Diam-Diam Menikah Dengan Konglomerat

Hasil Apa yang Kau Inginkan, Semua Tergantung Pada Pilihanmu



Hasil Apa yang Kau Inginkan, Semua Tergantung Pada Pilihanmu

3Mo Yesi juga sangat jarang menurunkan harga dirinya di hadapan ibu Mo. Jadi setelah mendengar kalimat akhirnya, ibu Mo menjadi sedikit tercengang. Ibu Mo terkejut melihat putranya sendiri menurukan harga dirinya sehingga membuat perasaan ibu Mo sangat campur aduk.      

Ibu Mo lebih memahami putranya sendiri dibandingkan siapapun. Jika ini terjadi sebelumnya, apapun yang ingin Mo Yesi lakukan, dia akan langsung melakukannya. Putranya itu hampir tidak pernah peduli pada pendapat orang lain. Termasuk terhadap ibu Mo, ibu kandungnya sendiri.      

Saat Mo Yesi masih kecil, karena usianya masih sangat muda, ia belum bisa terlalu mandiri. Sehingga dengan kuasanya, Ibu Mo masih bisa memengaruhinya satu atau dua kali. Tapi kemudian, Mo Yesi perlahan-lahan tumbuh dewasa. Sejak Mo Yesi berusia 13 tahun, setelah ia bisa menghasilkan banyak uang sendiri, ibu Mo kesulitan untuk memengaruhinya.     

Hal yang sama juga terjadi dalam pernikahan. Saat Mo Yesi ingin menikah dengan seseorang, ia akan langsung menikahinya. Bahkan Mo Yesi sama sekali tidak akan berdiskusi dengan mereka, para tetua. Sehingga ibu Mo tidak bisa melakukan apapun selain menerima.     

Kemudian sekarang, Mo Yesi sepenuhnya berhak bertindak sendiri. Baik itu secara mental maupun material, Mo Yesi mampu untuk mandiri. Ibu Mo bahkan semakin ... tidak mampu memengaruhinya untuk melakukan apapun. Tapi Mo Yesi yang seperti itu sekarang sedang berdiskusi dan juga memohon padanya. Bagaimana mungkin hal ini tidak membuat ibu Mo terkejut?     

Tapi perubahaan seperti ini sama sekali tidak membuat Ibu Mo merasa senang. Justru sebaliknya, ia malah merasa hatinya seperti ditusuk oleh sesuatu hingga terasa begitu tidak nyaman. Karena perubahaan seperti ini terjadi bukan karena Ibu Mo, melainkan demi wanita yang bernama Qiao Mianmian itu.     

Ibu Mo terdiam cukup lama. Ini pertama kalinya ia melihat anaknya memohon dan menurunkan harga diri di hadapannya. Ibu Mo tidak tahan jika harus menolaknya. Tapi ibu Mo benar-benar tidak sanggup menerima Qiao Mianmian.     

"Bu." Mo Yesi menunggu sebentar dan melihat reaksi ibu Mo yang tampak bimbang. Ia berpikir sejenak dan berkata dengan ringan, "Qiao Mianmian adalah wanita yang kucintai seumur hidup. Tidak peduli pada akhirnya ibu akan menyukainya atau tidak, aku tidak mungkin berpisah dengannya. Jadi aku berharap, lebih baik Ibu pelan-pelan mulai mencoba menerimanya. Dengan begitu, di masa depan semuanya akan berhubungan dengan damai.     

"Aku tidak berharap ada konflik yang terjadi antara ibu mertua dan menantu perempuan di keluarga kita. Setelah hal semacam ini terjadi, aku yakin Ibu sudah tahu konsekuensi apa yang akan timbul. Jika Ibu tetap memaksa hal ini terus terjadi, kalau begitu di masa depan, aku lebih memilih untuk tidak membawanya pulang.     

"Kalau sudah begitu, aku harap Ibu tidak menganggap kami sebagai anak yang tidak berbakti."     

"Apa maksudmu mengatakan ini? Kenapa kau harus memaksaku untuk menerimanya?" Tidak diragukan lagi, kalimat-kalimat yang diucapkan Mo Yesi membuat ibu Mo sangat marah. Ekspresi di wajahnya seketika berubah sangat buruk.     

Mo Yesi merasa sedikit lelah. Ia mengulurkan tangan dan mengusap alisnya sambil berkata, "Mianmian bersedia untuk berhubungan baik dengan ibu mertuanya, tapi Ibu tidak bersedia menerimanya. Kalau begini, bagaimana dia bisa membangun hubungan baik dengan Ibu? Jika setiap kali aku membawanya pulang membuat dia merasa tertekan, untuk apa aku masih tetap membawanya pulang?"     

"Kau sedang mengancamku?" Ibu Mo sangat marah hingga mencengkram bantal di sofa. Wajahnya menjadi pucat.     

Mo Yesi memandangnya dan berkata dengan enteng, "Ibu yang memaksaku. Sebenarnya hak memilih ada di tanganmu. Hasil akhir apa yang ingin Ibu inginkan, juga tergantung pada pilihan Ibu sendiri."     

Setelah berkata sejauh itu, Mo Yesi merasa tidak perlu melanjutkan pembicaraan ini. Saat emosi ibu Mo belum sepenuhnya mereda, Mo Yesi perlahan berdiri.     

"Bu, pikirkan baik-baik. Di masa depan, aku juga tidak ingin membicarakan masalah ini denganmu lagi."     

Selesai bicara, Mo Yesi berbalik badan dan berjalan keluar. Ibu Mo yang duduk di sofa dengan wajah pucat, menatap anaknya yang berjalan keluar, kemudian melihat pintu perlahan menutup.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.