Panik (2)
Panik (2)
Ya, ia mengalami kram.
Tepat di betisnya.
Seketika itu juga, tubuh An Xiaoyang seolah tak lagi bisa dikendalikan hingga gelembung kecil yang tak terhitung jumlahnya muncul dari napasnya.
Sebisa mungkin ia meringkuk sembari berusaha untuk menggapai telapak kakinya.
Dulu, ketika masih kecil, ia pernah diajak tetangganya untuk memancing ikan. Jadi kemampuan berenangnya tentu tidak terlalu buruk, tapi ia benar-benar tidak tahan jika kram menyerang tiba-tiba.
Saat ini pun ia hanya merasa bahwa kesadarannya semakin lemah. Bahkan ia tidak bisa mengendalikan tubuhnya yang semakin tenggelam ke dasar. Meski hatinya sudah mencoba untuk meyakinkan dirinya sendiri agar tidak panik, tapi itu tetap tak terelakkan.
Sangat sulit untuk menenangkan diri sendiri saat ini.
Hingga akhirnya, An Xiaoyang merasakan gelombang keputusasaan.
Akankah ia benar-benar mengalami kecelakaan seperti ini... Ia tidak akan pernah melihat kerabatnya, neneknya... atau Sang No lagi.
Benar saja.
Ketika sampai di ujung kematian seperti ini, hal terakhir yang tidak dapat dikendalikan dalam pikiran An Xiaoyang adalah penampilan seorang remaja laki-laki.
Ya, pikirannya hanya dipenuhi dengan sosok itu.
Entah di mana ia pernah membaca satu kalimat, tapi yang pasti, dalam kalimat itu mengungkapkan bahwa orang yang paling sulit dan penting bagi seseorang akan muncul di benaknya sebelum ia meninggal. Itu adalah hal terakhir yang bisa ia lakukan untuk menipu dirinya sendiri.
Bahkan meski ia tidak mau mengakuinya, tapi itulah kenyataannya…
Sang No… Sang No.
Mata An Xiaoyang tiba-tiba berubah sembab dan air matanya jatuh tanpa terasa. Inilah saatnya, ia benar-benar pasrah ketika telah menjadi satu dengan laut.
Tapi ia tidak bisa mati. Ia tidak bisa terus seperti ini.
Sampai saat ini, An Xiaoyang sangat ingin hidup.
Dulu, tiap kali ia merasa dunia begitu keras dan melelahkan, ia selalu ingin menghilang begitu saja, dan kemudian semuanya berakhir.
Tapi sekarang, ia tidak berpikir begitu. Sungguh, ia sangat ingin memiliki masa depan bersama Sang No, juga mewujudkan mimpi indahnya untuk masa depan.
Sang No…
Sang No…
Ia tidak ingin mati.
Ia ingin masuk ke universitas yang sama bersama Sang No, ingin menjadi orang yang lebih baik, ingin bisa mensejajarkan posisinya dengan Sang No, dan ingin tinggal bersamanya setiap hari. Ia benar-benar ingin…
Ada banyak hal yang masih ia inginkan…
Air mata itu terus mengalir, dipenuhi dengan keputusasaan yang tak mampu dibendung. Jika boleh jujur, An Xiaoyang tidak ingin pergi seperti ini setelah ia benar-benar memikirkan segalanya.
Tapi saat itu.
Kram di betisnya berangsur-angsur membaik. Ya, ini sebuah keajaiban yang langka.
Keajaiban inilah yang membuat rasa sakit sekaligus ketakutan An Xiaoyang sedikit mereda. Tak bisa disangkal, setitik harapan itu kini muncul di hatinya. Hingga, ia berusaha keras menuju tepi dengan kekuatan yang tersisa.
Tidak ada yang lain dalam pikirannya, selain satu kalimat, "Aku ingin memiliki masa depan dengan orang yang kusayangi".
Ingin memiliki pencapaian terbaik dengan orang yang ia sayangi.
Ia juga tidak ingin menyerah dan mengakhiri hidupnya dengan menyedihkan.
An Xiaoyang tidak tahu dari mana kekuatan dan keyakinannya berasal, yang pasti, ia benar-benar berhasil berenang hampir mencapai tepi. Dan ketika akhirnya ia muncul ke permukaan, ia hanya merasa seperti dilahirkan kembali. Sampai di titik itulah An Xiaoyang tebatuk keras tanpa henti seraya berusaha bernapas dengan putus asa.
Sedikit lagi. Akhirnya, ia bisa sedikit santai untuk bisa mencapai tepi.
Hanya saja, air matanya tetap tak bisa ditahan.
Terus bergulir tanpa bisa dicegah.
Sekarang ia sangat merindukan Sang No, ingin bertemu dengannya lagi, ingin memeluknya, ingin mengatakan bahwa ia sangat menyukainya, dan juga ingin mengakui bahwa ia... mencintainya dan tidak ingin berpisah darinya, sepanjang hidupnya.
Dengan susah payah An Xiaoyang memanjat tepian dan beberapa anak di sana bergegas mendekat begitu mereka melihatnya.
"Kakak, kamu baik-baik saja?"