. Ia tidak ingin kakaknya membencinya.
Dengan melihatnya seperti itu, dasar hati Leng Xiaomo berangsur-angsur sakit, tetapi di wajahnya, ia dengan lembut menarik sudut bibir bawahnya, seolah ia membuat ejekan untuk kakaknya, "Kakak, ada apa denganmu sekarang? Kamu berhasil dibuat gila hanya karena aku menciummu?"
"Omong kosong apa yang kamu katakan?!" sentak Leng Yunchen tiba-tiba sembari ia menurunkan pandangan.
Ia marah karena kelancangan Leng Xiaomo? Atau karena hatinya serasa ditusuk hingga membuatnya menjadi marah?
Tidak ada yang tahu kecuali Leng Yunchen sendiri.
Tidak, mungkin ia sendiri tidak mengetahuinya.
Kemudian, dengan lembut Leng Xiaomo mendorong tangan Leng Yunchen yang memegang dagunya, lalu tersenyum dengan sedikit ironis, "Kakak, aku adikmu. Dan sekarang, kamu bertanya kenapa aku menciummu? Tentu karena kita adalah saudara. Lagi pula, bukankah kita biasa saling mencium saat kecil? Kita juga mencium orang tua kita, kan. Ya, kita adalah keluarga. Kalau begitu, apa yang salah dengan menciummu? Apa karena kamu terlalu lama memimpin tentara di luar dan lupa cara berkomunikasi di dalam keluarga?"
Sampai di titik ini, Leng Xiaomo berhenti sesaat. Sorot matanya yang tenang dan elegan pun menatap kakaknya dengan warna yang berbeda, sementara sudut bibirnya masih tetap menyunggingkan sebuah senyum samar, "Atau apa kamu berpikir tentang hal lain? Misalnya... sebuah jenis hubungan antara pria dan wanita yang tidak akan pernah kita miliki?"
"Kamu—!"